Rabu, 20 Maret 2013
Kelas Itu Permanen
Mereka bilang form is temporary, class is permanent. Jika form buruk bisa dikritik dan form seadanya bisa diperdebatkan, maka kelas, seperti apa pun bentuknya, memang demikianlah adanya.
Dan pada kelas seperti itulah, seperti yang mereka miliki saat ini, Manchester United dan Liverpool berada. Ketika kedua tim tersebut bertemu akhir pekan lalu, Minggu (13/1/2013), ada kelakar yang beredar: United, si pemuncak klasemen, akan menjamu Liverpool, yang bahkan untuk masuk ke empat besar saja sulit. Bagaimana mungkin itu disebut sebuah big match?
Tapi, kelakar ada untuk tidak terlalu diseriusi--meski kadang menyentil. Namanya juga kelakar. Di mana pun posisi Liverpool berada saat ini, tetap tidak mengubah fakta bahwa pertemuan kedua klub adalah pertemuan di antara kedua klub tersukses di Inggris. United dan Liverpool punya jalan panjang dalam catatan sejarah dan oleh karena catatan panjang itu, mereka punya kelas tersendiri.
Melulu membicarakan sejarah atau menengok ke masa lalu memang tidak menyenangkan. Tapi, tanpa sejarah dan catatan panjang di masa lalu kelas itu tidak akan tercipta. Tanpa sejarah, Liverpool yang tengah terdampar di papan tengah tidak akan ada bedanya dengan tim papan tengah lainnya. Mereka akan dicap sebagai tim papan tengah biasa, alih-alih tim raksasa yang tengah tertidur. Sejarah telah menciptakan kelas dan kelas menjadi identitas.
Para pendukung Liverpool kerap dicibir jika membela diri dengan membanggakan sejarah klubnya. Tapi, itu tidak mengubah fakta bahwa sejarah klub asal kota pelabuhan itu memang membanggakan.
Manchester City boleh bersenang hati atas pencapaian juara Premier League musim lalu, Chelsea juga boleh memamerkan status mereka sebagai juara Eropa, lalu mengapa Liverpool tidak bisa membanggakan capaian 18 gelar juara Liga Inggris dan 5 gelar Liga/Piala Champions? Toh, jika dipandang dalam sudut pandang masa kini, semua kebanggaan itu sama-sama sudah berbentuk masa lalu.
Liverpool yang sekarang adalah gambaran jelas perumpamaan yang tertulis di awal tulisan ini. Performa yang mereka tunjukkan dalam beberapa musim terakhir bisa jadi adalah sebuah kesementaraan. Sayangnya, kesementaraan itu terlalu lama. Ada musim di mana The Reds tampak menjanjikan, namun ujung-ujungnya gagal juga menjadi juara di liga. Entah apa yang sesungguhnya salah dengan Liverpool. Pertanyaan itu akan terus berulang tiap kali mereka menjalani musim yang tidak impresif, dan saking berulangnya menjadi sebuah enigma tersendiri, sebuah teka-teki.
Liverpool bisa jadi salah asuhan. Entah dalam hal manajemen di belakang layar ataupun kebijakan transfer pemain. Baru-baru ini Bleacher Report memuat sebuah tulisan yang menggambarkan banyak transfer Liverpool yang tidak berhasil dalam satu dekade terakhir. Pemain-pemain kerap dibeli melebihi nilainya hanya untuk bertahan satu atau dua musim, dan ini tidak hanya terjadi satu atau dua kali saja.
United, di sisi lain, justru berjalan sebaliknya. Penciptaan sejarah dan kelas itu, bagi mereka, mulai tertulis ketika Matt Busby datang. United kemudian sempat meredup, hingga akhirnya datang Alex Ferguson menuliskan ulang apa yang pernah dibuat oleh Busby. Ferguson tahu apa yang ingin dibuat dan dibangunnya. Sejak awal datang ke Old Trafford, ia sudah memulai pencarian akan sebuah bentuk tim yang solid, dan kalau perlu bertahan lama.
Ferguson-lah yang meletakkan dasar kebesaran United di era 90-an sampai bisa seperti sekarang. Ferguson adalah United dan begitu sebaliknya. Dia harus menunggu lama untuk bisa merasakan trofi juara liga pertamanya, tapi setelahnya semua seperti tidak terhentikan. Ferguson butuh Eric Cantona untuk melengkapi skuatnya dulu, sama seperti butuhnya dia akan Robin van Persie sekarang. Tak heran kalau keduanya disebut Ferguson sebagai kepingan puzzle terakhir yang dicari-carinya.
Atas nama kebesaran dan kelas itu jugalah laga antara United dan Liverpool selalu punya tensi. Mereka adalah rival. Klaim sebagai kebanggaan Inggris atau klub terbaik di Inggris kerap didengungkan sampai hari ini. Tema akan kebanggaan diri ini bahkan sampai diangkat sebagai pesan oleh Chevrolet dalam iklan terbaru mereka yang dibuat jelang pertemuan kedua klub.
Dalam iklan tersebut, wajah beberapa penggawa United dan Liverpool digambarkan bersebelahan sembari mengucapkan kalimat yang sama, kalimat yang berisikan kehebatan klub masing-masing, proses terbentuknya klub selama lebih dari 100 tahun, sejarah yang dimiliki selama rentang waktu itu, hingga klaim klub terbaik dan dukungan fanatik dari para suporter. Ryan Giggs, Joe Allen, Rio Ferdinand, Jordan Henderson, Paul Scholes, hingga Glen Johnson dan Robin van Persie mengucapkan hal-hal itu. Siapa sangka, sejarah yang kerap dicibir itu laku jadi bahan jualan.
Menoleh ke belakang pun, United punya hubungan yang bisa dibilang erat dan unik dengan Liverpool. Menurut Kenny Dalglish, Ferguson adalah salah seorang pertama yang menawarkan bantuan ketika tragedi Hillsborough terjadi. Lebih jauh lagi, pada Februari 1910, Liverpool jugalah yang menjadi lawan pertama mereka pada pembukaan Old Trafford. Presiden John Henry Davies sendiri yang mengundang Liverpool. Pada laga itu, Sandy Turnbull mencetak gol pertama untuk United, tapi Liverpool menang 4-3.
Percayalah, di mana pun posisi Liverpool di klasemen, mereka akan tetap menjadi rival United. Pertemuan keduanya akan tetap menjadi laga besar tersendiri.
----
*Foto: Undangan Manchester United kepada Liverpool untuk menjadi lawan pada pembukaan stadion anyar mereka, Old Trafford. (Manchester United The Official History: 1872-2002)
Glory - Glory Man. United
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar