\

Selasa, 18 November 2014

Mengapa Ahok dan Jokowi DiBenci..??

Setelah era Soeharto pasca 1998, tidak ada lagi kekuatan politik dominan. Siapa pun yang berkuasa harus berbagi. Jika tidak, yang lain akan bersatu dan merongrong. Ketegasan dipelintir menjadi anti-demokrasi. Karena itu organisasi ‘swadaya’ dibentuk sebagai pasukan garis depan yang siap dikorbankan kapan saja tanpa harus menyeret tuan-nya.

Anda jangan berpikir Pemilihan Langsung adalah hasil perjuangan demokrasi partai politik. Pemilihan Langsung adalah jalan tengah agar semua parpol tetap memiliki posisi tawar. Karena seperti tender pemerintahan, partai politik berkompetisi dengan aturan tak tertulis. Yang menang mendapat bagian terbesar namun yang kalah juga tetap dapat bagian. Jika ada yang tidak puas, gertakan dan gosip mulai muncul. Setelah tebusan dipenuhi, lambat laun issue itu menghilang.

Ini terjadi karena tidak ada sosok yang bersih di elite politik. Semua memegang kartu dosa yang lain. Untuk meredam gejolak sosial 250juta rakyat, pegawai negeri juga dimanjakan. Akibatnya dana yang harusnya dinikmati rakyat untuk pembangunan terpaksa dialokasikan untuk mengelola kepuasan pemain politik.

Kadang ada tokoh yang bersih yang muncul dan lewat namun sistem politik tidak mengijinkan mereka masuk. Mereka hanya sebagai prestasi untuk menghibur rakyat. Jabatan pun tidak tinggi, jauh dari pusat kekuasaan dan dapat dihancurkan kapan saja. Lagipula, banyak yang hanyalah pencitraan, untuk komoditas politik karena dipercaya rakyat.

Tidak ada ceritanya sosok bersih mampu menerobos sistem politik Indonesia. Sampai sesuatu yang mustahil terjadi.

Seorang capres yang sebenarnya sudah no.1 di polling merasa galau. Karena sering menyaksikan akrobat politik, ia kuatir posisinya belum aman, apalagi catatan sejarah yang kelam. Dia harus melakukan sesuatu untuk merebut hati rakyat saat Pilpres nanti. Cara yang dahsyat dan instan adalah mendatangkan superstar yang bisa merebut hati rakyat.

Dan mujizat itu pun terjadi. Seperti Indonesia Idol, tiba-tiba saja 2 putra terbaik bangsa muncul di panggung politik ibukota, pusat kekuasaan melewati semua filter politik yang ada. Tanpa capres tadi, mustahil mereka berdua dapat tampil.

Mengapa ini bisa terjadi? Mereka berdua dianggap ‘aman’. Jokowi adalah pengusaha, bukan sosok yang ambisius. Jadi Gub. Jateng saja PDIP tidak mendukungnya. Ahok apalagi. Triple minoritas Tionghoa-Kristen-Non.Jawa. Aman.

Jika kalah melawan koalisi raksasa di belakang Foke, rakyat yang tidak puas akan membalas dengan memilih capres tersebut di Pilpres nanti. Menang-kalah, sang capres tetap menang. Win-Win.

Ternyata Jokowi & Ahok menang. Rakyat Jakarta mencintai dua pemimpin baru ini. Sempurna. Semua berjalan sesuai rencana sang Capres. Hanya saja ternyata Jokowi & Ahok memiliki paduan keberanian, kecerdasan dan hati yang sampai saat ini, tidak bisa dibeli. Kompak lagi berdua. Namun okelah, bisa apa sih dua orang melawan Pemprov Jakarta?

Para politikus Indonesia tidak sadar siapa yang mereka hadapi.

Jokowi dan Ahok ternyata kreatif dan cerdas. Mereka memiliki strategi yang tidak di-mengerti para politikus yang hanya jago mengatur proyek dan deal.

Keresahan mulai terjadi. Dapur, bobrok Pemprov DKI satu-persatu dibuka dan ditelanjangi. Dengan YouTube dan blusukan, pengaruh media politik tidak dapat lagi digunakan untuk menggiring opini. Keran yang deras mulai macet. Ancaman mulai terlihat.

Seperti biasa, pasukan kegelapan pun diturunkan. Namun hasilnya luar biasa. Siapa pun yang menyerang Jokowi Ahok pasti dihabisi rakyat. Parpol pun dilema. Mau melawan, Pemilu sudah dekat. Siapa pun yang bergerak mulai melawan, lawan politik nya yang menikmati.

Dukungan rakyat makin tak terbendung. Beribu sukarelawan muncul, menjadi corong di seluruh negeri yang mewartakan harapan baru. Bagaimana mungkin melawan relawan tak berbayar alias gratis? Pengaruh Jokowi-Ahok berkembang seperti virus. Jokowi-Ahok baru mulai bermunculan. Ditambah politikus yang ‘lebih bersih’ dengan jeli membaca situasi dan mengikuti gerbong. Tiba-tiba saja aturan permainan berubah. Terbalik. Parpol sekarang tidak powerful lagi. Pemilihan Langsung yang tadinya untuk berbagi kekuasaan menjadi ancaman mematikan.

Akhirnya tibalah saat itu. Ibu Mega tergerak dan melihat harapan baru, walaupun pahit karena bukan berasal dari trah Soekarno. PDIP mendukung Jokowi menjadi capres.

Namun elite politik masih melihat Jokowi sebagai salah satu dari mereka. Kasarnya, nanti nego-nego paling lebih mahal. Lagi-lagi mereka salah. Jokowi bukan pemain politik yang biasanya mereka hadapi. Amien Rais yang awalnya menggertak akhirnya mencoba memasangkan Jokowi dengan Hatta. ARB yang berpikir menjadi kunci Jokowi vs Prabowo juga kecele. Jokowi hanya mau ‘Tanpa Syarat’. Dia tidak mau disandera seperti SBY. (Catatan. Meskipun secara realitas Tanpa Syarat itu tidak mungkin 100%, namun Jokowi memegang kontrol jauh melebihi SBY)

Kepanikan mencapai puncaknya. Untuk pertama kali, elite-elite yang merasa terancam bergabung dalam KMP. Mungkin anda bisa membayangkan sebesar apa kepanikan mereka sampai mau bergabung dengan lawan-lawan mereka sendiri. UU MD3 dalam hitungan hari dikebut untuk menghadang Jokowi nanti.

Jokowi dan Ahok adalah ancaman besar bagi kekuatan jahat yang selama ini berkuasa di Indonesia. Eksekutif, Legislatif dan jajaran pemerintahan mengelola dana 1,850 Trilyun (APBN 2014) dan memiliki kekuasaan untuk mempengaruhi market 8.600 Trilyun (GDP resmi tahunan 2014). Dana sebesar itu yang biasa di-manipulasi satu persatu dibuka ke publik secara transparan. Jika hal ini berlangsung terus, bisa dipastikan mereka tidak akan bisa mendapat bagian lagi.

Sekedar cerita, Ahok pernah mendapat tawaran dana sosial yang sangat besar dari para bos. Namun Ahok meminta mereka mengerjakan proyeknya sendiri karena.. bila masuk kas Pemprov bisa nunggu 3-tahun lagi sampai dana itu bisa digunakan. (itu pun kalo bisa). Saya bergidik membayangkan kengerian anak-2 nya saat melihat ribuan orang yang ingin menghabisi ayahnya. Semua itu hanya karena sang ayah mencintai Indonesia.

Di YouTube, saya melihat Presiden Indonesia yang kurus, tidak gagah & berwibawa ala SBY. Dengan bahasa Inggris seadanya, terbata-bata dia berusaha mencari pendanaan Luar Negeri karena sadar tidak bisa mengandalkan dana APBN yang harus melewati KMP.

Jika ada yang masih menuduh Jokowi pencitraan atau mempermasalahkan ‘santun’-nya Ahok, mungkin memang itulah karakter bangsa ini.

Salam Indonesia Raya

JOKO WIDODO & SI SIRIK

Dahulu, ketika saya masih kanak-kanak, ada komik di majalah Bobo yang saya gemari. Judulnya “Juwita dan Siti Sirik” yang kemudian berganti judul menjadi “Juwita dan Si Sirik”.

Di komik tersebut digambarkan, Juwita adalah sosok perempuan jelita yang baik hati dan suka menolong. Sementara itu, Si Sirik digambarkan sebagai perempuan tua buruk rupa yang jahil, selalu mengenakan topi lancip, hidung bengkok, muka peot-peot, dan senyum mencong seperti habis kena stroke.

Si Sirik yang jahil dan jahat akan berhadapan dengan Juwita yang penolong. Pada tiap akhir cerita, Juwita yang mewakili kebaikan muncul sebagai pemenangnya.

Nah, menyaksikan dan mengamati kunjungan Presiden Joko Widodo di Forum Kerja Sama Ekonomi Asia Pasifik (APEC) 2014, yang menjadi primadona di forum tersebut, serta komentar negatif dari sebagian orang yang itu-itu juga di Tanah Air, langsung mengingatkan saya pada komik “Juwita dan Si Sirik” itu.

Sebab, komentar-komentar nyelekit kepada Joko Widodo bukan hanya saat acara APEC ini saja, melainkan juga semenjak ia mencalonkan menjadi presiden hingga telah menjadi presiden. Seolah, komentar miring selalu memburu Jokowi di mana pun dia berada dan apa pun yang dia kerjakan. Pendeknya, maju kena mundur kena.

Para pendukung Jokowi menduga, mereka yang bersikap nyinyir adalah mantan para pendukung Prabowo. Mengapa disebut mantan? Sebab, orang yang mereka dukung sekarang sudah move on, sudah berubah dari semula berseberangan, sekarang secara pribadi Prabowo mendukung pemerintahan Joko Widodo, terbukti dengan kedatangan beliau saat Joko Widodo dilantik sebagai presiden pada 20 Oktober silam. Selain itu, Prabowo juga telah meminta kepada pendukungnya untuk tidak menyakiti pihak lain, seperti bunyi surat Prabowo seusai bertemu Jokowi menjelang pelantikan presiden.

“Saya mohon semua pendukung saya untuk memahami hal ini. Saya mengerti sebagian dari Saudara-saudara belum bisa menerima sikap saya. Tetapi, percayalah, seorang pendekar, seorang kesatria harus tegar, harus selalu memilih jalan yang baik, jalan yang benar. Menghindari kekerasan sedapat mungkin. Menjauhi permusuhan dan kebencian.”

Karena mereka selalu memandang dari sisi yang buruk terhadap sepak terjang Joko Widodo, sebut saja mereka “Si Sirik”.

Mereka, yang oleh para pendukung Jokowi disebut sebagai Si Sirik atau Si Nyinyir, pada momen APEC ini menyoroti dua hal. Pertama, pidato Jokowi yang menggunakan bahasa Indonesia. Kedua, karena dalam lawatannya, Presiden membawa serta istri dan anak.

Untuk kenyinyiran pertama, Si Sirik menuduh bahwa Joko Widodo bersembunyi di balik konstitusi yang memerintahkan Presiden RI harus menggunakan bahasa Indonesia. Padahal, menurut Si Sirik, Joko Widodo tidak fasih dalam berbahasa Inggris.

Hal ini bermula dari peringatan pakar hukum Hikmanto yang mengatakan, UU mewajibkan Presiden menggunakan bahasa Indonesia agar bahasa Indonesia dikenal oleh dunia dan semakin kuatnya jati diri bangsa Indonesia. Ini berdasarkan Pasal 28 Undang-Undang No 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan.

Pasal 28 menyebutkan, “Bahasa Indonesia wajib digunakan dalam pidato resmi presiden, wakil presiden, dan pejabat negara yang lain yang disampaikan di dalam atau di luar negeri“.

Seseorang yang menyebut dirinya Sarkawi lantas berkomentar, “Sekarang banyak intelektual yang menjual kepandaiannya untuk melegitimasi kekurangan orang. Pidato saja coba direkayasa supaya citra tetap baik. Kalau gak fasih bahasa Inggris bilang apa adanya, toh tiada dosa bagimu.”

Hal pertama ini sudah dipatahkan oleh Joko Widodo yang menyampaikan presentasi dalam bahasa Inggris di depan kalangan CEO pada hari pertama APEC. Namun, tetap saja ada komentar miring mengenai peristiwa tersebut, seperti yang ditulis oleh seorang kawan di media sosial.

Pujian Presiden East-West Center, Charles E Morisson, bahwa Jokowi berpidato dalam bahasa Inggris sederhana sangat bersayap. Sebab, dua keponakan saya (satu kuliah, satunya lagi masih SMA) yang kebetulan kursus di LIA justru berkata sebaliknya, “Aduuuh bahasa Inggris Jokowi sangat memalukan, kita yang dengernya saja ikut malu sendiri,” kata mereka.

Ya, ya, para kritikus itu seperti menutup mata dan hati meski melihat dan mendengar fakta yang ada. Padahal, menurut berita, Jokowi telah membuka hari pertama APEC 2014 dengan presentasi yang elok di hadapan sejumlah pemimpin perusahaan.

Jokowi tampak dalam beberapa foto dilansir oleh kantor beritaAFP, Senin (10/11), terlihat mengenakan setelan jas resmi dengan dasi berwarna merah.

Pada video yang diunggah di YouTube juga tampak betapa Jokowi berbicara dalam bahasa Inggris dengan lancar dan tidak memerlukan teks. Tuturannya mengalir, memperkenalkan Indonesia sebagai negara yang terbuka dan aman untuk berinvestasi.

Yang mengejutkan, sehabis pidato, Presiden Joko Widodo menjadi “magnet” bagi para pemimpin perusahan dunia, yang tengah menghadiri puncak Forum Kerja Sama Ekonomi Asia Pasifik (APEC) di Beijing, Tiongkok, Senin 10 November 2014.

Mantan Gubernur DKI Jakarta ini langsung menjadi buruan para CEO yang ingin berkenalan dengannya. Mereka semua berebut berjabat tangan dan foto bersama Jokowi.

Tak cuma itu, akun resmi Twitter APEC CEO Summit 2014 mengunggah foto ketika Jokowi tengah dikerubungi para CEO. Mereka mengaku terkesima dengan presentasi yang disampaikan Jokowi.

Saat di dalam negeri dicemooh oleh sebagian orang, di forum dunia, Joko Widodo justru dihormati sedemikian rupa. Jokowi bersama Presiden Amerika Serikat Barack Hussein Obama dan Presiden China Xi Jinping bakal menjadi tiga pembicara utama di perhelatan itu.

Hal kedua adalah keikutsertaan putri Joko Widodo, Kahiyang Ayu, dalam rombongan, yang dinilai bagian dari pemborosan dan menyalahi aturan. Ada juga yang menyitir pernyataan Ketua KPK Abraham Samad yang mengatakan, “Ketika sedang bertugas ke luar kota dan ingin membawa istrinya, maka fasilitas yang didapatkan seperti tiket pesawat dan kamar hotel tidak boleh dirasakan istrinya juga.”

Tentu saja, pernyataan Abraham bisa langsung dipatahkan jika diterapkan kepada presiden. Sebab, kunjungan presiden dan wakil presiden bersama isteri ada tertera pada Peraturan Menteri Sekretaris Negara Nomor 8 Tahun 2007 tentang Petunjuk Standar Pelayanan Penyiapan Perjalanan Kunjungan Kerja Presiden, Wakil Presiden, dan/atau Istri/Suami Wakil Presiden ke Luar Negeri.

Sementara itu, mengenai ikut sertanya Kahiyang Ayu dalam rangka kunjungan ke luar negeri, menurut Sekretaris Kabinet Andi Widjajanto, tak ada aturan yang melarang hal ini. Sebab, seorang presiden diperbolehkan untuk membawa serta keluarganya.

“Secara protokoler, presiden bisa mengajak anggota keluarga kalau ada acara-acara lepas. Presiden bisa membawa ibu egara dan keluarga bisa diperkenankan diajak,” kata Sekretaris Kabinet Andi Widjajanto saat ditemui seusai makan malam di Hotel Kempinski, Beijing, Sabtu (8/11/2014).

Menurut Andi, Jokowi sebetulnya bisa membawa tiga anaknya. Namun, rupanya hanya Kahiyang yang bisa. Itu pun untuk menemani sang ibunda tercinta, Iriana.

Karena itu, Andi merasa kehadiran Kahiyang tidak perlu dipersoalkan. Terlebih lagi, dalam rombongan Jokowi kali ini, dilakukan perampingan besar-besaran.

“Secara aturan tidak ada yang salah,” jawabnya.

Hmmm, untunglah Presiden Joko Widodo terkenal sebagai penyabar dan murah senyum. Hantaman dan fitnahan yang diterimanya jangan-jangan adalah cara Tuhan untuk menguatkan dirinya sebagai seorang tokoh terkemuka negeri ini, saat ini.

Sementara itu, bagi para pengkritik, bisa jadi mereka memahaminya sebagai bagian dari demokrasi, di mana setiap orang memiliki hak untuk mengeluarkan pendapat. Tapi, bukankah kritik yang sehat harus juga berdasar pada fakta dan juga akal sehat? Jika semua tindakan menjadi bahan kritikan, tentu akan muncul kesan bahwa si pengkritik itu sebagai Si Sirik yang nyinyir dan penuh prasangka.

Padahal, semua agama mengajarkan agar kita menjauhi prasangka (kecurigaan) karena sebagian dari prasangka itu dosa. Bukankah kita juga diperintahkan agar jangan mencari-cari keburukan orang dan jangan bergunjing satu sama lain?

Lebih dari itu semua, bukankah kita saudara sebangsa yang seharusnya saling menguatkan?