\

Kamis, 19 Desember 2013

Menguak Ketidakpopuleran

Agak lucu saat menyadari apa yang terjadi di kancah persepakbolaan nasional belakangan. Tentang segala caci maki, amarah dan kekecewaan yang seketika berubah menjadi puja-puji, air mata haru dan kebahagiaan saat barisan pemuda yang umurnya tak lebih dari sembilan belas tahun itu memberikan jalan bagi negara ini untuk merasakan kembali nikmatnya menyandang gelar juara.
Ah, sudah sejak berapa bulan yang lalu cerita ini terdengar? Tapi rasanya memang tak pernah bosan. Mengulang cerita yang sama, tenggelam dalam kebahagiaan dan kebanggaan sama yang tak surut sampai hari ini.
Lain mereka, lain pula pemuda-pemuda yang seharusnya menjadi senior. Mengenakan seragam yang sama, membela negara yang sama namun tak disokong oleh dukungan dengan porsi yang sama. Daripada kepercayaan, lebih kepada dominasi keragu-raguan. Dibandingkan menikmati manisnya dukungan, lebih banyak mengecap pedasnya sindiran.
Sepakbola ini alam rimba. Yang lemah akan terkapar, mati dan dilupakan. Yang kuat akan berdiri tegak, hidup dan disanjung. Mungkin tak akan ada makna harafiah sajak Yunani tentang betapa beruntungnya seseorang saat ia mati sebagai orang muda.
Sikap sinis dan keraguan yang ditujukan untuk mereka bukannya tak beralasan apalagi tak bersandar pada logika. Wajar saat dihadapkan dengan fakta nihilnya prestasi. Semakin berang karena sesaat setelah adik-adik mereka menuai prestasi, mereka justru menyuguhkan performa semenjana. Sepakbola mungkin memang kejam. Tapi hidup pun tak pernah ramah terhadap mereka yang kerap tertinggal jauh.
Sea Games 2013 ini giliran mereka yang unjuk gigi. Aku rasa Rachmad Darmawan cukup serius, ia tak menganggap ajang ini sebagai perhelatan kacangan belaka tanpa makna. Buktinya dalam pertandingan pembuka pun ia berbekalkan skuad yang hampir selalu menjadistarterdi setiap pertandingan pada klub masing-masing.Mau tidak mau, sadar tidak sadar – epos yang berkutat tentang kegagahan dan kegigihan tim nasional U-19 tadi memberikan dampak –yang dari sudut pandangku– terciptanya golongan populer dan tidak populer. Gairah tim nasional U-19 memang begitu menyihir setiap penggila sepakbola tanah air yang sangat merindukan sepakbola Indonesia yang layak. Tak heran jika mereka menjadi begitu populer. Seandainya waktu itu mereka takluk di partai final pun, mungkin kita masih rela untuk mengelu-elukan mereka. Sementara tim nasional U-23 yang saat ini bertanding di Myanmar, masuk kepada golongan tidak populer tadi. Lihat saja keraguan-keraguan yang muncul di sepanjang laga.
Mereka memang tidak populer, namun pada kenyataannya mereka pulalah yang berhasil melaju ke partai final. Siapa yang menyangka? Aku pun tak pernah menyangka. Entah ini berlebihan atau tidak, tapi aku jadi berpikir tentang ketidakpopuleran tadi.Mungkin perjuangan tim nasional U-23 di ajang Sea Games kali ini tidak sedramatis itu. Tidak sampai harus bertaruh nyawa secara harafiah. Namun aku sendiri melihat bahwa mereka berjuang dalam ketidakpopuleran. Ketidakpopuleran yang terbentuk dari sebuah pola yang mendikte bahwa sepakbola Indonesia itu harus seperti sepakbola ala anak-anak asuh Indra Sjafri. Bukannya aku mencemooh perjuangan Indra Sjafri, bukan. Karena pada dasarnya pun, ia telah melewati masa-masa berjuang dalam ketidakpopuleran.
Rahmad Darmawan dan anak-anak asuhnya memang berjuang dalam arena yang begitu populer. Arena yang bernama sepakbola. Popularitas sepakbola memang begitu hebat. Sangat hebat, sampai-sampai kita menutup mata pada raihan prestasi di cabang olahraga yang lain. Wushu, renang, dayung, bulu tangkis, gulat, lari, karate – mereka boleh kalah populer jika diadu dengan sepakbola, namun mereka pulalah yang terlebih dulu mendulang emas bagi negara ini. Lihat apa yang bisa dilakukan oleh orang-orang yang tidak populer?
Namun jika melihat kepada lapisan berikutnya, Rahmad Darmawan beserta anak-anak asuhnya kalah populer dibandingkan sepakbola yang ditukangi oleh Indra Sjafri. Bagi kita, Indra Sjafri bagaikan tukang pos yang menjelma menjadi juruselamat.
Tapi di atas segalanya, berbahagialah orang-orang yang tidak populer. Manusia manapun, tanpa terkecuali, memiliki potensi untuk menjadi unsur yang membentuk sebuah pola. Soe Hok Gie pernah menganalogikan ini dengan pion catur. Katanya, siapapun kita adalah pion-pion yang mengisi sejarah dunia. Dimainkan ke sana ke mari, menjadi obyek dan bukan menjadi subyek.
Mungkin Indra Sjafri sadar betul dengan hal ini, popularitas sering kali menjadi awal dari kejatuhan. Nikmatnya memang luar biasa, tapi sering kali menjadi mematikan. Makanya, aku tak heran dengannya yang bersikukuh untuk menutup akses anak-anak asuhnya untuk bersentuhan langsung dengan popularitas.
Jadi, di atas segala ketidakpopuleran yang sering kali dianggap menjadi penghalang – yang sering kali berwujudkan minimnya dukungan dan tingginya keragu-raguan, aku rasa Rahmad Darmawan dan anak-anak asuhnya harus tetap berbahagia. Karena tetap ada kemerdekaan untuk mereka.

Jumat, 13 Desember 2013

Menunggu Kehebatan Sebenarnya David Moyes


Mengapa David Moyes yang dipilih? Pertanyaan dari pendukung Manchester United itu, ketika Sir Alex Ferguson pensiun di akhir musim lalu, mencerminkan keraguan besar: apakah orang ini bisa melakukannya?

Yang menarik, dalam sejarahnya MU tidak begitu saja memecat pelatih. Bahkan Fergie pun tidak mereka apa-apakan padahal tidak memberikan apa-apa di musim pertamanya di Old Trafford. Anda tahu, ada di posisi berapa MU ketika mulai ditangani orang Skotlandia itu? Peringkat ke-11.

Walaupun di musim berikutnya finis sebagai runner-up (di bawah Liverpool), MU kembali ke posisi 11 di akhir musim 1988/1989. Celakanya lagi, di musim selanjutnya Bryan Robson dkk. Malahan terpuruk di urutan ke-13.

Untungnya, walaupun MU berakhir di peringkat ke-13 di liga, di musim itu mereka berhasil memenangi Piala FA, yang menjadi trofi pertama Fergie di klub ini. Setelah itu, buah kesabaran dan keputusan manajemen mempertahankan Sir Alex hari demi hari membuahkan hasil.

Di musim 1990/1991 MU menduduki peringkat keenam di liga, dan menjuarai kompetisi Eropa: Piala Winners. Di musim 1991/1992 MU menjadi runner-up, dan di musim berikutnya tampil sebagai juara Premier League. Dan seterusnya, kita tahu apa yang telah dilakukan MU dalam dua dekade terakhir ini.

Dengan segala pencapaiannya -- total 38 gelar sejak November 1986 sampai Mei 2013, Sir Alex meninggalkan warisan sekaligus beban yang teramat besar untuk siapapun penggantinya. Lalu, kenapa Fergie memilih Moyes sebagai penerus "dinastinya" itu?

Alasan yang "wajar" adalah mereka sama-sama dari Skotlandia. Juga, trek rekor Moyes tidaklah buruk buat seseorang yang bisa membangun sebuah tim (Everton) yang sering menyulitkan tim-tim favorit, dan selalu menjadi seekor kuda hitam di Premier League, padahal materi pemainnya pas-pasan.

Moyes mengawali kariernya sebagai manajer di awal 1998 sebagai komandan Preston North End, yang kala itu bermain di divisi tiga Liga Inggris. Ia lalu direkrut Everton pada tahun 2002 dan bertahan di Goodison Park selama 11 tahun. Ironisnya, sepanjang kariernya itu ia hanya mendapat satu piala, yaitu Football League Second Division (1999/2000. Trofi keduanya baru diperoleh setelah ia digaet MU, dalam laga Community Shielf di awal musim ini.

Meski fakir piala, tapi Moyes punya prestasi yang layak dibanggakan. Ia pernah tiga kali terpilih sebagai manajer of the year oleh League Managers Association, yang merupakan asosiasi manajer-manajer di Liga Inggris.

Sebagai mantan pemain yang berposisi center back, Moyes sangat ahli dalam meramu sistem pertahanan di Everton. Ukurannya, dalam 7 musim terakhir mereka "hanya" kebobolan 280 gol dalam 266 pertandingan liga, yang itu berarti rata-rata tidak sampai 2 gol per game. Selama itu pula mereka selalu masuk 7 besar kecuali musim 2009/2010 (rangking 8).

Lalu kenapa sejauh ini ia tidak mampu menerapkan hal serupa di MU, yang jelas-jelas memiliki materi pemain yang mumpuni?


Menurut penulis, permasalahan MU diawali dengan kegagalan mereka mendapatkan beberapa pemain incarannya pada bursa musim panas, walaupun gelontoran poundsterling telah disiapkan. Ini memperlihatkan, seakan-akan magnet MU menurun drastis karena faktor pergantian manajer dari Fergie ke Moyes. Cesc Fabregas, Luka Modric, Thiago Alcantara sampai Ezequiel Garay "menolak" diajak ke Manchester. Hanya Marouane Fellaini yang notabene anak buah Moyes di Everton yang bisa direkrut MU. Selain mencoba pemain muda seperti Adnan Janujaz dan Wilfried Zaha, skuat "Setan Merah" praktis tidak berubah dengan musim lalu saat menjadi juara Premier League.

Sampai 15 pekan MU hanya menang enam kali, tapi kalah pun sampai 5 kali. Dalam dua laga terakhir mereka berturut-turut menyerah dari Everton dan Newcastle United di Old Trafford. Anomalinya, di Liga Champions mereka tak terkalahkan dan berhasil lolos dari fase grup.

Posisi ke-9 di klasemen sementara tentu saja di luar dugaan dan harapan semua penggemar MU. Tak heran jika pertanyaan "klasik" itu muncul: sampai kapan manajemen akan percaya pada kinerja Moyes? Apakah hasil baik akan segera datang? Itu yang akan menjadi misteri dalam beberapa pekan ke depan terutama di masa padat di akhir tahun ini.

Sejauh musim ini sudah adalah tiga manajer yang dipecat: Paolo di Canio, Ian Halloway, dan Martin Jol. Apakah Moyes akan menjadi yang keempat. Well, semua bisa saja terjadi. Tapi ingat, seperti ditulis di bagian atas, dalam empat musim pertama Fergie di MU, tiga kali tim ini finis bahkan di luar 10 besar.

Lagi-lagi, inilah serunya Premier League, selalu sulit ditebak. Jika ingin menjadi legenda pula di kompetisi ini, Moyes tentu saja harus bisa meneruskan "dinasti" dan warisan yang diserahkan Fergie pada dirinya. Sebuah pepatah mengatakan, sebuah kerajaan tidak akan kuat kalau rajanya lemah. Begitupun di sepakbola, sebuah tim memerlukan manajer yang hebat untuk menjadi hebat.

Mampukah Moyes?

#IN MOYES WE TRUST

Minggu, 01 Desember 2013

Ryan Giggs Empat Dasawarsa dan Tetap Abadi


Tak banyak pemain yang tetap menjadi bagian integral di klubnya dengan usia yang sudah hampir menyentuh empat dasawarsa. Ryan Giggs adalah salah satunya. Dia memang istimewa.

Pada 29 November 2013, Giggs genap berumur 40 tahun. Bukan usia yang ideal lagi untuk ukuran seorang pesepakbola profesional, terlebih di Eropa. Namun, gelandang Manchester United asal Wales itu sanggup membuktikan bahwa dirinya masih bisa bersaing dengan talenta-talenta yang jauh lebih muda darinya.

Nama Giggs memang tak bisa dipisahkan dengan United. Selama 23 tahun menekuni karier sebagai pesepakbola profesional, Giggs hanya pernah memperkuat Red Devils. Di masa silam, dia adalah bintang yang terkenal dengan speed dribbling-nya. Sekarang, meski usianya semakin bertambah, dia tetap pilar penting di Teater Impian.

Sejak era Sir Alex Ferguson hingga kini masuk masa transisi kepemimpinan David Moyes, Giggs selalu mendapat tempat. Porsi bermain Giggs memang tak lagi sebanyak dahulu. Namun, setiap kali diturunkan, dia selalu berusaha memberikan yang yang terbaik.

Bukti paling shahih bisa dilihat ketika United menghantam tuan rumah Bayer Leverkusen lima gol tanpa balas di matchday 5 Grup A Liga Champions 2013/14, Kamis (28/11).

Bermain penuh dari menit awal sampai peluit panjang, Giggs menunjukkan performa luar biasa. Giggs tampil solid di pos gelandang bertahan dalam formasi 4-2-3-1 United. Di laga itu (statistik via WhoScored), selain aktif memutus alur serangan tuan rumah dengan 4 tekel sukses dan 1 interception-nya, Giggs juga membukukan jumlah pass (62) dan long ball akurat (9) terbanyak dibandingkan pemain-pemain lain. Tingkat ketepatan operannya pun mencapai 92%.

Menyesuaikan dengan usia, permainan Giggs berevolusi. Dari seorang speedster pengiris sektor sayap kiri, kini dia menjelma menjadi gelandang elegan yang lebih mengandalkan kreativitas untuk membuka peluang bagi rekan-rekannya. Melawan Leverkusen, torehan key pass Giggs (3) hanya kalah dari Wayne Rooney (4). Dari tiga peluang yang diciptakannya itu, salah satunya berujung pada assist untuk gol kelima United oleh Nani di penghujung laga.

Musim ini, Giggs baru dua kali dipasang sebagai starter oleh Moyes di Premier League. Di Liga Champions, sudah tiga pertandingan. Persamaannya, Giggs hampir tak pernah tampil mengecewakan - masih penuh energi dan selalu berusaha memberi kontribusi positif. Dia seolah tak pernah dimakan usia - sosok yang abadi.

Sulit mencari pemain seperti Giggs saat ini. Kalau ada pun, pasti tak banyak. Selain kapten Inter Milan Javier Zanetti (40 tahun), siapa lagi?

Sebenarnya, apa rahasia Giggs agar bisa tetap fit di usianya yang sekarang, padahal dahulu dia cukup akrab dengan cedera hamstring? "Yoga. Itu sangat membantu saya. Yoga memberi saya fleksibilitas dan kebugaran tak hanya untuk berlatih, tapi juga ketika turun ke lapangan," kata Giggs kepada La Gazetta dello Sport setahun silam.

Langkah itu sendiri membuktikan bahwa Giggs sangat mencintai sepak bola dan klubnya. Dia seolah tak mau absen lama-lama dari lapangan hijau hanya akibat masalah kebugaran.

Di United sekarang, Giggs tak hanya seorang pemain. Dia juga bagian dari staf kepelatihan. "Saya harap saya bisa menularkan pengalaman (kepada para pemain) dan menjadi bagian keluarga besar Manchester United untuk waktu yang sangat lama," ujar Giggs ketika diberi peran tersebut pada Juli 2013.

United sendiri berharap profesionalisme dan perjalanan karier Giggs dapat menjadi contoh serta inspirasi bagi pemain-pemain muda Old Trafford agar bisa sukses di masa depan.

Giggs merupakan pemain paling bertabur gelar dalam sejarah persepakbolaan Inggris. Dia juga satu-satunya pemain dalam daftar Football League 100 Legends yang masih aktif.

Ya, Giggs adalah salah satu legenda hidup. Namun, sampai kapan BBC Sports Personality of year 2009 tersebut akan terus bermain?




Biarlah pertanyaan itu terjawab sendiri jika memang sudah waktunya. Sekarang, selagi masih bisa, kita nikmati saja setiap sepak terjang sang living legend di atas arena. 

40 Tahun Ryan Giggs dan Kehebatan Sang Legenda


Ryan Giggs telah menginjak usianya yang ke-40 minggu ini. Meski demikian, winger yang dahulu dikenal dengan kecepatannya itu ternyata masih enggan untuk menyatakan pensiun. Bahkan, di partai Manchester United versus Leverkusen dini hari tadi, ia masih ikut bermain.

Performanya pun masih dianggap cukup baik untuk seorang pesepakbola yang sudah memasuki usia kepala empat. David Moyes mengakui hal itu, bahkan menyebut Giggs masih bisa tampil lebih baik lagi.

Lawan pun tak kalah takjub dengan kelihaian Giggs di usia tua. Wayne Rooney mengaku bahwa ada pemain Leverkusen yang sempat mendekatinya saat laga semalam dan menanyakan, bagaimana Giggsy masih bisa beraksi di usianya yang setua itu.

Nah, sebagai kado Bolanet atas hari jadi Giggs yang ke-40, kali ini tim sudah menyusun 9 alasan yang membuat Giggs pantas untuk dinobatkan menjadi pemain terbaik Premier League sepanjang masa.

Penasaran? Mari kita simak satu persatu.

1. Dedikasi

Tidak ada banyak pemain yang mampu bertahan di kompetisi level tinggi di Inggris untuk jangka waktu yang lama. Giggs adalah salah satunya. Selama karirnya di Manchester United, sang pemain juga kerap dihadapkan pada persaingan dengan pemain lain untuk memperebutkan posisi inti.

Di usianya yang sudah setua saat ini, mudah saja baginya untuk menyerah dan menggantung sepatu, lalu kemudian memilih jalan karir  yang lain atau berpindah klub yang lebih kecil. Nama besar dan skill Giggs sudah hampir pasti masih akan jadi magnet yang menarik untuk klub divisi Championship atau League One.

Namun alih-alih memilih jalan yang mudah, Giggs lebih memilih untuk bertahan di Manchester United, salah satu tim terbaik di Eropa. Sudah pasti tidak mudah untuk menembus jajaran tim inti di Old Trafford, apalagi usia Giggs tidak lagi muda.

Sikap seperti itulah yang menunjukkan betapa Giggs amat mencintai sepakbola. Antusiasme seperti itulah yang sudah jarang kita lihat di kalangan pesepakbola profesional belakangan ini. Kebanyakan dari mereka hanya memikirkan siapa yang bisa membayar paling banyak untuk jasa mereka.

Mayoritas fans Giggs mungkin sudah sempat memiliki pemikiran bahwa idola mereka akan menerima kontrak bergaji besar dari klub antah-berantah di Amerika atau jazirah Arab di penghujung karirnya, seperti eks rekan setimnya, David Beckham.

2. Konsistensi
Salah satu faktor mengapa Giggs bisa begitu lama bertahan di kerasnya belantara Premier League adalah karena ia mampu menunjukkan penampilan yang konsisten. Tampaknya pemain yang satu ini tidak pernah kehabisan teknik untuk melewati lawan dan membuat pelatih terkesan.

Ketika dirinya mulai memasuki usia 30, banyak orang menduga Giggs akan kehilangan kecepatan yang menjadi ciri khasnya selama ini, secara drastis. Apakah itu benar-benar terjadi? Well, untuk periode awal, mungkin ya. Pada fase yang sama, rekan setim Giggs, Paul Scholes, sudah tak lagi memiliki kemampuan yang membuatnya hebat di masa jaya Manchester United dahulu.

Namun bagi Giggs, ia tak perlu lama-lama menunggu untuk menemukan second wind-nya. Semenjak kedatangan Cristiano Ronaldo di tahun 2006, Giggs justru makin matang. Tekniknya makin terasah. Kini ia tak lagi sering mengandalkan kcepatan, namun lebih tenang dalam membaca gerakan lawan dan permainan secara keseluruhan.

3. Loyalitas
Real Madrid nampaknya selalu menjadi klub yang terlihat amat bersinar bagi sebagian besar bintang MU. Ruud van Nistelroy akhirnya memutuskan untuk pindah ke Madrid di penghujung karirnya. Hal yang sama terjadi pada David Beckham. Tak jauh beda dengan dua seniornya, Cristiano Ronaldo juga melakukan hal yang sama dua musim lalu.

Lantas apakah hal itu terjadi pada Giggs? Tidak. Semenjak ia memulai karirnya di usia 14 tahun, Giggs tidak pernah berpindah klub. Padahal tak sang pemain sempat juga diisukan diminati oleh dua klub raksasa Eropa lainnya, AC Milan dan Real Madrid. Apakah Giggs kemudian tergoda untuk menerima tawaran itu? Well, buktinya ia tetap menjadi penggawa Old Trafford hingga saat ini.

4. Utamakan Tim
Alih-alih menuntut peran lebih di klubnya dengan bermodalkan status pemain senior, Giggs lebih suka untuk menyokong para pemain muda. Di bawah bimbingannya, baik di dalam maupun luar lapangan, banyak pemain muda United yang sukses diorbitkan ke tim utama.

Sebut saja Ashley Young, Danny Welbeck, dan yang teranyar, Adnan Januzaj. Meski belum lama diangkat menjadi staf pelatih United, Giggs acapkali memberikan nasihat dan saran penting untuk para pemain muda, agar mereka bisa megembangkan tekniknya lebih baik lagi.

Kesimpulannya, Giggs tidak keberatan untuk terus berada di belakang layar dan memberikan kesempatan pada sosok lain untuk memainkan peran yang lebih besar. Namun jika diminta, maka ia akan siap untuk memberikan segalanya untuk Manchester United.

5. Taklukkan Laga Besar
Giggs selalu mampu mengeluarkan kemampuan terbaiknya saat bermain di laga-laga penting untuk Manchester United. Kebanyakan pemain biasanya mengalami tekanan mental berlebihan ketika memasuki fase penting seperti semifinal atau final dari sebuah kompetisi.

Namun tidak dengan Giggs. Ia sudah melewati dua final Liga Champions dengan sukses, menjalani pekan-pekan krusial di Premier League secara sempurna, dan acapkali mencetak gol penting di saat tim amat membutuhkannya.

Gol Giggs di semifinal Piala FA 1999 menjadi bukti tak terbantahkan. Kala itu tim membutuhkan kemenangan untuk lolos ke babak berikutnya, namun semua pemain seolah sudah hilang akal untuk menjebol gawang David Seaman. Lalu datang Giggs, yang secara luar biasa mendribel bola melewati lima bek The Gunners sebelum akhirnya menceploskan bola ke dalam gawang.

6. Contoh Yang Baik
Perilaku Giggs yang berselingkuh dengan adik iparnya sendiri memang tidak patut untuk ditiru. Namun sebagai seorang pesepakbola, Giggs adalah panutan yang sempurna.

Ia memiliki rekor kedisiplinan yang hampir tak ternoda. Giggs akan jadi contoh bagus untuk pemain muda yang mungkin sulit tunduk pada aturan. Dalam hal ini kita bisa menggunakan contoh dua rekan Giggs lainnya, Roy Keane dan Paul Scholes.

Selain itu, Giggs juga disiplin dalam menjaga kebugarannya sepanjang waktu. Meski ia jarang diturunkan oleh pelatih, latihan menjadi kegiatan yang tak pernah lepas dari kesehariannya. Sehingga ketika dibutuhkan oleh tim, Giggs masih bisa mengeluarkan magic andalannya.

Cukup disayangkan kedisiplinan Giggs itu tidak menular pada kehidupan sosialnya.

7. Pengambil Keputusan
Beberapa tahun belakangan, kita selalu melihat tipe pemain yang kurang lebih sama. Mereka hampir selalu ingin maju ke daerah pertahanan lawan dan melakukan semua tugas dengan mengandalkan kemampuan sendiri.

Meski tak jarang dari pemain dengan tipe seperti itu meraih kesuksesan, untuk waktu yang singkat, mereka akan sulit untuk melepaskan label sebagai pemain egois.

Hal berbeda ditunjukkan oleh Giggs. Menyusul kemantangannya dalam berpikir, ia tahu kapan waktunya untuk melakukan akselerasi penuh atau melepaskan operan sederhana ke lini tengah.

Bukan berarti pemain yang kerap memanfaatkan kecepatan dan menunjukkan skill itu salah, namun pemain seperti Nani misalnya - yang sangat berbakat - tidak mungkin pernah bisa mencapai level yang sama seperti Giggs.

Giggs adalah tipe pemain yang selalu mampu membaca situasi dan tetap tenang sebelum mengambil keputusan. Alih-alih menggunakan insting, ia akan memanfaatkan kecerdasan berpikirnya dalam menentukan ritme permainan. Skill seperti ini hanya dimiliki oleh pemain yang bertipe gelandang kiri / kanan sejati, bukan winger, seperti Xavi dan Scholes.

Ryan Giggs 40 Tahun dan Terus Mnginspirasi


Tepat hari ini (28/11/2013) Ryan Giggs genap berusia 40 tahun. Semua kesuksesan sebagai pesepakbola telah ia rasakan bersama Manchester United.

Sejak bergabung dengan Setan Merah pada tahun 1987 dan memulai debut pada 1991, Giggs telah meraih 13 gelar Premier League, empat Piala FA dan dua gelar Liga Champions serta berbagai gelar individu.

Selain itu, Giggs juga baru mencatatkan penampilan ke-953 bersama Manchester United saat turun melawan Bayer Leverkusen tengah pekan ini.

Bukan hanya itu saja, Giggs dengan penampilan dan performanya juga terus menjadi inspirasi bagi pemain lain. Bukan hanya dari rekan satu tim, tapi pemain Wales ini juga menginspirasi banyak pemain lain.

Berikut beberapa pemain yang terinspirasi dengan capaian Ryan Giggs.

1. Phil Jones

"Dia luar biasa, salah satu pemain paling bugar di dalam tim ini. Dia terus dan terus menunjukkan performa seperti itu. Dia menjadi inspirasi bagi setiap pesepakbola muda untuk tumbuh. Dia merupakan sosok luar biasa untuk dimiliki," ujar Jones.

2. Darren Fletcher

"Dia adalah inspirasi untuk kami semua. Dia memiliki banyak pengalaman, dia tidak pernah absen dalam latihan satu haripun, dia selalu datang. Dia fantastis di lapangan, dia hanya terus bertambah baik dan semakin baik. Hal yang bagus untuknya dan juga untuk Manchester United."

3. Jan Vennegoor of Hesselink

"Lihat Ryan Giggs di MU. Meski orang sudah memuji tentang karir dan apa yang sudah ia hasilkan, masih saja ia berkarya. Dia masih lapar gelar, terlihat jelas dalam tiap permainannya. Dia memang luar biasa. Hal-hal seperti inilah yang membuatmu terinsiprasi sebagai pesepakbola." 

4. Rio Ferdinand

"Ia menjadi sumber inspirasi buat kami semua. Apa yang bisa saya katakan tentang dia? Sulit bisa digambarkan dengan kata-kata apa yang sudah ia capai selama ini," ujar Ferdinand kepada MUTV.

5. Juan Mata

“Ketika saya mulai bertumbuh, saya memiliki banyak idola, mulai dari Dennis BErkamp hingga Gianfranco Zola. Namun yang jadi inspirasi saya adalah Ryan Giggs,” ujar Mata.

“Menurut saya, dia sudah menyelesaikan apa yang menjadi masalanya ketika mencetak gol tersebut. Dia adalah winger terbaik di dunia. Mungkin hal ini dikarenakan posisinya sama dengan saya. Dia benar-benar impresif, mulai dari tacklenya, driblenya hingga gaya bermainnya.”

6. David Beckham

“Saya melihat pemain seperti Ryan Giggs dan Paul Scholes bermain di Manchester United, dan mereka mampu bersaing di level tertinggi. Mereka tidak main setiap pekan, tapi ketika bermain mereka mampu memberikan pengaruh besar. Jadi, saya ingin melakukan hal yang sama,” ujar Becks dikutip Sky Sports saat bergabung bersama PSG.

7. Andros Townsend

“Saya senang menyaksikan Ryan Giggs juga. Ketika bermain melebar dia senang menggiring bola, membuat kesempatan, memberikan umpan lambung dan mencetak gol, jadi dia inspirasi saya,” ujar Townsend.

8. Robin van Persie

"Piala Dunia mendatang bukan turnamen terakhirku. Aku tak lagi merasakan cedera serius. Aku akan bermain hingga 10 tahun ke depan. Aku sangat tertantang ketika melihat Ryan Giggs berlatih setiap hari dengan fantastis," ujar van Persie.

9. Michael Carrick

"Ketika saya berhasil menjaga diri, saya pikir itu tahun puncak pemain dan mudah-mudahan tahun terbaik saya masih berada di depan," ungkapnya.

"Saya melihat orang-orang seperti Scholes dan Giggs telah menjadikan inspirasi bagi saya dimana mereka masih memainkan beberapa sepakbola besar dalam usia yang sudah tidak muda lagi," tambahnya.

10. Antonio Valencia

“Saya mengagumi dan belajar dari Giggs dan Nani setiap hari. Mereka pemain profesional yang luar biasa dan pemain yang bekerja keras untuk menjadi yang terbaik. Keinginan Ryan untuk menang juga masih kuat seperti biasanya,” ujarnya.

11. Frank Lampard\

"Saya sangat senang masih bisa bermain apik meskipun sudah berumur 35 tahun. Dan saya melihat sosok Giggs yang masih tampil bugar bersama dengan Manchester United,” ungkap Lampard seperti dilansir oleh Daily Mail.

12. Tomas Rosicky

"Coba Anda lihat Giggs dan Scholes. Di usia yang tergolong tua, mereka dalam kondisi bugar dan bisa berkontribusi maksimal. Mereka menjadi inspirasi saya. Semuanya mungkin, tapi tentu saja semua tergantung kondisi kesehatan saya," ucapnya tahun lalu