\

Senin, 18 Maret 2013

Kongres PSSI dan Timnas Kita


Jangan pesimistis, kawan. Jangan patah arang. Berpikirlah positif. Badai pasti berlalu. Sepertinya jalan lurus mulai terlihat.

Pak Djohar juga sudah duduk bareng dengan Pak La Nyalla. Mereka sudah pasang senyum saat foto bareng Pak menpora.

Lihatlah, timnas juga sudah mulai bersatu. Pemain klub-klub ISL sekarang sudah berdatangan untuk ikut training camp. Keren. Kita pasti bisa mengalahkan Arab Saudi.

Optimisme-optimisme di atas masih saya dengar dan baca sampai beberapa hari lalu. Optimisme harus dihargai karena optimisme memelihara harapan, dan harapanlah yang menjaga semangat untuk "move on".

Kalau tidak salah hitung, sejak tahun 2011 besok adalah kali ke-11 diadakan "kongres" para "manajer" sepakbola di Indonesia. Hitungan itu dimulai dari kongres PSSI di Bali pada Januari 2011, lalu kongres di Bandung, Pekanbaru, kongres oleh Komite Normalisasi di Jakarta, kongres Solo, pra kongres KPSI di Jakarta, KLB versi KPSI di Ancol, kongres Palangkaraya, serta dua terakhir pada pertengahan Desember tahun lalu: di Palangkaraya (PSSI) dan di Hotel The Sultan, Jakarta (KPSI).

Hasilnya? Ya tidak ada. Kalau ada, tentu saja tidak mungkin ada kongres sebanyak itu. Bayangkan: 10 kongres dalam dua tahun! Bayangkan berapa puluh miliar uang yang telah dihabiskan secara cuma-cuma -- karena kongres sebanyak itu tidak juga menghentikan kekisruhan ini. Ironisnya, selama itu para pemain megap-megap tak gajian berbulan-bulan, bahkan sampai ada yang mati. Timnas pun harus disumbang oleh warga karena federasi tak punya uang yang cukup untuk berangkat ke Malaysia untuk mengikuti Piala AFF 2012.

Babak selanjutnya adalah setelah Roy Suryo ditunjuk sebagai menpora baru, menggantikan Andi Mallarangeng. Walaupun tidak ada background terkait, apa yang dilakukan Roy harus diapresiasi. Ia tampak begitu bersemangat dengan ranah barunya ini, dengan kisruh tak berkepanjangan ini. Ia seperti tertantang untuk menjadi "finisher". Sekali lagi, itu perlu dihormati karena itulah salah satu tugasnya sebagai pemerintah yang mengurusi hajat hidup masyarakat (olahraga/sepakbola).

Roy segera melakukan pendekatan langsung ke AFC dan FIFA, baik bertemu langsung maupun berkorespondensi melalui surat elektronik (email). Hanya saja cara itu sama sekali tidak progresif karena biasa dilakukan oleh PSSI era Nurdin Halid, Ketua KOI Rita Subowo, dan Djohar Arifin. Tetapi, karena FIFA adalah "hukum universal" di belantika sepakbola, bahkan kadang-kadang dianggap lebih powerful ketimbang negara yang bersangkutan, upaya seperti itu sangat lazim dilakukan.

Sayangnya, selama ini pula FIFA terlalu sulit disimpulkan sikapnya. Mengutip ucapan seorang teman, buat FIFA Indonesia "terlalu sayang untuk disanksi (karena potensi marketing), tapi terlalu berisik jika dibiarkan begitu terus". Nyatanya, dari dulu respons FIFA "begitu-begitu saja": mengiyakan, mendukung yang menyurati, menyuruh kongres, mengancam akan menjatuhkan skorsing, menyuruh kongres lagi, lalu menunda ancaman skorsing, dan menyuruh kongres lagi.

Perubahan besar yang paling mencolok dalam kacamata saya adalah soal Djohar Arifin yang "berbalik arah". Ketika menjadi pemenang di kongres Solo, bahkan nama Djohar pun muncul belakangan. Kubu Arifin Panigoro -- setelah ia dan George Toisutta dicekal untuk pemilihan, bersama Nurdin Halid dan Nirwan Bakrie --, memilih Djohar untuk bertarung -- dan menang.

Setahun memimpin PSSI, Djohar (dan timnya) saya nilai gagal. Pekerjaan PSSI menjadi tidak jelas dan tanggung. Djohar dan tim tidak fokus karena terus "bernafsu" meladeni perlawanan KPSI, namun tanpa strategi cemerlang yang berlapis-lapis. Saya tidak tahu, apa yang nyata-nyata sudah diperbaiki PSSI. Pembinaan usia dini tak kelihatan, public relation tidak bagus, sampai-sampai manajemen timnas pun buruk.

Tim Djohar juga membuat beberapa blunder yang celakanya sudah terlanjur menjadi sebuah "fobia" dalam masyarakat, ketika melibatkan politisi untuk mengurus sepakbola, dari mulai Ramadan Pohan, Habil Marati, dan terakhir pejabat publik aktif, bupati Sarmi, Mesak Manibor, sebagai manajer timnas. Hal-hal di atas terus terakumulasi, sedangkan pertarungannya melawan pihak KPSI terus berlangsung. Mengutip pengamat dan wartawan senior Budiarto Sambazy, "leadership Djohar lemah".

Ketika kepemimpinan Djohar dirasakan lemah, Halim Mahfudz -- yang menggantikan Tri Goestoro setelah ia ditengarai bermain di "dua kaki" -- mencoba mengambil peran lebih "besar". Sesuai background-nya yang memang di bidang komuniasi, Halim mencoba memperbaiki komunikasi federasi ke publik. Ia begitu aktif menjadi seorang "humas" PSSI, setelah fungsi itu dilakukan oleh banyak orang yang tidak kompeten.

Namun, sekali lagi, PSSI tak punya banyak rencana gemilang ketika plan A tak jalan, atau plan B mentok. Halim memang konsisten dalam mensosialisasikan aturan-aturan, statuta. Sebagai landasan dan payung hukum [yang oleh rezim sebelumnya telah dipermainkan], upaya itu tentu saja sangat penting. Hanya saja, menurut hemat saya, kampanye normatif menjadi kurang strategis ketika level pertarungan sudah sedemikian "politis". Timing Halim dan timnya kerap telat dan tak cantik.

Berikutnya, Djohar yang sudah dipinggirkan oleh interen PSSI, mengejutkan banyak orang. Djohar tahu-tahu mendukung pembentukan Badan Tim Nasional (BTN) yang diketuai Isran Noor, bupati Kutai Timur yang juga pimpinan sebuah partai politik di daerah Kalimantan Timur. Kemunculan BTN menjadi kontroversial karena tidak mendapat persetujuan Komite Eksekutif, dan kemudian dengan "seenaknya" memecat Nil Maizar sebagai pelatih timnas, dan menunjuk seorang Argentina bernama Luis Manuel Blanco, sebagai pelatih baru. (Saat tulisan ini dibuat, deskripi profil Blanco di situs Wikipedia cuma dua kalimat pendek: Luis Manuel Blanco is an Argentine football manager. He is currently manager of the Indonesia national football team).

Menurut saya, Djohar dan BTN telah bertindak tidak pantas saat mendepak Nil. Bukan soal pemecatannya, tapi proses dan etika. Pelatih di manapun di dunia ini pasti tahu bahwa mereka bisa dipecat sewaktu-waktu, dan mereka sudah menyadari itu sejak menandatangani kontrak saat direkrut. Tapi Djohar dan BTN seperti lupa betapa Nil adalah salah satu "tameng" federasi ketika menghadapi cercaan sebagian masyarakat. Nil tak pernah mengeluh, tak pernah menjelek-jelekkan timnya kepada publik. Bahkan ia nyaris tak pernah membuka aib keburukan manajemen timnas dan federasi melalui pers. Nil selalu fokus pada pekerjaannya, dan rela dicap gagal oleh sebagian suporter, yang --apa boleh buat-- tidak bisa menerima fakta lain bahwa materi pemain pasukan Nil memang terbatas, dan ia berada di waktu yang salah di masa konflik.

Djohar kembali mengejutkan orang ketika ia berdamai dengan pihak La Nyalla. Dari luar, pemandangan ini mungkin terlihat bagus, karena awalnya masyarakat ingin melihat kedua kubu (PSSI dan KPSI) bersatu. Tapi ternyata, sikap Djohar itu melahirkan kekecewaan pada kelompok lain di PSSI yang telah ia tinggalkan. Djohar dan La Nyalla pun memecat Halim. Di luar soal apakah pemecatan itu sudah sesuai aturan atau tidak, Halim menjadi "seorang diri". Ia seperti tidak mendapat dukungan maksimal dari "konstituennya".

Sejauh ini saya menilai kubu La Nyalla "menang". KPSI berhasil menggandeng Djohar dan masuk ke BTN. Harbiansyah menjadi pengurus teras BTN, dan dengan mudah ia menginstruksikan supaya klub-klub ISL melepas pemain-pemainnya ke timnas. Yang dimaui semua orang seolah-olah langsung terwujud: pemain-pemain terbaik Indonesia bergabung ke timnas. PT. Liga Indonesia pun sampai memberi jeda khusus supaya pemain-pemain mereka segera memenuhi ekspektasi masyarakat itu.

Sayangnya, kejadian hari Jumat (15/3) kemarin sangatlah disayangkan. Sejumlah pemain mengeluh capek dengan kebijakan latihan Blanco. Padahal Irfan Bachdim pun baru tiba dari Thailand, tapi dia mengeluh apa-apa. Blanco tak suka dan mencoret mereka. Harbiansyah membela para pemain. Hamka Hamzah yang notabene pemain senior, di depan banyak orang melontarkan kalimat yang tidak sepantasnya diucapkan oleh seorang pemain profesional, mengenai teman-teman seprofesinya sendiri -- alih-alih merasa senasib-sepenanggungan. Di pinggir lapangan, sebagian suporter masih saja menyebut "timnas IPL atau timnas ISL". Duh. (Berita terkait baca di sini)

Bayangkan, pertandingan melawan Arab Saudi tinggal satu minggu, tapi training camp masih penuh gembar-gembor. Bahkan memanggil sampai 58 pemain untuk pelatnas dua minggu pun sesuatu yang … entah apa manfaatnya (buat tim pelatih). Ditambah dengan kejadian kemarin, lalu kapan si pelatih baru itu bisa mulai fokus menentukan tim dan menyiapkan strategi untuk pertandingan pekan depan? Lalu kita masih berharap timnas bisa mengalahkan Arab Saudi? Daripada dibilang tidak nasionalis, lebih baik saya menjawab, "mudah-mudahan bisa". Kalau perlu dengan sedikit memaksa, "ya harus bisa, harus optimistis."

Besok pagi (17/3) kongres akan dilakukan. Apakah sudah tidak ada riak-riak menuju ke Hotel Borobudur? Jangan bercanda. Urusan voter pun belum selesai sampai malam ini. Terakhir, sebanyak 18 caretaker pengprov menyatakan akan tetap datang ke kongres walaupun belum menerima undangan. Belum lagi "selingan" lain, seperti berita Djohar akan dilaporkan ke Komite Etik karena diduga menerima gratifikasi dan melakukan pelanggaran etika (Kompas.com, 15 Maret 2013). Laporan yang dirilis oleh Direktur Lembaga Kajian dan Pengembangan Olahraga Indonesia (Lemkapoin) itu tentu saja harus dibuktikan kebenarannya. Lain-lainnya, saya percaya masyarakat sudah lebih mudah mendapatkan informasi-informasi seputar ini semua.

Hal-hal di atas menandakan bahwa selama tidak ada motif yang tulus untuk menyelesaikan pertikaian dari para elite yang terlibat, bahwa kongres cuma dilakukan untuk mengggugurkan kewajiban dari FIFA -- atau bahkan sekadar mengalahkan kubu musuh, saya sungguh tidak tahu apa yang akan terjadi pada kongres besok. Dan jika ini diartikan sebagai sikap yang pesimistis, saya akan lebih senang dimaki-maki pembaca karena tulisan panjang-lebar ini salah dan jadi keranjang sampah -- ketimbang diamini seumpama pandangan saya ini berkenan.

Namun, apabila kongres masih tidak menyelesaikan pertarungan para elite itu, izinkan saya menyatakan sebuah sikap lain. Di sisi pengurus PSSI yang sah, mereka tidak perform dan gagal membuat perubahan bahkan di interen federasi sendiri. Di pihak lain, ada utang yang hingga kini belum dijelaskan dan dipenuhi pada masyarakat, terkait praktek-praktek match-fixing di masa lalu.

Jika slogan "selamatkan sepakbola Indonesia" adalah perjuangan pada nilai-nilai, dan bukannya membela kelompok-kelompok, dan juga apabila kita merasa tak punya banyak waktu lagi untuk segera berbenah, mungkin inilah saatnya untuk melibatkan saja orang-orang yang baru.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar