\

Selasa, 28 Oktober 2014

"SEKOLAH", Penting atau Tidak...?

Pelantikan “kabinet kerja” Presiden Jokowi (tanda kutip = masih harus dibuktikan) memantik diskusi ramai di media sosial tentang salah satu menterinya, Susi Pudjiastuti. Selain kontroversi soal gaya dan sikap pribadi Menteri Kelautan dan Perikanan yang baru ini, orang juga banyak membicarakan soal latar belakang pendidikannya. Susi diberitakan hanya lulusan SMP – strata ijazah yang jauh sekali dari puncak karir akademis yang diimpikan banyak orangtua bagi anak mereka.

Sebagian orang mengapresiasi Susi dengan berkata: hebat ya, walaupun cuma lulusan SMP tapi bisa jadi pengusaha skala nasional, bahkan naik ke tampuk menteri! Sebagian lain protes: mengekspos berita orang macam ini bisa membuat banyak anak kepengen putus sekolah, karena toh nggak punya ijazah tinggi pun bisa sukses! Kalangan homeschoolers banyak masuk ke kubu pertama, sementara kalangan pro sekolah formal banyak di kubu kedua.

Saya di-tag di salah satu thread status teman yang seru berdiskusi soal Susi ini. “Memang ada beberapa orang yang putus sekolah namun bisa sukses dan kaya seperti Steve Jobs dan Marc Zuckerberg, tapi yang sukses berkat pendidikan sebenarnya lebih banyak,” kata teman saya itu. Satu orang menimpali, “Ambil statistik aja, berapa orang dari berapa juta putus sekolah yang begitu, hitung probabilitas dan modusnya.”

Jadi, pertanyaan utamanya adalah: sebetulnya sekolah (tinggi) itu penting atau tidak penting sebagai faktor kesuksesan?

Untuk menjawabnya, istilah yang perlu kita jernihkan lebih dahulu adalah “sukses itu apa?”. Benarkah Steve Jobs itu sukses? Benarkah Marc Zuckerberg itu sukses? Benarkah Susi Pudjiastuti itu sukses? Apakah sukses itu berarti kaya – dan “kaya” itu ukurannya apa: penghasilan sekian M per bulan, rumah megah, pesawat pribadi, atau yang lain? Apakah sukses itu berarti bisa duduk di posisi tinggi dalam pemerintahan? Apakah sukses itu berarti bisa masuk koran dan media massa setiap hari? Dikagumi banyak orang? Jadi guru besar? Memenangkan banyak medali Olimpiade?

Bagi kebanyakan orang, pencapaian materiil-ekonomik paling gampang dipakai untuk mengukur sukses. Jumlah uang, nilai properti, skala ketenaran, tinggi-rendah jabatan atau peringkat dalam kompetisi. Tentu saja ukuran ini sangat bisa diperdebatkan. Punya banyak uang tapi keluarga berantakan, tenar sedunia tapi mati overdosis atau bunuh diri, menduduki jabatan tinggi tapi lalu ditangkap KPK karena ketahuan korupsi – saya yakin kita tidak akan lagi mengklasifikasikan orang-orang itu sebagai role model pribadi yang sukses.

Namun katakanlah kita akan pakai kaya, tenar, dan berkuasa itu sebagai ukuran sukses – karena sepertinya tiga hal itulah yang diimpi-impikan sebagian besar orang. Kembali ke pertanyaan utama. Apakah sekolah tinggi-tinggi adalah jaminan untuk meraihnya? Apakah makin tinggi strata ijazah seseorang, penghasilannya pasti makin besar?

Kalau jaminan dan kepastian, sepertinya tidak. Adanya sosok-sosok seperti Susi dan para putus sekolah lain yang bisa kaya, tenar, dan berkuasa adalah bukti nyata bahwa memang ijazah pendidikan tinggi bukan faktor esensial sukses. Yang saya maksud faktor esensial adalah syarat yang tak bisa tidak harus ada, sehingga orang tak mungkin bisa kaya, tenar, atau berkuasa tanpa ijazah tingkat tinggi. Realitasnya, banyak juga orang punya ijazah tingkat tinggi dan tidak kaya, atau kalah tenar dan berkuasa dari orang yang jenjang sekolahnya lebih rendah. Makin tinggi ijazah tidak otomatis berkorelasi dengan makin tingginya tingkat penghasilan, ketenaran, atau kekuasaan.

Ini bukan berarti orang yang berpendidikan rendah selalu akan lebih sukses ketimbang mereka yang berpendidikan tinggi. Sama-sama tidak ada jaminan juga bahwa yang tidak/putus sekolah pasti akan lebih kaya ketimbang yang doktor. Faktanya, di tengah masyarakat, dunia kerja, dan sistem birokrasi yang relatif masih memuja gelar, tentu orang-orang yang tak punya ijazah tinggi bakal menghadapi lebih banyak tantangan dibanding yang punya. Bidang kerja mereka lebih terbatas – tak mungkin terjun di profesi-profesi yang menuntut gelar akademis. Gaji awal mereka lebih kecil. Kepercayaan orang pada mereka lebih rendah. 

Tapi toh di tengah berbagai tantangan berat itu, ada saja anak putus sekolah yang bisa kaya, tenar, dan berkuasa! Berarti esensi sukses memang bukan terletak pada ijazah seseorang, tapi pada sesuatu yang lain. Apakah itu?

Dari buku-buku kisah orang sukses, sepertinya ada dua faktor penting yang selalu mereka sebutkan sebagai syarat kesuksesan: karakter dan kompetensi. John Wooden, pelatih tim basket UCLA yang berhasil mengantar timnya meraih 10 kali piala kejuaraan nasional dalam 12 tahun, menyebutkan banyak aspek karakter yang wajib dimiliki orang sukses: mau kerja keras, antusias, fokus, selalu memberikan yang terbaik, bisa bekerja sama dengan tim, menjunjung prinsip, percaya diri, pandai bergaul, bisa mengendalikan emosi, pembelajar seumur hidup, sabar menapaki proses, kaya inisiatif, tidak takut gagal, dan seterusnya. Karakter ini adalah fondasi penting bagi optimalnya kompetensi – penguasaan keterampilan-keterampilan spesifik yang membuat seseorang mahir mengerjakan sesuatu, begitu mahir sehingga orang lain mau bayar mahal agar dia melakukannya.

Jika kita setuju bahwa karakter dan kompetensi adalah dua faktor esensial sukses, maka pertanyaan utama tadi bisa dijawab dengan mudah. Sekolah akan menjadi jalan sukses, apabila sekolah bisa menempa siswanya memiliki karakter positif dan kompetensi tinggi. Tapi kalau suatu sekolah menjalankan fungsinya secara asal-asalan, tidak punya visi dan program yang jelas, tidak punya guru-guru dan sistem yang berdedikasi kepada visi dan program tersebut, ya tak mungkin sekolah itu mengantar para siswanya pada kesuksesan.

Di sisi lain, anak yang putus sekolah atau memilih jalur homeschool, kalau ternyata di luar sekolah dia bertemu dengan ‘guru kehidupan’ yang menginspirasi dan menempanya sehingga matang dalam karakter dan kompetensi, terbuka pula kesempatannya untuk menjadi sukses. Tak kalah dari para lulusan sekolah formal, bahkan bisa jadi melampaui mereka.

Jadi, sekolah itu penting atau tidak supaya anak sukses? Tinggal selidiki sekolahnya – adakah visi, idealisme, filosofi pendidikan yang jernih di sana? Adakah kurikulum yang meluhurkan karakter, dan menggembleng kompetensi? Adakah guru-guru yang mendidik dengan hati, bukan sekadar menggugurkan kewajiban dan mengejar target birokrasi – dan tahu persis cara memfasilitasi tiap anak agar visi ideal pendidikan tercapai?

Karena yang esensial bukan status bersekolahnya, tapi proses pendidikannya.

Kamis, 16 Oktober 2014

Etika Bisnis Astro Group


Sepanjang sejarah, kegiatan bisnis tidak pernah luput dari sorotan etika, bahkan akhir-ahir ini semakin banyak perbincangan hangat tentang pentingnya etika bisnis. Memasuki era pasar bebas, untuk memenangkan kompetisi dan memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya perusahaan sering melakukan pelanggaran etika bahkan melakukan pelanggaran terhadap peraturan-peraturan hukum yang berlaku.
Dalam perkembangannya, bisnis tidak lagi hanya berorientasi pada produk dan konsumen, tetapi mulai berkembang pada kompetisi atau persaingan. Etika bisnis tidak lagi diperhatikan oleh pelaku usaha, hal ini menyebabkan pelaku usaha sering melakukan praktek-praktek bisnis yang tidak etis. Salah satu bentuk praktek bisnis yang tidak etis adalah praktek monopoli.
Terkait praktek monopoli, terjadi tarik menarik pendapat antara para ahli ekonomi dan ahli hukum dalam menilai boleh atau tidaknya praktek monopoli. Salah satu contoh kasus monopoli yang terjadi di Indonesia adalah kasus monopoli siaran Liga Inggris yang dilakukan oleh Astro Group. Monopoli siaran Liga Inggris yang dilakukan oleh Astro Group telah menciptakan kesenjangan sosial pada masyarakat Indonesia, karena hanya sebagian masyarakat yang mampu berlangganan Astro TV saja yang dapat menikmati siaran Liga Inggris. Menurut pendapat sebagaian besar masyarakat Indonesia, siaran Liga Inggris merupakan siaran paling kompetitif dan aktraktif di dunia. Hal ini tentu saja menciptakan kecemburuan sosial bagi penggemar yang tidak mampu berlangganan Astro TV, karena mereka hanya bisa membaca atau mendengar cuplikan beritanya.
Dalam kasus monopoli siaran Liga Inggris yang dilakukan oleh Astro Group, konsumen sangat dirugikan dengan tarif berlangganan yang tinggi. Selain itu, lembaga penyiaran pesaing Astro TV juga kehilangan salah satu acara unggulan yang diminati oleh penonton, sehingga mereka mengalami kerugian karena mereka kehilangan pelanggan. Tindakan Astro Group ini tentu saja merupakan salah satu bentuk persaingan usaha tidak sehat.

Untuk mencegah dan menyelesaikan kasus-kasus yang merugikan konsumen maupun perusahaan pesaing sebagaimana yang terjadi pada kasus monopoli siaran Liga Inggris oleh Astro Group, maka pelaku usaha perlu menyadari bahwa selain aspek ekonomi, pelaku usaha juga perlu memperhatikan aspek moral dan aspek legal dalam melakukan usaha bisnisnya. Berdasarkan uraian diatas, maka saya sangat tertarik untuk mengkaji praktek monopoli siaran Liga Inggris yang dilakukan oleh Astro Group dalam perspektif etika bisnis.


Analisis :

Kasus Monopoli Liga Inggris yang dilakukan oleh Astro Group sebenarnya telah menjadi perhatian publik sejak dilaporkannya PT Direct Vision, Astro All Asia Networks., Plc, ESPN STAR Sports, dan ALL Asia Multimedia Network, oleh Indovision, Telkomvision, dan IndosatM2, serta beberapa kelompok masyarakat terhadap dugaan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat kepada KPPU.

Pada awalnya, Liga Inggris disiarkan melalui Free to Air (FTA) TV pada tahun 1991. Pada musim 2004-2007 selain disiarkan melalui FTA TV, Liga Inggris juga disiarkan melalui seluruh televisi berbayar yang ada di Indonesia. Untuk musim 2007-2010, siaran Liga Inggris secara eksklusif ditayangkan pada televisi berbayar Astro yang berpusat di Malaysia. All Asia Multimedia Networks, merupakan anak perusahaan Astro All Asia Networks, Plc yang memegang lisensi penyiaran Liga Inggris di kawasan Asia. Astro All Asia Networks, Plc bisa menayangkan Liga Inggris di Indonesia hanya jika menggandeng investor lokal. Oleh karena itu, All Asia Multimedia Networks menggandeng PT Ayunda Prima untuk membentuk PT Direct Vision. PT Ayunda Prima Mitra adalah sebuah perusahaan yang seluruh sahamnya dikuasai oleh PT First Media, sebuah perusahaan yang terafiliasi dengan Grup Lippo.

Dalam kasus dugaan praktek monopoli tersebut, Majelis Pemeriksa pada tanggal 28 Agustus 2008, memutuskan bahwa dugaan praktek monopoli siaran Liga Inggris yang dilakukan oleh Astro Group tidaklah terbukti. Dalam putusannya, KPPU menyatakan Astro All Asia Networks, Plc, All Asia Multimedia Networks, dan PT Direct Vision tidak menggunakan kekuatan monopolinya di Malaysia guna menekan ESPN STAR Sports (ESS) untuk menyerahkan hak siar Liga Inggris wilayah Indonesia. Hal ini ditunjukkan dengan tidak ditemukannya bukti-bukti yang menunjukkan penggunaan kekuatan monopoli oleh Astro Group, baik selama proses negosiasi antara Astro Group dengan ESS maupun dari perbandingan nilai pembelian hak siar Liga Inggris untuk wilayah Malaysia dan wilayah Indonesia.
Selama perkara itu bergulir di KPPU, Astro mengambil langkah mengejutkan dengan memutuskan hubungan dengan PT Direct Vision, dan beralih kepada Aora TV. Langkah itu memicu reaksi PT Direct Vision karena perusahaan yang sebagian dimiliki oleh Grup Lippo itu terancam kehilangan pangsa pasar penikmat Liga Inggris.
Kasus dugaan monopoli siaran Liga Inggris oleh Astro Group kembali menjadi perhatian publik, setelah M. Iqbal (salah satu anggota tim sidang Mejelis perkara Astro Group) tertangkap tangan oleh KPK sedang menerima uang sebesar Rp. 500.000.000,- dari pengusaha yang bernama Billy Sundoro, seseorang yang diduga terkait dan memiliki hubungan baik dengan Grup Lippo yang menjadi salah satu sumber dana PT Direct Vision.
Berdasarkan kronologi kasus praktek monopoli yang dilakukan oleh Astro Group, maka dapat disimpulkan bahwa monopoli yang dilakukan oleh Astro Group adalah monopoli yang sengaja dilakukan untuk memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya. Monopoli Liga Inggris tersebut diperoleh dengan cara yang tidak etis, yaitu dengan melakukan persaingan usaha tidak sehat. Monopoli siaran Liga Inggris yang dilakukan Astro group bertentangan dengan UU No. 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan persaingan Usaha tidak Sehat. Astro Group dengan berbagai cara mencari dan memanfaatkan kesempatan untuk memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya dengan memiliki hak eksklusif siaran Liga Inggris.
Dari sudut pandang ekonomi, bisnis Astro Group adalah baik, karena telah mendatangkan laba yang sebesar-besarnya, namun dari sudut pandang hukum, tindakan Astro Group tidak dapat dibenarkan karena tindakan tersebut merupakan perbuatan melawan hukum. dilihat dari sudut pandang moral dan etika, perbuatan Astro Group juga termasuk dalam perbuatan bisnis yang tidak etis.

Berdasarkan penilaian umum, masyarakat sudah dapat menilai praktek monopoli yang dilakukan oleh Astro Group merupakan perbuatan yang tidak baik dan merugikan banyak orang. Menurut teori Ethical Altuirsm, tindakan Astro Group secara moral merupakan tindakan yang tidak benar. Tindakan Astro group berdampak negatif terhadap masyarakat sebagai konsumen karena mereka harus membayar harga yang jauh lebih mahal untuk menonton siaran Liga Inggris, sedangkan dampak negatif bagi lembaga penyiaran pesaing Astro TV adalah munculnya hambatan untuk masuk pada pasar yang bersangkutan (bariers to entry), sehingga dapat disimpulkan dalam hal ini Astro Group telah melakukan persaingan usaha yang tidak sehat.
Menurut teori Utilitarisme, tindakan Astro Group juga dapat dikategorikan perbuatan yang tidak benar, karena tindakan Astro Group tidak memberikan manfaat bagi masyarakat banyak. Tindakan Astro Group justru telah menghilangkan kebahagian banyak orang. Berdasarkan teori Deontologi, tindakan Astro group juga merupakan perbuatan yang salah, karena Astro Group tidak melakukan kewajibannya untuk berbinis dengan cara baik dan fair, sehingga dengan tindakan yang tidak fair tersebut, Astro Group telah merugikan banyak pihak.
Menurut teori Hak, tindakan Astro Group dapat dikategorikan sebagai perbuatan yang salah karena, dalam mengambil keputusan untuk melakukan praktek monopoli, Astro Group tidak mempertimbangkan hak-hak orang lain. Astro Group telah melanggar hak konsumen untuk mendapatkan layanan terbaik dengan harga yang terjangkau, selain itu Astro Group telah melanggar hak pesaing untuk ikut berkompetisi dalam menyiarkan siaran Liga Inggris. Sedangkan menurut teori keutamaan, tindakan Astro Group juga merupakan perbuatan yang salah karena Astro Group tidak mengunakan akhlak dan sikap yang baik dalam menjalankan bisnisnya.

Berdasarkan analisis dari berbagai teori etika diatas, dapat dilihat bahwa dari sudut pandang hukum maupun dari sudut pandang etika, Astro Group telah melakukan perbuatan yang tidak dapat dibenarkan. Astro Group dengan berbagai cara memanfaatkan kesempatan untuk memperoleh market power untuk meraup keuntungan yang sebesar-besarnya.

Kesimpulan
Berdasarkan uraian diatas maka dapat disimpulkan bahwa, secara normatif, Astro Group telah melakukan perbuatan yang melanggar hukum, dan dari sudut pandang etika, Astro Group juga telah melakukan bisnis yang tidak etis. Dalam menjalankan bisnisnya, Astro Group hanya mementingkan profit, sehingga Astro Group tidak menggunakan etika dalam berbisis.

SUMBER :
- http://bola.kompas.com/read/2008/07/17/10242987/Ada.Monopoli.Astro.di.Siaran.Liga.Inggris
- http://www.merdeka.com/ekonomi-nasional/monopoli-siaran-liga-inggris-astro-kehilangan-7-000-pelanggan-7jhxdpi.html
- http://pii.or.id/etika-bisnis/

Perkembangan Sukuk di Indonesia



Konsep keuangan berbasis syariah Islam dewasa ini telah diterima secara luas di dunia dan telah menjadi alternatif baik bagi pasar yang menghendaki kepatuhan syariah (syariah compliance), maupun bagi pasar konvensional sebagai sumber keuntungan (profit source). Diawali dengan perkembangan yang pesat di negara-negara Timur Tengah dan Asia Tenggara,  produk keuangan dan investasi berbasis syariah Islam saat ini telah diaplikasikan di pasar-pasar keuangan Eropa, Asia, bahkan Amerika Serikat. Selain itu, lembaga-lembaga yang menjadi infrastruktur pendukung  keuangan Islam global juga telah didirikan, seperti Accounting and Auditing Organization for Islamic Institution (AAOIFI), International Financial Service Board (IFSB), International Islamic Financial Market (IIFM), dan Islamic Research and Training Institute (IRTI).
Salah satu instrumen keuangan syariah yang telah diterbitkan baik oleh negara maupun korporasi adalah sukuk atau obligasi syariah. Pada saat ini, beberapa negara telah menjadi regular issuer dari sukuk, misalnya Malaysia, Bahrain, Brunei Darussalam, Uni Emirate Arab, Qatar, Pakistan, dan State of Saxony Anhalt-Jerman. Penerbitan sukuk negara (sovereign  sukuk) tersebut biasanya ditujukan untuk keperluan pembiayaan negara secara umum (general funding) atau untuk pembiayaan proyek-proyek tertentu, seperti pembangunan bendungan, unit pembangkit listrik, pelabuhan, bandar udara, rumah sakit, dan jalan tol. Selain itu, sukuk juga dapat digunakan untuk keperluan pembiayaan cash-mismatch, yaitu dengan menggunakan  sukuk  dengan  jangka waktu pendek (Islamic Treasury Bills) yang juga dapat digunakan sebagai instrumen pasar uang.
Di Indonesia, sukuk korporasi lebih dikenal dengan istilah obligasi syariah. Pada tahun 2002, Dewan Syari’ah Nasional mengeluarkan fatwa No: 32/DSN-MUI/IX/2002, tentang Obligasi Syariah. Sebagai tindak lanjut atas fatwa di atas, pada Oktober 2002 PT. Indosat Tbk mengeluarkan obligasi syariah yang pertama kali di pasar modal Indonesia dengan tingkat imbal hasil 16,75%, imbal hasil ini cukup tinggi dibanding rata-rata return obligasi konvensional.
Instrumen investasi sukuk (obligasi syariah) diprediksi bakal marak pada masa mendatang lantaran potensi pertumbuhan masih besar. Oleh karena itu, pada masa mendatang akan semakin banyak pihak yang mempertimbangkan sukuk.
Sejak pertama kali diterbitkan tahun 2002, sampai saat ini secara kumulatif terdapat 64 penerbitan sukuk korporasi oleh emiten dengan total emisi Rp11,9 triliun. Dari jumlah tersebut, per 3 Maret 2013 ada 35 sukuk yang masih outstanding, dengan Rp7,26 triliun sukuk korporasi.
Sukuk negara juga mencatat perkembangan yang sangat pesat. Hingga periode 3 Maret 2014, sudah diterbitkan 43 sukuk negara dengan total nilai Rp139,97 triliun. Bahkan sejak kali pertama sukuk diterbitkan tahun 2002, sampai saat ini secara kumulatif terdapat 64 penerbitan sukuk korporasi oleh emiten dengan total emisi Rp11,9 triliun. Dari jumlah tersebut, per 3 Maret 2013 ada 35 sukuk yang masih outstanding, dengan Rp7,26 triliun sukuk korporasi.
Diungkapkan Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Nurhaida, sukuk negara mencatat perkembangan yang sangat pesat. Pada tahun 2013 dan 2014, prospek perkembangan sukuk masih sangat besar. Bahkan ke depan, akan semakin banyak perusahaan yang mengenal dan memahami sukuk dan dapat mempertimbangkan sukuk sebagai alternatif pendanaan perusahaan. Apalagi 2014 merupakan tahun yang cukup menggembirakan bagi pasar sukuk Indonesia, baik korporasi maupun negara.
Selama tahun 2013, terdapat 10 penerbitan sukuk korporasi dan 16 sukuk negara dengan total nilai mencapai Rp51,4 triliun. Total penerbitan sukuk di Indonesia tersebut menyumbang lima persen penerbitan sukuk di seluruh dunia. Minat investasi sukuk setidaknya tergambar ketika pemerintah menerbitkan sukuk negara ritel dengan seri SR006 senilai Rp19,32 triliun pada 5 Maret 2014. Minat pelaku investasi sangat tinggi jumlah investor sukuk SR006 mencapai 34.692 investor. Sukuk negara tersebut dipasarkan oleh 28 agen penjual dengan masa jatuh tempo 5 Maret 2017. Melalui penerbitan sukuk negara tersebut diharapkan dapat memenuhi sebagian dari target pembiayaan dalam APBN 2014. Adapun tingkat imbalan yang diberikan sukuk tersebut sebesar 8,75 persen per tahun dan yang pembayaran imbalan dilakukan tiap tanggal 5.
Dengan semakin berkembangnya model-model sukuk, maka kemungkinan untuk dapat mengembangkan sukuk di Indonesia juga semakin besar. Akan tetapi semua ini juga tergantung kepada kemauan dan sikap politik ekonomi pimpinan negara untuk menjalankannya. Apalagi program sukuk ini akan lebih bagus bila didukung aset yang dijamin pemerintah. kalau dalam awal perkembangan sukuk di Timur Tengah dan Malaysia diawali dengan penerbitan sukuk dari perusahaan-perusahaan milik pemerintah. Oleh karena itu, Indonesia juga dapat mendorong BUMN yang bergerak dalam sektor riil untuk menerbitkan sukuk di Bursa Efek Indonesia (BEI).
“Namun demikian, sebelum dapat menerbitkan sukuk, harus pula diperhatikan ketatnya persyaratan dalam ekonomi syariah, antara lain, saat ini sukuk masih terbatas pada pembiayaan perdagangan atau produksi dan aset yang tangible dan yang langsung berkaitan dengan sektor riil.
Di samping itu, investor sukuk berhak sepenuhnya untuk mendapatkan semua informasi berkenaan dengan penggunaan dana sukuk tersebut. Termasuk, aset yang menjadi dasar penerbitan sukuk maupun hal-hal lain khususnya yang berkenaan dengan perbedaan yang jelas dengan investasi konvensional. Sebetulnya, hal ini tidaklah sulit untuk ditaati, oleh karena persyaratan ini juga mendorong penerbit sukuk untuk lebih disiplin dan transparan dalam mengelola keuangannya.
Saya menilai bahwa prospek dan pasar sukuk di Indonesia masih menarik, mengingat mayoritas penduduk adalah pemeluk agama Islam. Sukuk pun dapat menjadi satu pilihan bagi pemodal untuk diversifikasi investasi. “Indonesia yang berpredikat investment grade bisa ikut menekan imbal hasil sukuk. Beban emiten pun tidak terlalu tinggi. Semakin banyak sukuk yang beredar, semakin likuid dan risk premium bisa ditekan,” ungkap Ronald.
Maraknya investasi sukuk juga tak lepas dari surat edaran beromor SE-13/BL/2012 pada 19 September 2012. Ini merupakan turunan dari Peraturan Bapepam-LK Nomor IX. A.1 tentang Ketentuan Umum Pengajuan Pernyataan Pendaftaran. Kehadiaran surat edaran tersebut telah memberi penegasan dan kepastian hukum diperbolehkannya emiten yang mengajukan pendaftaran obligasi dan sukuk dalam waktu bersamaan untuk menyampaikan informasi penawaran tertulis dalam satu prospektus.
Jenis-Jenis Sukuk
        Merujuk pada  fatwa Dewan Syariah Nasional tentang Obligasi Syariah, akad   yang   dapat   digunakan   dalam   penerbitan   Obligasi   Syariah   antara   lain: mudharabah   (muqaradah)/qiradh,   musyarakah,   murabahah,   salam,   istisna,   dan ijarah .
1.       1. Akad Mudharabah atau Muqaradah (Trust Financing, Trust Investment)
          Mudharabah  adalah  perjanjian  kerja  sama  usaha  antara  dua  pihak  dengan pihak  pertama  menyediakan  modal,  sedangkan  pihak  lainnya  menjadi  pengelola. Dalam  fatwa  Dewan  Syariah Nasional tentang Obligasi  Syariah  Mudharabah disebutkan  bahwa  Obligasi  Syariah Mudharabah  adalah  Obligasi  Syariah  yang berdasarkan  akad  mudharabah  dengan  memperhatikan  substansi  Fatwa  Dewan Syariah Nasional MUI No.7/DSN-MUI/IV/2000 tentang pembiayaan Mudharabah.
2.       2. Akad Ijarah (Operational Lease)
Ijarah  adalah  sebuah  kontrak  yang  didasarkan  pada  adanya  pihak  yang membeli dan menyewa peralatan yang dibutuhkan klien dengan uang sewa tertentu. Pemegang  Surat  Berharga  Ijarah  sebagai  pemilik  yang  bertanggung  jawab penuh untuk segala sesuatu yang terjadi pada milik mereka. Dalam Fatwa  Dewan  Syariah Nasional  No.  41/DSN-MUI/III/2004  tentang  Obligasi Syariah  Ijarah disebutkan bahwa Obligasi Syariah Ijarahadalah Obligasi Syariah berdasarkan akad ijarah yaitu akad  pemindahan  hak  guna  (manfaat)  atas  suatu  barang  dalam  waktu  tertentu dengan  pembayaran  sewa  (ujrah),  tanpa  diikuti  dengan  pemindahan  kepemilikan barang itu sendiri. Ditambah dengan  memperhatikan  substansi  Fatwa  Dewan Syariah Nasional MUI No. 09/DSN-MUI/IV/2000 tentang pembiayaanijarah.

3.      3. Akad Musyarakah (Partnership, Project Financing Participation)
Surat  Berharga  Musyarakah  dibuat  berdasarkan  kontrak musyarakah  yang hampir menyerupai Surat Berharga Mudharabah. Perbedaan utamanya adalah pihak perantara akan menjadi pasangan dari grup pemilik yang menjadi pemegang obligasi Musyarakah di dalam suatu perusahaan gabungan, yang pada mudharabah, sumber modal  hanya  berasal  dari  satu  pihak.  Dalam  Fatwa  Dewan  Syariah  Nasional  No. 08/DSN-MUI/IV/2000 tentang   pembiayaan   musyarakah   disebutkan   bahwa pembiayaanmusyarakah  yaitu  pembiayaan berdasarkan  akad kerjasama  antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu, yang masing-masing pihak memberikan kontribusi dana  dengan  ketentuan  bahwa  keuntungan  dan  resiko  akan  ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan.

4.     4. Akad Salam (In-Front Payment Sale)
Salam adalah penjualan suatu komoditi, yang telah ditentukan kualitas  dan kuantitasnya yang akan diberikan kepada pembeli pada waktu yang telah ditentukan di masa depan  pada  harga  sekarang.  Dalam  Fatwa  Dewan  Syariah  Nasional No.05/DSN-MUI/IV/2000 tentang jual beli salam disebutkan bahwa   jual beli barang dengan  cara  pemesanan  dan  pembayaran  harga  lebih  dahulu  dengan  syarat-syarat tertentu disebut dengan salam.

5.      5. Akad Istisna (Purchase by  order or manufacture)
Istisna   adalah   suatu   kontrak   yang   digunakan   untuk   menjual   barang manufaktur  dengan usaha  yang  dilakukan  penjual   dalam  menyediakan  barang tersebut  dari  material,  deskripsi  dan  harga  tertentu. Dalam  Fatwa  Dewan  Syariah Nasional  No. 06/DSN-MUI/IV/2000  tentang  jual  beli  istisna  disebutkan  bahwa jual  beli  istisna  yaitu  akad  jual  beli  dalam  bentuk  pemesanan  pembuatan  barang tertentu  dengan  kriteria  dan  persyaratan  tertentu  yang  disepakati  antara  pemesan (pembeli, mustashni) dan penjual (pembuat, shani).
6.      6. Akad Murabahah (Deferred Payment Sale)
Murabahah   adalah  jual   beli   barang   pada   harga   asal   dengan  tambahan keuntungan yang disepakati. Dalam Fatwa Dewan Syariah Nasional No. 04/DSN- MUI/IV/2000  tentang  murabahah  disebutkan  bahwa pihak  pertama  membeli barang yang diperlukan nasabah atas nama pihak pertama sendiri, dan pembelian ini harus  sah  dan  bebas  riba. Kemudian  nasabah  membayar  harga  barang yang telah disepakati tersebut pada jangka waktu tertentu yang telah disepakati.