\

Jumat, 20 September 2013

Sejarah Rivalitas Duo Manchester


Percaya atau tidak, dulu kedua klub asal Manchester ini adalah klub yang bersahabat dan saling mendukung. Tak ada konflik dan ketegangan, hanya ada duel yang menghibur.

Minggu, 22 September 2013, kota Manchester bagian timur tentu akan lebih "panas" daripada biasanya. Ya, hari itu akan digelar derbi terbesar antara dua rival sekota, Manchester City akan menjamu sang tetangga sekaligus musuh bebuyutan mereka, Manchester United, di Etihad Stadium. Laga sarat gengsi dan emosi ini akan tersaji pada pekan kelima Liga Primer Inggris.

Setiap kali laga ini digelar, selalu terjadi perang urat syaraf. Ketegangan pun kerap kali terjadi di luar dan dalam lapangan. Saat kedua tim bertanding, para suporter pun akan "beradu mulut", memberi dukungan pada tim kesayangan mereka (atau ejekan pada tim lawan). Hasil imbang tentu takkan memuaskan rivalitas kedua tim ini. Intinya laga besok Minggu akan jadi laga yang panas dan penuh ketegangan.

Percaya atau tidak, dulu kedua klub asal Manchester ini adalah klub yang bersahabat dan saling mendukung. Tak ada konflik dan ketegangan, hanya ada duel yang menghibur di tahun-tahun pertama pertemuan mereka. Bahkan, sejarah mengungkapkan bahwa kedua tim ini pernah bahu membahu dalam aksi sosial. Lalu, kenapa kini laga mereka selalu "panas"? Mungkin pemaparan sejarah di bawah ini sedikit banyak menjawab hal itu.

Pada suatu ketika
Kedua tim bertemu untuk pertama kalinya pada tanggal 12 November 1881, ketika itu City masih bernama West Gorton (St. Marks) dan United masih bernama Newton Heath. Pertandingan berakhir 3-0 untuk kemenangan Heath. Laga perdana kedua itu pun disebut-sebut sebagai sebuah laga yang menghibur.

Waktu berjalan, kedua tim pun jadi klub yang dominan di kota mereka. Dua raksasa itu pun bergabung dengan Football League, Heath bergabung dengan divisi 1 dan Ardwick (nama sebelum jadi Machester City) terdaftar dalam divisi 2.

Tanggal 26 Februari 1889, kedua rival kembali bertemu dan laga dimenangkan Heath 3-2. Uniknya, laga rival sekota ini digelar dalam rangka menjalin dana untuk bantuan bencana akibat meledaknya tambang batu bara Hyde yang menyebabkan kematian 23 orang penambang.

Kali itu kedua tim memang masih "bersahabat", hubungan tetangga masih harmonis dan tak ada ketegangan. Tak heran jika mereka bisa saling mendukung. Januari 1907, empat pemain City, yakni Jimmy Bannister, Herbert Burgess, Billy Meredith dan Sandy Turnbull bergabung dengan United. Kepindahan tersebut masih disambut dengan baik karena dipandang sebagai sarana untuk membantu sesama klub Manchester.

Sebelum Perang Dunia Kedua, sebagian besar pendukung sepak bola di Manchester menyaksikan City dan United secara bergantian setiap minggunya. Mereka tak ragu untuk mengenakan jersey kedua tim karena bagi mereka Manchester cuma satu. Setelah perang usai, rivalitas pun berubah seiring waktu. Kedua tim sama-sama berkembang pesat dan bersaing, namun persaingan tersebut berujung pada terbelahnya Manchester jadi barat dan timur. Rivalitas sehat pun jadi persaingan yang tidak wajar, terlalu sarat dengan ketegangan.

                                               City dan United dulunya adalah "sahabat".

Rivalitas era '70-'80
Beberapa dekade sejak PD II, era ini menjadi era yang emosional bagi derbi Manchester. Desember 1970 misalnya, George Best mematahkan kaki Glyn Pardoe; bek ini pun hampir kehilangan kakinya. Di derbi 1973/74 pun Mike Doyle dan Lou Macari sama-sama mendapat kartu merah namun tak mau keluar lapangan. Tahun 70 hingga 80an memang tahun di mana derbi Manchester mulai memasuki rivalitas yang keras.

Rivalitas era '90-'00
Rivalitas Red Devils dan Citizens masih berlanjut. Di era 1990, United dominan dalam persaingan dengan tetangganya. Red Devils sama sekali tak mendulang kekalahan di derbi Manchester era ini. Tak seperti masa kini, di era 90an ini kedua tim bersaing di papan tengah Liga Inggris. Namun, United mulai merangsek ke papan atas seiring berjalannya waktu.

Ada pula kejadian yang tak boleh dilupakan terjadi dalam periode ini. Di derbi pertama milenium baru, Roy Keane melakukan tekel keras kepada Alf-Inge Håland. Keane pun menerima kartu merah plus denda £150.000 dan skors lima pekan. Di biografinya, Keane pun mengakui bahwa ia melakukan tekel tersebut dengan sengaja. Karir Håland meredup setelahnya dan ia pensiun dua tahun kemudian karena gagal dalam proses penyembuhan. Insiden ini pun secara tidak langsung membuat derbi Manchester semakin panas di kemudian hari.
                    Insiden tekel horor Roy Keane yang mengakhiri karir Alf-Inge Håland.

2010-sekarang
Sejak diambil alih oleh saudagar kaya asal Uni Emirat Arab, Sheikh Mansour, The Citizens kembali menantang United di papan atas. Walau butuh proses beberapa tahun, City akhirnya mampu mematahkan dominasi United di Liga Primer. Musim 2011/12, Manchester City menjadi kampiun Liga Inggris setelah unggul selisih gol dari United di laga terakhir meraka.

Namun, keunggulan itu tak berlangsung lama setelah Red Devils mengklaim kembali gelarnya pada musim 2012/13, yang sekaligus menjadi akhir karier Sir Alex Ferguson di dunia kepelatihan. Walaupun begitu, hingga kini pun rivalitas kedua tim itu masih cukup membakar emosi.

Jelang derbi Manchester
Beberapa wartawan sepakbola mengatakan bahwa laga antara rival sekota ini telah menjadi derbi terbesar di Liga Primer. Komentar ini pun merupakan hal wajar mengingat tensi pertandingan yang selalu di atas rata-rata.

Sempat "bersahabat" di masa lalu, kedua klub ini menghadapi nasib yang berbeda dan menjadi pesaing berat sekarang. Henry Winter, kontributor The Telegraph, sampai menuliskan bahwa ini merupakan perang tetangga, bertarung untuk hak diakui secara regional dan juara nasional seiring dunia menyaksikan laga mereka.

Sejarah apalagi yang akan ditorehkan kali ini? Akankah derbi esok hari kembali menitikkan catatan hitam, ataukah jadi derbi yang "sekedar menghibur"? Banyak hal baru di era ini, termasuk kedua manajer yang mengasuh kedua klub Manchester itu. Boleh saja melakukan prediksi jelang laga tersebut, namun yang pasti, pendulum berayun saat kedua klub berlaga esok Minggu, dan seterusnya. Derbi ini selalu layak dinanti dan disaksikan.

Glory - Glory Man. United

Selasa, 03 September 2013

Musim Panas Bikin Gerah ala "Setan Merah"


Hanya Tuhan yang tahu apa yang terjadi di balik tembok Old Trafford sana sepanjang bursa transfer. Akhirnya kabar-kabar yang berasal dari dalam sana cuma bikin gerah yang mengikutinya.

Lupakan Thiago Alcantara, apalagi Cesc Fabregas, cerita keduanya sudah lama berlalu. Tapi, baiklah, kita bahas sedikit saja soal Fabregas. Sebagai sedikit pengingat, sebagai sebuah awalan.

Ketika dulu David Moyes mengatakan bahwa dia ingin secepatnya merampungkan urusan di bursa transfer, mungkin tidak akan ada yang menyangka bahwa gerak Manchester United di bursa transfer bakal berlarut-larut. Mereka seperti terlalu lama berkonsentrasi pada Fabregas, yang tampak jelas bakal sulit didapatkan, sampai akhirnya lupa dengan pemain lain.

Mungkin, di benak Moyes yang memang menginginkan tambahan dua gelandang tengah, Fabregas dan Marouane Fellaini tidaklah jelek --faktanya memang tidak jelek, malah bisa dibilang sangat bagus. Lagipula, bukankah akan jadi preseden bagus di awal karier manajerialnya di Old Trafford, jika dia bisa mendatangkan Fabregas.

Sayangnya, David, kenyataan seringkali tidak seindah apa yang kita angan-angankan.
 
****

Mengapa bursa transfer selalu menarik untuk dilihat? Alasannya sederhana; dengan melihat pergerakan klub di bursa transfer, Anda setidaknya bisa mengira-ngira atau menilai-nilai kans klub itu di musim kompetisi berikutnya. Walaupun, tentu saja, mereka yang latah belanja besar-besaran belum tentu dapat jaminan jadi juara atau dapat trofi.

Tetapi, marilah kita akui, melihat sebuah klub mengumpulkan pemain-pemain kelas wahid tekadang adalah hal yang memanjakan mata. Neymar dengan Lionel Messi mungkin seperti melihat Zinedine Zidane dan Luis Figo dulu. Melihat Tottenham Hotspur mendatangkan pemain menjanjikan semodel Christian Eriksen, plus beberapa pemain lain yang membuat dana belanja mereka membengkak jadi 100 juta pounds lebih, juga tetap mendatangkan efek geleng-geleng kepala.

Di atas semua itu, membeli pemain baru kadang hanya ditentukan oleh hal sederhana: butuh atau tidak butuh. Maka, ketika Jamie Carragher mempertanyakan keinginan Arsenal untuk mendatangkan Yohan Cabaye, bisa jadi ada benarnya. Arsenal yang butuh tambahan gelandang tengah malah mengincar penyerang sepanjang musim panas. Mereka membidik mulai dari Gonzalo Higuain hingga Luis Suarez. Padahal, seperti yang Anda lihat, Olivier Giroud malah menunjukkan bahwa ketajamannya musim ini tidak untuk dipandang sebelah mata.

Oleh karenanya, lebih bisa dipahami jika Arsenal membidik Luiz Gustavo. Meski pada akhirnya dia lebih memilih untuk bergabung dengan VfL Wolfsburg ketimbang hijrah ke London. Arsenal kemudian membidik Cabaye, tapi sayangnya --kendati mereka butuh-- mereka menawar gelandang asal Prancis itu terlalu murah. Ujung-ujungnya Cabaye tidak jadi pindah juga.

"Kalau mereka memang membutuhkan Cabaye, mengapa mereka tidak menawarnya berbulan-bulan lalu," kata Carragher.

Ucapan Carragher itu tidak dibantah oleh Gary Neville, bekas lawan yang kini terlihat kompak dengannya sebagai pundit di Sky Sports. Neville sama setujunya dengan Carragher. Namun, belum diketahui apa kata Neville soal pergerakan bekas klubnya, United, di bursa transfer.

Arsenal dan Arsene Wenger pada akhirnya mungkin bisa bertepuk bangga ketika mendatangkan Mesut Oezil dengan banderol 42,5 juta pounds. Oezil memang bukan gelandang tengah seperti halnya Cabaye ataupun Luiz Gustavo, tapi kedatangannya setidaknya sudah memberikan jawaban kepada para penggemarnya. "Siapa bilang Arsenal tidak berani keluar duit?"

Sebaliknya, United hanya mendapatkan Fellaini. Moyes menyebut bahwa gelandang berambut kribo tersebut memang sosok yang dibutuhkan timnya. Kalau memang demikian, pertanyaan Carragher di atas juga layak diarahkan kepadanya: Mengapa tidak mengejarnya berbulan-bulan lalu?

****

Selain Fellaini, United sempat dikabarkan mengincar Ander Herrera dan Daniel De Rossi, plus ingin meminjam Fabio Coentrao, jelang ditutupnya bursa transfer. Karena De Rossi loyal dengan AS Roma --apalagi penawarannya datang menjelang tenggat--, sulit untuk membayangkan dia pindah. Begitu juga dengan Herrera, yang deal-nya batal karena United kabarnya menilai klausul lepas-nya yang sebesar 36 juta euro kelewat mahal, dan Coentrao, yang katanya pengiriman fax mengenai permintaan untuk meminjamnya telat sampai.

Herrera memang menjanjikan, mengingat dia adalah gelandang tengah bertipe box-to-box yang tidak dimiliki United. Di Athletic Bilbao, dia biasa bermain berdampingan dengan Ander Iturraspe dan Oscar De Marcos di lini tengah. Bersama Iturraspe, Herrera yang determinan itu kerap diizinkan untuk naik menyerang. Dia jadi alasan mengapa Bilbao bisa melakukan pressing ketat di daerah pertahanan lawan, plus melakukan passing cepat satu-dua. Dua musim silam, ketika bermain di Liga Europa, United tidak berkutik menghadapi Bilbao yang seperti itu.

Tidak hanya itu, Herrera juga doyan melakukan tekel. Ada candaan bahwa jumlah tekel Herrera sepanjang musim lalu masih lebih banyak ketimbang jumla tekel seluruh pemain United.

Tapi, pada akhirnya, United harus puas hanya mendapatkan Fellaini. Gelandang asal Belgia itu didapatkan dengan harga 27,5 juta pounds. Padahal beberapa dia punya klausul lepas yang aktif beberapa bulan silam. Klausul tersebut menyebutkan bahwa Fellaini bisa dilepas dengan harga 23 juta pounds. Pertanyaan Carragher di atas sekali lagi menggaung.

Benarkah Fellaini adalah sosok yang dibutuhkan United seperti yang Moyes katakan? Fellaini adalah powerhouse yang tidak ada dalam diri Michael Carrick dan Tom Cleverley, dua gelandang tengah utama United saat ini. Dia jadi alasan mengapa Moyes berani melakukan pressing ketat di daerah pertahanan lawan ketika masih memanajeri Everton. Fellaini juga menjadi simbol Everton-nya Moyes yang kerapkali mengandalkan fisik.

Ketika The Toffees mengalahkan Manchester City musim kemarin, peran Fellaini sangat menonjol. Fellaini, yang juga kerap ditempatkan Moyes menjadi gelandang serang, punya atribut defensif yang tidak kalah menawan. Pada laga itu, dia 2 kali melakukan tekel sukses, 1 kali melakukan intersep sukses, 2 kali melakukan clearance, dan 7 kali memenangi duel udara.

Tidak hanya itu, dengan ditempatkan lebih ke depan Moyes, Fellaini tidak hanya membantu pressing timnya, tetapi juga mengganggu poros lini tengah lawan. Dalam laga itu, dia begitu mengganggu Javi Garcia. Ini merupakan sesuatu yang, memang, tidak dimiliki United. Akhir pekan silam terlihat jelas bagaimana duet Carrick-Cleverley tidak bisa menggangu-gugat Steven Gerrard dan Lucas Leiva. Ditambah kualitas crossing yang buruk, jadilah United tidak punya kesempatan menang (atau bahkan imbang) atas Liverpool.

Pressing ketat yang diinginkan Moyes seperti ketika di Everton bisa jadi tidak berjalan lantaran ketiadaannya seorang pengganggu. Kemampuan intersep yang dilakukan Carrick dan Cleverley dalam dua laga terakhir --melawan Chelsea dan Liverpool-- bisa jadi belum melengkapi United. The Red Devils boleh dominan menguasai bola, tapi mereka tidak punya daya rusak dari tengah. Crossing dari sayap pun buruknya bukan main.

                                Fellaini Carrick Cleverley
Tampil                           3             3              3
Rata-rata tekel                   4,3             2             1,7
Rata-rata clearance            5,3             4,3     1,7

*Defensif atribut Fellaini-Carrick-Cleverley (sumber: WhoScored)



                                        Fellaini Carrick Cleverley
Tampil                                    3              3               3
Rata-rata Key passes            1              0,7      0,7
Rata-rata Jumlah passing         73,33      67,7      69,3
Persentase passing sukses         89,1              85,7      87,5

*Ofensif atribut Fellaini-Carrick-Cleverley (sumber: WhoScored)

Dari statistik di atas, terlihat bahwa Fellaini lebih banyak melakukan tekel dalam tiga laga terakhir ketimbang Carrick dan Cleverley. Dia juga mencatatkan rata-rata clearance yang lebih baik daripada Carrick dan Cleverley.

Catatan lainnya, di tiga laga awal musim ini Fellaini rata-rata passing Fellaini juga lebih baik ketimbang Carrick dan Cleverley. Bahkan persentase kesuksesan operannya pun lebih tinggi ketimbang kedua gelandang tengah United itu.

Jadi, apakah Fellaini benar jawaban dari krisis gelandang tengah United? Silakan menilai-nilai sendiri, karena bukti baru akan terlihat begitu Fellaini bermain dengan rekan-rekan barunya nanti.