Meski masih menjadi perdebatan, Liga Inggris dicap sebagai kompetisi terbaik di dunia. Salah satu penandanya adalah sisi keramaian tontonan, glamor, pamor dan kekayaan sejumlah klubnya. Tetapi kualitas permainan ternyata tidak seglamor kompetisinya. Kendati Chelsea mampu merajai Liga Champions musim lalu, tidak sedikit yang menyebut Liga Inggris overrated atau dinilai terlalu tinggi dari level yang sesungguhnya.
Mereka yang kontra membandingkannya dengan timnas Inggris. Mereka mempertanyakan pengaruh Liga Inggris terhadap prestasi timnas Inggris, meski belum ada jaminan kompetisi yang bagus akan selalu menghasilkan timnas yang bagus pula. Faktanya, timnas Inggris tak pernah lagi berprestasi sejak menjuarai Piala Dunia 1966, yang saat itu digelar di negeri mereka sendiri.
Dalam kasta yang berbeda, hal senada juga terjadi pada Indonesia. Liga Super Indonesia (LSI/ISL) yang selalu riuh dan ditunggu-tunggu penonton ternyata gagal memberi pengaruh kuat bagi timnas Indonesia. Bukti terbaru terlihat pada permainan Indonesia melawan Arab Saudi di kualifikasi Pra-Piala Asia 2015 pada Sabtu (23/3) malam WIB lalu.
Dari serangkaian berita sebelum pertandingan, berbagai media massa mengutip rencana pelatih Rahmad Darmawan (RD) untuk melawan Arab Saudi.
Pertama, RD mengaku fokus pada sistem transisi permainan dari menyerang (attacking) ke bertahan (defending), menjaga zona & pergerakan lawan, serta mewaspadai sayap Arab.
Kedua, RD akan meminta para pemainnya untuk membatasi ruang gerak Arab di lini tengah.
Ketiga, RD mengatakan Indonesia harus memaksimalkan bola bawah dan bukan bola atas yang tidak efisien.
Keempat, RD ingin pemain Indonesia tidak tergesa-gesa melepas bola, sabar, dan mau mengembangkan permainan yang lebih kreatif.
Kelima, RD menyiapkan skema 4-2-3-1 dengan fokus pada para gelandang yang kuat.
Saat pertandingan, dari kelima poin tersebut hanya satu yang terlaksana, yakni skema 4-2-3-1. Itu pun sebenarnya tidak murni 4-2-3-1. Selebihnya, meleset jauh. Transisi menyerang-bertahan atau sebaliknya berantakan. Salah satu buktinya adalah kebingungan para pemain Indonesia untuk mengalirkan bola sehingga umpan langsung (direct) yang tidak efektif terpaksa ditempuh.
Penjagaan zona dan pergerakan lawan juga tak terjadi. Salah satu contoh, jarak antar pemain yang terlalu jauh dan seringnya pemain Indonesia terisolir sendirian saat menguasai bola atau saat membayangi lawan.
Akibat zona yang tak terbangun, baik saat menguasai bola maupun kehilangan bola, Indonesia menjadi gagal memberi tekanan (pressing) pada ruang gerak Arab Saudi. Pola permainan paling mencolok yang ditunjukkan Indonesia adalah aliran umpan langsung yang lebih sering melambung. Zona juga tak mungkin terwujud ketika ketahanan stamina para pemain terbatas. Seperti biasanya, para pemain Indonesia mulai kehabisan napas mulai menit 60-an.
Ironisnya, mayoritas pemain Indonesia sering menolak bila ditempa keras demi peningkatan standar staminanya.
Secara keseluruhan, permainan Indonesia melawan Arab juga terlihat pada pertandingan-pertandingan timnas sebelumnya. Tanpa bermaksud membandingkan pelatih, sedikit perbedaan permainan Indonesia terlihat saat masih ditangani Nil Maizar dengan sejumlah pemain mudanya.
Misalnya, ketika mengalahkan Singapura 1-0 di ajang Piala AFF 2012 lalu. Ini pun dikarenakan masa latihan dan persiapan yang lebih panjang.
Melawan Arab, timnas Indonesia kembali diperkuat para pemain dari kompetisi LSI yang selama dua tahun terakhir absen akibat konflik di tubuh PSSI. Kembalinya para pemain langganan timnas itu meningkatkan euforia. Tidak sedikit media massa dan publik menyebutnya sebagai barisan para pemain terbaik. Namun sayang, permainan mereka tidak cukup untuk disebut terbaik. Tetapi jangan salah paham, para pemain itu sama sekali tidak bisa disalahkan terhadap permainannya sendiri.
Saat melawan Arab, para pemain ini terlihat berjuang keras. Bahkan sangat keras. Mereka sudah menguras seluruh kemampuannya. Masalahnya, meski ini para pemain terbaik di Indonesia, standar skil mereka memang terbatas. Apalagi, liga di Indonesia sebagai ujung tombak pembinaan tidak cukup kondusif untuk bisa meningkatkan standar skil dan stamina pemain tersebut.
Klub tidak cukup berhasil memberi pemahaman bentuk permainan kepada para pemainnya. Padahal di sinilah para pemain sehari-hari berada dan setiap pekan bermain. Lihatlah, permainan di LSI atau juga LPI. Apa yang diperagakan timnas bisa dilihat di liga.
Secara kasar, lebih dari 80% tim selalu memainkan pola bola terobosan, bola langsung, dan bola atas. Hanya ada satu-dua tim yang sudah mencoba memainkan pola bola pendek antar zona, meski tidak konsisten.
Di liga, permainan tersebut memang terkesan tak ada masalah karena skil lawan yang dihadapi relatif sama. Polanya adalah permainan bola langsung dan bola daerah ke sisi lebar lapangan diteruskan dengan umpan silang yang sering berhasil menjadi gol. Jarang menempuh pola yang dibangun dari lini ke lini secara cermat.
Satu hal lagi yang mencolok dari permainan di Indonesia adalah aksi menggiring (dribbling) bola sepanjang lebih dari lima meter. Padahal hal tersebut sudah usang.
Dari tren permainan 2012 hasil kompilasi kolomnis The Guardian, Jonathan Wilson, sepak bola kini didominasi oleh permainan umpan dan umpan. Bola tidak lagi dikuasai seorang pemain terlalu lama. Bola harus terus diedarkan agar musuh tak punya kesempatan untuk menata barisannya.
Tapi sekali lagi, para pemain Indonesia - bahkan yang terbaik sekalipun - punya standar kemampuan yang terbatas dan ketinggalan zaman. Skil mereka tidak cukup diberdayakan dan dikembangkan di klubnya.
Lihatlah bagaimana para pemain Indonesia kebingungan mengantisipasi aliran umpan segitiga (triangular pass) yang dijalankan Arab. Pola umpan itu merupakan salah satu tren permainan sepak bola 2012. Pola itu sudah dimainkan oleh Singapura, Malaysia, Thailand dan bahkan Laos.
Malangnya, untuk bisa menjalankan atau mengantisipasi pola taktik mikro tersebut dibutuhkan bangunan zona yang justru tidak dikuasai kebanyakan pemain Indonesia.
Sudah waktunya bagi Indonesia untuk segera mengejar ketinggalan pemahaman dan paradigma sepak bola yang terus berevolusi. Kegagalan demi kegagalan Indonesia menjuarai ajang level Asia Tenggara sudah waktunya dijadikan pelajaran. PSSI sebagai pembina sepakbola Indonesia seharusnya gencar mendidik dan mencetak pelatih yang dapat melakukan transformasi ilmu dan taktik kepada para pemain di kompetisi klub.
Revolusi permainan sudah harus dilakukan di level klub. Sebab dari sanalah pasokan pemain untuk timnas berasal. Selama klub masih memainkan pola lama, maka timnas akan tetap berada dalam situasi yang dikebiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar