\

Rabu, 13 Maret 2013

Ryan Giggs yg Seharusnya Sudah Punah

Namanya Ryan Giggs. Dia berkebangsaan Wales. Pemain sayap kiri Manchester United yang berevolusi menjadi seorang central midfielder. Dari penusuk jantung pertahanan menjadi jangkar yang menjembatani pemain bertahan dengan barisan depan. Satu hal yang jelas adalah, proses itu tak semudah membaca kalimat tadi. 

Proses itu bisa jadi serumit dribble Giggs muda yang tak hentinya mengelabui pemain bertahan lawan. Namun, satu hal penting yang dimiliki untuk melakukan itu adalah keinginan seorang Giggs untuk terus beradaptasi dan menciptakan mekanisme preservasi diri agar tak hilang begitu saja ditelan lapangan hijau.

1.000 pertandingan yang telah dilaluinya, ditandai dengan pertandingan melawan Real Madrid di leg kedua perdelapanfinal Liga Champions tahun ini, adalah testamen nyata kegigihannya. Bisa jadi keinginan inilah salah satu faktor kenapa pemain yang dulu dikenal dengan nama Ryan Wilson, ketika muda dan berambut keriting, itu masih terus berlari mengejar bola dan tetap bisa mengadalikan banyak pemain bertahan yang ketika Giggs mulai bermain, bahkan belum lahir.

Di tempat lain, Charles Darwin mungkin sedang berguling-guling kegirangan mendengarkan ini. Karena menurut Charlie, makhluk yang tidak bisa melawan seleksi alam akan hilang dan punah karena tak mampu beradaptasi dengan sekitarnya. Namun, secara teoritis pula, dia memulai gagasan bahwa makhluk yang dapat melawan kondisi di sekitarnya dan berani menentangnya-lah yang akan terus bertahan. Giggs mirip-mirip dengan teori Darwin ini.

Secara asumtif, kita anggap saja seorang pemain akan memulai kariernya di umur belasan akhir, mencapai puncaknya di pertengahan umur 20-an, dan mencapai senja di antara 30 – 35 tahun. Itu kenyataan yang terjadi. Sementara ini adalah Ryan Giggs, pemain tengah untuk Manchester United yang sudah berumur 39 tahun. Dan melihat dari penampilan gemilangnya melawan Real Madrid beberapa waktu lalu, senja di matanya hanya awal dari malam yang panjang.

Giggs, dengan umur yang hampir mendekati angka 40 dan kompetisi brutal yang lebih mengutamakan fisik prima, secara teoritis seharusnya sudah punah. Menyatu dengan fosil-fosil pensiunan pesepakbola lainnya atau menjalani kehidupan seorang pemain yang kariernya sudah habis dan berkeliling dunia menjadi ambassador klub. Atau mungkin berfoto bersama fans klub dan menandatangani memorabilia. Tapi, nyatanya tidak demikian. 

Konon katanya Giggs melakukan Yoga untuk tetap bugar dan fit sehingga dia masih mempunyai stamina dan kemampuan fisik untuk tetap bisa bersaing di eselon teratas sepakbola Inggris. Saya lebih percaya dia memang setengah highlander yang hanya bisa dihentikan kariernya ketika seorang highlander lain memenggal kepalanya dan mengambil semua kemampuannya. Mungkin Javier Zanetti yang akan melakukannya suatu hari nanti. 

Tapi, terapi fisik dan Yoga tak bisa menjadi satu-satunya faktor yang dapat membuatnya terus bergerak maju. Di setiap tahun Giggs bermain, semakin banyak pula pemain muda yang lebih cepat, lebih kuat, lebih lincah, dan lebih lihai muncul dan mencoba memberikan waktu yang berat untuknya. Saya rasa, baginya, adalah sebuah pancingan untuk berbuat lebih baik. 

Ada sebuah cerita ketika Giggs sedang berada di puncak permainannya dan Sir Alex membeli seorang pemain sayap kiri potensial bernama Jesper Blomqvist untuk menjadi penerusnya. Tak sedikit yang berspekulasi bahwa Blomqvist akan menggantikannya sebagai sayap kiri pilihan pertama United secara permanen. Ketika seorang memberitahukannya kepada Giggs karena khawatir dengan posisi yang dihadapi si 'Welsh Wizard' itu, dia hanya menjawab, “Dia sebaiknya bermain cukup bagus”. Blomqvist memang melakukan tugasnya dengan baik, namun Giggs tetap menjadi no.11 pilihan Sir Alex.

Memang betul, ada kalanya Giggs bermain buruk dan itu seringkali karena umur yang juga mulai menyusulnya. Namun seperti seorang Mr. Fantastic, yang kebetulan juga berambut kelabu, Giggs berputar dan meliuk agar dapat melakukan pekerjaannya dengan baik. Di awal kariernya Giggs dilihat sebagai api yang menyambar dan galak melahap bola. Sekarang, sebagai api tenang yang terkadang masih terlihat menyemburkan jilatan panas dan masih bisa membakar mereka yang datang berniat untuk mengambil bolanya.

Tak pernah puas dengan prestasi juga merupakan anomali genetis yang terdapat dalam DNA-nya. Ketika di final Liga Champions 2008, sesaat sebelum mengangkat piala untuk merayakan kemenangan tim-nya, Giggs berkata kepada teman-teman selapangannya “Ini perasaan yang bagus, lads! Kita angkat lagi tahun depan.”

Trofi belum sampai di tangannya, Giggs sudah berbicara dan mengumpulkan niat untuk merebutnya kembali tahun depan. Perasaan tak pernah puas ini mungkin terlalu berlebihan dan mempengaruhi kehidupan pribadinya. Namun, di atas lapangan hijau itu adalah tanda seorang pemenang. Seseorang yang dapat memecahkan teori serta spekulasi dan terus mengincar gelar juara.
Ketika pemain muda lainnya sudah cukup dengan satu gelar Premier League dan membingkainya, menempatkannya dalam sebuah museum pribadi di rumah mewah mereka, Giggsy bahkan lupa di mana dia menempatkan 12 medali gelar juaranya. Ketika pemain muda sudah mulai puas dengan uang yang mereka dapatkan dari Sheikh kaya, yang membeli klub bola dan memperlakukan mereka seperti mainan, Giggs masih menandatangani perpanjangan kontrak dengan dengan klub yang mengontraknya pertama kali. Ketika pemain muda yang berpotensi, namun arogan, mulai berulah dan merasa layak untuk selalu menjadi bintang lapangan, Giggs cukup berkenan mengubah posisinya di klub dari seorang pemain bintang yang tak tergantikan menjadi club player yang perannya selalu dibutuhkan. Ketika pengalaman seorang pemain jauh lebih dibutuhkan dibandingkan dengan keahlian di atas lapangan, Giggs pun ada di sana.

Jika Darwin masih hidup dan membaca tulisan ini, mungkin saja dia akan berkata “Ya, ini benar sekali!” sekaligus menyatakan bahwa Ryan Giggs adalah salah satu fenomena yang patut ditelitinya. Giggs tetap bermain di salah satu liga terbaik Eropa dan masih memberikan dampak positif pada hasil pertandingan, meski dengan rambut yang sudah beruban dan umur yang membuatnya layak untuk menjadi paman Phil Jones.



Glory - Glory Man United






Tidak ada komentar:

Posting Komentar