\

Jumat, 22 Maret 2013

Depolitisasi Sepakbola


Dalam umurnya yang masih terhitung muda, 20 tahun, Giorgos Katidis terpaksa merelakan mimpinya untuk bermain untuk negaranya. Seusai satu pertandingan bersama AEK Athens, ia yang mengapteni timnas usia muda Yunani melakukan kesalahan fatal: melakukan perayaan dengan mengangkat tangan kanannya ke arah suporter, seakan memberikan salut yang acap kali diperlihatkan Adolf Hitler saat memimpin Nazi.

Federasi sepakbola Yunani pun mau tak mau harus menghukumnya. Katidis kemudian dilarang bertanding membela timnas selamanya. Tingkah lakunya dianggap tak sensitif, melukai perasaan banyak korban Nazi, dan tak sesuai dengan "semangat" dan "karakter" permainan sepakbola.

Apalagi di waktu yang sama ada peringatan 70 tahun terdeportasinya ribuan kaum Yahudi di Yunani ke camp konsentrasi Nazi. Lengkap sudah alasan untuk memberikan hukuman seberat-beratnya pada Katidis. Sepakbola, katanya, bukan panggung untuk memberikan pesan-pesan politis apapun. Apalagi jika pesan itu merepresentasikan pihak yang melakukan pembantaian terhadap puluhan ribu kaum Yahudi di Eropa.

Berbagai pembelaan kemudian diberikan baik oleh Katidis dan klubnya. Pledoi pertama adalah Katidis tidak melakukan 'salut', melainkan hanya menunjuk salah satu temannya saja yang berada di tribun.

Sementara pembelaan kedua adalah ia tidak mengetahui arti salam tersebut. "Saya bukan fasis, atau rasis, atau neo-Nazi. Seluruh keluarga saya berasal dari Laut Hitam dan berkali-kali mengalami penderitaan karena tindakan rasisme," ujar Katidis.

"Jika saya tahu artinya, saya tak akan melakukannya," tambahnya melalui akun twitter pribadinya.

Pembelaan ini di-iya-kan oleh pelatih AEK Athens, Ewald Lienen. "Katidis tak tahu apa-apa soal politik. Paling-paling ia melihat salut itu dari internet, atau sumber lainnya, dan menirunya tanpa tahu apa maknanya,"katanya.

Lienen, yang terkenal karena reputasinya condong ke golongan kiri, pun mengatakan ia tidak akan mau memasukkan nama Katidis lagi ke dalam tim jika ia tahu Katidis benar-benar melakukan salam ala Nazi tersebut dengan tujuan tertentu.

Katidis sendiri bukan pemain pertama yang coba menyangkal afiliasi politik yang diasosiasikan padanya.

Tentu masih segar diingatan para penggemar Serie A bagaimana seorang Gianluigi Buffon menolak untuk diasosiasikan sebagai fasis pada September 2000. Label fasis kala itu ditujukan padanya karena ia sempat menggunakan kaos bernomor punggung 88. Oleh banyak orang, terutama kaum Yahudi di Italia, angka itu bisa diartikan sebagai "Heil Hitler" (huruf ke-8 daftar alfabet Latin adalah 'H', sehingga 88 dibaca 'HH').

Seperti halnya Katidis, Buffon juga melakukan pembelaan melalui media. Menurutnya angka 88 dipilih bukan karena kesetiaannya pada Mussolini, namun karena 88 berarti memiliki 4 bola (ball), sehingga bisa diartikan punya banyak keberanian. Dan, seperti halnya Katidis, Buffon juga mengaku tidak mengetahui makna sebenarnya yang tersembunyi di balik angka 88 itu.

Terlepas dari kebenaran (atau ketidakbenaran) dari pengakuan Katidis dan Buffon, pengakuan secara terang-terangan seorang pemain akan afiliasi politik pribadinya memang sudah sangat jarang ditemukan di lapangan hijau. Jangankan untuk mengakui keberpihakan ke satu golongan tertentu, untuk mendukung satu gerakan kebebasan berbicara, atau ide lainnya pun tampak sulit untuk dilakukan.

Salomon Kalou adalah salah satu contohnya. Pada Januari 2009 Kalou merayakan dua golnya untuk Chelsea ke gawang Middlesborouh dengan menyilangkan kedua tangannya. Banyak orang mengartikan gerakan ini sebagai lambang protes pemborgolan Antoine Assale Tiemoko, seorang penulis yang dipenjara karena menggoreskan cerita tentang ketidakadilan di Pantai Gading.
FA pun kemudian meluncurkan investigasi akan hal ini. Jika selebrasi Kalou terbukti sebagai dukungan terhadap Tiemoko, maka dapat dipastikan Kalou akan menerima sanksi dan hukuman larangan bermain. Dapat diduga, seperti Buffon dan Katidis, Kalou pun menolak anggapan bahwa perayaan golnya ditujukan untuk Tiemoko.

Para pesepakbola, terutama yang bermain di Eropa, kehilangan 'suara pribadi'-nya di lapangan hijau bukanlah hal baru lagi. Dalam 10 tahun terakhir saja, mereka-mereka yang berani berpolitik di lapangan hijau bisa dihitung dengan sebelah tangan: Paolo Di Canio dan Christian Abbiati yang menyatakan dirinya sebagai fasis, sementara Cristiano Lucarelli mengaku sebagai komunis.

Di antara mereka, pesepakbola yang paling lantang bersuara sebenarnya datang dari Spanyol. Di saat Di Canio atau Abbiati menunjukkan afiliasi politiknya dengan gimmick-gimmick seperti selebrasi gol atau membawa bendera khas Commandos Tigre (ultras sayap kanan AC Milan), Oleguer Presas melakukannya lebih jauh lagi.

Oleguer bermain untuk Barcelona B antara 2001 sampai 2003. Tahun 2004, dia mendapat promosi bermain di tim utama Barcelona sampai 2008. Sebagai seorang sarjana ekonomi, bek sayap kanan itu sering kali menuangkan keberpihakannya terhadap kemerdekaan Catalan dalam jurnal-jurnal sosialis. Ia pun menerbitkan buku "The Road to Ithaca" yang bercerita tentang Spanyol di era Jendral Franco, dan bercerita tentang perang akan teror, juga kenangan-kenangannya di masa kecil, juga kariernya di masa muda.

Puncaknya saat ia menulis sebuah artikel dalam bahasa Basque di suratkabar Berria pada 7 Februari 2007. Dalam artikelnya itu dia menggugat independensi sistem hukum di Spanyol, terutama terkait penahanan dan penghukuman Jose Ignacio de Juana Chaos, seorang aktivis ETA [organisasi perlawanan yang menginginkan pembebasan Basque].

Sikap ini harus Oleguer bayar mahal. Ia diserang oleh media, sesama pemain lainnya, dan ditinggalkan sponsor karena dianggap mendukung pemberontak ETA Ignacio De Juana. Saat Barcelona mengunjungi Valencia, setiap langkah dan gerakan Oleguer pun disambut dengan cemoohan dan hujatan. Pelatih Barcelona saat itu, Frank Rijkard, dan presiden klub saat itu, Joao Laporta, menyerang pilihan Oleguer untuk menulis artikel tersebut -- sebuah tindakan yang akhirnya memperjelas indikasi betapa Barcelona memang tak lagi merepresentasikan spirit perlawanan bangsa Catalan terhadap Spanyol.

Jika ada benang merah antara kasus Kalou, Buffon, atau Oleguer, maka salah satunya adalah sanksi. FIFA secara terang-terangan melarang keberadaan pesan-pesan politik, agamis, maupun komersial dalam lapangan hijau dan tak segan-segan untuk menghukum siapapun yang melanggarnya.

Striker Sevilla, Frederic Kanoute, misalnya. Ia pernah membayar denda sebesar 4 ribu dolar saat ia menunjukkan dukungannya terhadap Palestina dengan menggunakan media kaos bertuliskan "Palestina" di balik jersey bolanya. Nicolas Bendtner pun harus merogoh kocek membayar denda, setelah memperlihatkan tulisan "Paddy Power" di pakaian dalamnya.


Dibandingkan dengan tingginya rate gaji pemain, denda ini tentu terasa tak seberapa dan dengan mudah bisa mereka bayar. Tapi, adanya larangan bertanding setidaknya cukup efektif untuk meredam pemain yang ingin menggunakan sepak bola sebagai alat politik kepentingan tertentu.

Tindakan FIFA ini didasari oleh keinginan agar sepakbola (semakin) diterima sebagai permainan global di seluruh dunia. Netralitas pun akhirnya digunakan sebagai tameng untuk mengatasi batasan-batasan politis. FIFA memiliki 200 negara sebagai anggotanya dan masing-masing memiliki isu politik dan sosial tersendiri; hari bersejarah, persaingan dengan negara tetangga, serta simbol politis masing-masing.

Netralitas akhirnya dijadikan alasan oleh FIFA untuk mereduksi kemungkinan adanya friksi yang mungkin timbul antarnegara atau golongan. Untuk mengajak sebanyak mungkin orang untuk terlibat dalam sepakbola.

Boleh saja punya afiliasi politik, tapi selama 90 menit mereka tidak boleh menunjukkannya di lapangan hijau. Selama 90 menit cukuplah 22 orang dan satu bola yang berada di lapangan. Selama 90 menit cukuplah para suporter yang datang ke stadion melupakan identitas diri mereka sejenak dan merasa terhibur oleh keindahan permainan.

Bebas dari Politik?

Bisa dikatakan, untuk mengasumsikan sepakbola lepas dari politik itu sendiri adalah suatu kenaifan tersendiri. Mulai dari pemilihan sponsorship hingga pemilihan bentuk liga beserta tetek-bengeknya sesungguhnya adalah satu sikap politik tersendiri.

Pada akhirnya slogan "Kick Politic Out of Football", dan menjadikan lapangan tempat yang netral, pun terdengar sebagai satu pernyataan politis tersendiri: keberpihakan pada sponsor. Bedanya pesan ini disampaikan secara halus, perlahan, dan tanpa mengundang perhatian banyak orang.

Sebagai contoh lihat saja penyelenggaraan English Premier League. Salah satu liga terbaik di dunia ini memilih sistem kapitalis murni sebagai bentuk penyelenggaraan liga -- dan itu jelas sebuah pilihan dan tindakan politik. EPL adalah representasi satu sistem ekonomi pasar bebas yang telah dijalankan selama lebih 20 tahun. Bagaimana piramida sistem kapitalis, segelintir yang berada di puncak menguasai kue paling banyak dan yang berada di lapisan paling bawah saling menginjak-injak, benar-benar terwujud dan terlihat dengan jelas (lihat tulisan: "Premier League Sebagai Frankenstein").

Bandingkan dengan NFL (National Football League) di Amerika yang beraromakan sosialis, di mana tim-tim akan membagi keuntungan tiket, lisensi, dan hak siar televisi secara merata. Tentu pemilihan bentuk liga ini adalah satu keputusan politik tersendiri.

Atau, lihatlah kedekatan antara FIFA, Spanyol, dan penyelenggara Piala Dunia 2022, Qatar. Atau bagaimana Vladimir Putin langsung memberikan "arahan" saat Rusia melakukan bidding sebagai tuang rumah PD 2016. Semua adalah tindakan dengan motif politis tertentu, namun masih dalam koridor "netralitas" karena tidak ditampilkan terang-terangan dalam 90 menit permainan.

Untuk konteks industrialisasi sepakbola, jargon "kick politic out of football" adalah sebuah pernyataan politik yang dikemas melalui gimmick.

Itu tak lain sebentuk depolitisasi para pemain dan suporter sepakbola. Ini mengingatkan saya pada konsep "massa mengambang" ala Ali Moertopo di era Orde Baru. Dengan depolitisasi melalui konsep "massa mengambang" itu, Orde Baru memaksa rakyat untuk menjauh dari politik, mengharamkan rakyat berpolitik, tapi dijaring suaranya justru saat Pemilu.

Sukar untuk tidak mengatakan hal serupa terjadi dalam sepakbola. "Kick politic out of football" adalah konsep "massa mengambang" ala sepakbola. Melalui jargon "kick politic out of football", pemain dan fans dijauhkan dari politik tapi dieksploitasi untuk sponsor [baca: kapitalisme dan pasar bebas].

Di satu sisi, netralitas memang dibutuhkan untuk melindungi mereka yang termarjinalkan dari pesan-pesan rasisme atau bigotry.Tapi di sisi satunya, sulit untuk tidak bersikap sinis dan beranggapan bahwa sepakbola yang netral dibutuhkan hanya untuk menarik lebih banyak massa demi kepentingan komersial. Bagaimanapun juga, satu "produk" yang tak menyinggung banyak orang akan lebih mudah untuk dijual.

Untuk itu, para pemain sebagai aktor utama yang mengiklankan sepakbola sebagai produk pun tak penting-penting amat untuk punya afiliasi politik. Mereka cukup bermain dengan indah selama 90 menit, bersikap fair-play terhadap lawan, tersenyum pada kamera, dan tak berulah di luar lapangan. Sebagai idola banyak orang dan bukan segelintir golongan, untuk memiliki pikiran dan sikap tertentu, seberapapun benar atau salahnya sikap itu, adalah satu kesalahan fatal dan tak terampuni.

Maka jangan heran jika di usianya yang masih 20 tahun Giorgios Katidis menemukan dirinya tak bisa lagi membela negaranya. Pemain yang menyampaikan suatu pesan politik, entah itu disengaja atau tidak, tak boleh lagi mendapatkan tempat di lapangan.

Betapa politisnya konsep "kick politic out of football", bukan?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar