\

Kamis, 16 Mei 2013

Asuhan Sir Alex yang Meneruskan Jejaknya



Dalam waktu 26 tahun di Manchester United, Sir Alex Ferguson telah melatih 3-4 generasi pemain. Beberapa pemain yang pernah dilatihnya ini ternyata mewarisi bakat Fergie dalam melatih. Mereka memanfaatkan betul pengalaman berharga dilatih oleh salah satu pelatih tersukses di dunia. Siapa saja?

Gordon Strachan
Strachan kini menjabat sebagai pelatih tim nasional Skotlandia. Kala masih bermain, ia pernah memperkuat United pada 1984-1989. Ia menjadi pemain angkatan pertama kiprah Fergie di United. Kisah Strachan dengan Fergie bagaimanapun lebih dikenal sebagai rivalitas. Kiprah Strachan di United tidak mengesankan Fergie, sehingga Strachan lebih sering ditempatkan di bangku cadangan.

Permusuhan ini tertuang dalam otobiografi Fergie tahun 1999. Fergie menggambarkan Strachan sebagai seseorang yang tidak dapat dipercaya, dan kemudian dibalas Strachan dengan reaksi bahwa ia terkejut sekaligus kecewa dengan penuturan sang mantan bos.

Strachan kemudian menjadi pelatih Skotlandia dengan reputasi sukses. Sebelum melatih tim nasional, ia sempat sukses menangani Southampton dengan membawa The Saints ke final Piala FA musim 2002/2003 sebelum dikalahkan Arsenal. Setelah itu, Strachan hijrah ke Glasgow Celtic untuk kemudian memberikan hattrick juara liga pada The Bhoys dalam kurun waktu 2006 hingga 2008, termasuk double winner tahun 2007.

Bryan Robson
Robson memecahkan rekor transfer United kala Setan Merah memborongnya dengan mahar 1.5 juta pound dari West Bromwich Albion tahun 1981. Robson adalah salah satu pemain United yang identik dengan nomor punggung 7, nomor yang identik dengan pemain-pemain legendaris Setan Merah. Robson kemudian menuai sukses sebagai pemegang jabatan kapten paling lama di United — sejak tahun 1983 hingga 1994.

Sebagai manajer, Robson sempat menjadi bagian dari proyek ambisius klub Middlesbrough, klub pertamanya yang ia asuh. Bersama pemain-pemain berprofil tinggi seperti duo Brasil Juninho Paulista dan Branco, Robson sempat membawa Boro pada pencapaian dua final sekaligus dalam setahun, yaitu Piala FA dan Piala Liga tahun 1997.

Setelah melatih lima musim di Boro, Robson melatih klub-klub kasta kedua Inggris seperti Bradford City, West Bromwich Albion, dan Sheffield United. Ia kemudian mencoba peruntungannya ke Asia Tenggara dengan melatih tim nasional Thailand. Ia gagal membawa tim Gajah Putih lolos ke Piala Asia 2011, dan gagal meloloskan Thailand dari penyisihan grup Piala AFF tahun 2010 di Indonesia. Kini, Robson menjabat sebagai duta klub Manchester United.

Roy Keane
Setelah era Robson dan Paul Ince merajai lini tengah United usai, Keane adalah pemain tak tersentuh di lini tengah United. Perannya sangat vital karena selain mampu menjadi gelandang jangkar yang kokoh, Keano juga sangat disegani rekan-rekannya di ruang ganti. Meski sering melakukan tindakan kontroversial, Keano tetap dianggap sebagai pemain tengah terbaik yang pernah dimiliki Fergie.

Meski karirnya sebagai pemain sangat mengilap, kiprah Keane sebagai pelatih tidaklah demikian. Keano hanya sempat melatih dua klub, Sunderland dan Ipswich Town. Sempat menjanjikan di Sunderland dengan membawa The Black Cats promosi tahun 2007, Keano kemudian gagal mempertahankan penampilan bagus klubnya di Premier League, dan mengundurkan diri setahun kemudian.

Steve Bruce
Bersama pasangannya di lini belakang, Gary Pallister, Bruce membentuk pertahanan solid United yang oleh Gary Neville, mantan bek kanan United, dianggap sebagai pasangan bek tengah terbaik sepanjang sejarah Setan Merah. Total, ia bermain 309 laga dan mencetak 36 gol untuk United. Ia juga memberi United banyak gelar juara dengan total sembilan trofi, termasuk gelar internasional pertama United di era Fergie, Piala Winners tahun 1991.

Bruce kemudian pensiun tahun 1998 bersama klub Sheffield United, untuk kemudian mengawali karirnya sebagai pelatih di klub yang sama. Bruce kemudian melanglang buana di dunia kepelatihan Inggris dengan menukangi klub-klub medioker seperti Huddersfield, Wigan, Crystal Palace, Birmingham City dan Sunderland. Kini, Bruce melatih Hull City.

Mark Hughes
Mengawali karir sepak bola sebagai pemain akademi United, Hughes kemudian besar sebagai salah satu penyerang tertajam klub ini dengan total 120 gol. Ia sempat melanglang buana bersama Barcelona dan Bayern Muenchen sebelum ditarik kembai oleh Fergie pada tahun pertama kepelatihannya. Keputusan Fergie ternyata tepat karena Hughes melanjutkan ketajamannya, termasuk mencetak dua gol di final Piala Winners tahun 1991 melawan eks klubnya, Barcelona.

Setelah pensiun, Hughes kemudian melatih tim nasional Wales dari tahun 1999 hingga 2004. Prestasi Hughes di tim nasional Wales tidak buruk. Ia nyaris membawa Wales lolos ke Piala Eropa 2004, namun kalah di babak penyisihan melawan Rusia. Setelah itu, Hughes melatih klub-klub Premier League seperti Blackburn Rovers, Manchester City, Fulham dan Queens Park Rangers.

Bersama klub-klub tersebut, rekor Hughes tidak terlalu istimewa. Melatih skuat bertabur bintang Manchester City, Hughes tidak mampu memberi gelar juara.

Laurent Blanc
Mantan bek tangguh Prancis yang membawa Les Blues pada gelar Piala Dunia 1998 dan Piala Eropa 2000 ini menghabiskan karir bermainnya bersama United. Fergie sebenarnya telah menginginkannya sejak tahun 1996 saat ia masih membela Auxerre, namun saat itu Blanc memilih bergabung dengan Marseille. Blanc datang di usia senja 35 tahun ke Old Trafford untuk menutupi kepergian Jaap Stam ke Lazio. Ia turut menyumbang gelar juara liga bagi United di musim 2002/2003.

Empat tahun setelah pensiun, Blanc mengawali karir kepelatihan di klub negaranya, Bordeaux. Blanc sukses membawa klub ini meraih posisi juara dua di musim perdananya, namun hal itu cukup memberinya gelar pelatih terbaik musim itu. Di musim keduanya bersama Les Girondins, Blanc memberi kesuksesan ganda dengan mengawinkan juara liga dan Piala Liga Prancis. Hal ini membawanya pada kursi pelatih nasional pasca Piala Dunia 2010.

Blanc memutuskan untuk tidak memanggil 23 pemain dari Piala Dunia 2010 setelah perselisihan mereka dengan Raymond Domenech, pelatih sebelumnya. Ia melakukan ini sebagai hukuman kolektif bagi para pemain. Ia juga membuat kebijakan dengan hanya menyediakan makanan halal di tim nasional, yang memang banyak dihuni pemain muslim.

Blanc membawa Prancis lolos ke Piala Eropa tahun 2012 dengan predikat juara grup kualifikasi. Ia kemudian membawa Prancis hingga babak perempat final sebelum disingkirkan tim juara, Spanyol. Setelah turnamen ini, Blanc kemudian mengundurkan diri.


Glory - Glory Man United

Selasa, 14 Mei 2013

Perjalanan Karir Sang Guru "Sir Alex Ferguson"


Tanpa banyak isyarat, Alex Ferguson mengundurkan diri sebagai manajer Manchester United. Walaupun sudah waktunya — dan memang Sir Alex tak bisa selamanya jadi manajer United — tetap saja berita ini membuat sedih penggemar sedunia.

Waktu 26 tahun tidaklah sebentar untuk ukuran pelatih yang menangani klub elit. Di era sepak bola modern yang serba instan, belanja pemain besar-besaran dan gonta-ganti pelatih adalah lumrah. Sementara itu, konsistensi dan kesetiaan selama 26 tahun semakin sulit kita temui.

Bukan pemain hebat tetapi pelatih paling fenomenal
Alex Ferguson sempat menjadi pemain sepak bola. Tetapi karirnya biasa saja. Namun, ketika memutuskan menjadi pelatih, dunia seakan berubah baginya dan ada jalan lapang yang menjadikannya sebagai salah satu pelatih paling fenomenal yang pernah ada.

Sir Alex mengawali karir kepelatihannya di St. Mirren pada 1974-1978, dan berhasil membawa klub ini juara Divisi 1 Liga Skotlandia pada musim 1977. Keberhasilannya ini membuatnya dikontrak oleh Aberdeen FC, klub Divisi utama Skotlandia. Bukan perkara mudah untuk mendobrak hegemoni Glasgow Rangers dan Glasgow Celtics, tapi dia ketika itu berhasil melakukannya.

Melatih selama 8 tahun hingga 1986, Sir Alex membawa Aberdeen menjadi juara Liga Skotlandia sebanyak tiga kali, Piala Skotlandia empat kali, Drybrough Cup, Piala Liga Skotlandia, Piala Winners Eropa dan Piala Super Eropa masing-masing sekali. Juara Piala Winners ini hingga kini menjadi satu-satunya trofi Eropa yang pernah diraih oleh Aberdeen.

Pelatih yang dijuluki Furious Fergie (Fergie Galak) pun membuat kepincut Manchester United. Selain mampu membawa klub yang semula tidak banyak diperhitungkan menjadi jawara, Fergie juga dikenal menyukai pembinaan pemain muda dan memiliki visi jangka panjang.

Fergie tidak langsung berjaya di Manchester. Dia justru gagal total di musim perdananya: hanya finis di peringkat 11 dari 22 peserta liga Inggris. Di ajang Piala FA sudah terhenti di babak keempat setelah kalah dari Coventry City dan di Piala Liga dikalahkan oleh Southampton 4-1 pada putaran ketiga (pertandingan replay).

Musim berikutnya, MU mulai menanjak dengan tampil sebagai juara dua liga Inggris. Sayang di musim berikutnya, alih-alih menjadi juara, MU justru terperosok ke peringkat 11 dan 13 di musim 1989/1990. Dengan prestasi yang buruk ini hampir saja Sir Alex dipecat. Beruntung trofi Piala FA pada tahun 1990, membuatnya masih dipercaya manajemen.

Baru setelah era Premier League bergulir, yang menjadikan sepak bola Inggris sebagai industri, era kejayaan MU dan Fergie dimulai dan seakan tidak terhentikan. Sejak menjuarai Liga Primer Inggris pada musim 1992/1993, MU menjadi juara sebanyak 13 kali dari 21 musim liga yang telah dilakoninya.

MU juga mampu menjuarai lima kali Piala FA — yang menjadikan mereka sebagai klub yang paling sering menjuarai kejuaraan sepak bola tertua di dunia itu.

Musim terbaiknya bersama MU jelas pada musim 1998/1999 ketika meraih gelar treble winner dengan meraih juara Liga Premier Inggris, Piala FA dan Liga Champions Eropa. MU juga meraih Piala Interkontinental atau Piala Toyota pada 30 November 1999 di Tokyo. Untuk Liga Champions, Fergie kembali meraihnya pada tahun 2008 pada suatu malam yang dikenal sebagai Magical Night at Moscow di mana MU menang adu penalti atas seterunya, Chelsea.

Percaya pada kualitas pemain muda
Walau berkali-kali belanja pemain mahal seperti Robin van Persie, Wayne Rooney, Rio Ferdinand, hingga Juan Sebastian Veron. Sir Alex sebenarnya pelatih yang punya kepercayaan pada pemain muda. Fergie-lah yang berani mengorbitkan segerombolan pemain junior didikan akademinya yang kemudian diberi titel Class of 1992. Angkatan ini menjuara Piala FA junior, lalu dipromosikan ke dalam skuat utama MU dan menjadi tulang punggung tim dalam kurang lebih satu dekade. Paul Scholes bahkan hingga kini masih bermain walaupun sempat pensiun.

Titik awal kejayaan Class of 1992 adalah ketika mereka mampu mengantarkan MU menjuarai Liga Premier Inggris di musim 1995/1996, yang menjadi gelar ketiga dalam empat musim pertama Liga Premier Inggris. Gelar juara yang diraih dengan penuh perjuangan dan semangat membuktikan diri bahwa pemain muda bisa berprestasi.

Setelah era Class of 1992, mungkin tidak ada lagi tim junior MU yang dipromosikan ke skuat utama. Walaupun demikian, beberapa kali seorang dua orang dari akademi MU berhasil menembus skuat utama dan diberi kepercayaan oleh Fergie. Sebut saja Danny Welbeck, Wes Brown, John O’shea, Johnny Evans dan beberapa pemain lainnya.

Fergie juga mampu mengasah pemain setengah jadi yang dia beli dari klub lain, seperti Ole Gunnar Solskjaer (1996-2007), Roy Keane (1993-2005), Cristiano Ronaldo (2003-2009), serta Wayne Rooney (2004-sekarang). Cristiano Ronaldo bahkan bisa dipoles Fergie menjadi pemain terbaik dunia pada 2008 dan menjadi pemain termahal dunia ketika dibeli oleh Real Madrid.

Tetapi Sir Alex juga tercatat beberapa kali salah membeli. Misalnya, Kleberson yang mampu bermain menawan di Piala Dunia 2002 ternyata gagal tampil apik di Old Trafford. Sepak terjang Juan Sebastian Veron juga tidak sebaik ketika masih di Lazio. Atau yang paling fenomenal adalah Bebe, pemain antah berantah yang ditransfer 7,5 juta pounds itu hingga kini belum mampu membuktikan kualitasnya.

Bagaimanapun, kesalahan yang diperbuat oleh Sir Alex tertutup oleh prestasi yang ditorehkannya.

Di usia yang sudah tidak muda lagi dan kesehatan yang sudah mulai memburuk, Sir Alex harus lebih banyak istirahat dibanding terus-menerus bepergian. Mengakhiri karir gemilangnya 26 tahun di Theatre of Dreams dengan merengkuh gelar Liga Premier Inggris ke-20 yang membuat MU menjadi klub terbanyak meraih gelar juara liga sepanjang sejarah. Untuk dirinya pribadi, itu adalah gelar ke-13.

Memutuskan pensiun dari hal paling disenanginya ketika masih berada di puncak adalah hal terbaik yang dilakukannya dan pencapaiannya akan senantiasa diingat oleh orang sepanjang zaman.

Terima kasih Sir Alex Ferguson, guru sepak bola paling fenomenal di era industri.

Statistik Penampilan Sir Alex Ferguson Bersama United:
Pertandingan: 1497
Menang: 893
Seri: 337
Kalah: 267
Memasukkan Gol: 2761
Kebobolan Gol: 1359
Selisih Gol: 1402
Persentase Kemenangan: 59,65%

Daftar Prestasi Sir Alex Ferguson:
English Premier League (13 kali)
1992–93, 1993–94, 1995–96, 1996–97, 1998–99, 1999–2000, 2000–01, 2002–03, 2006–07, 2007–08, 2008–09, 2010–11, 2012–13
FA Cup (5 kali)
1989–90, 1993–94, 1995–96, 1998–99, 2003–04
Football League Cup/Carling Cup (4 kali)
1991–92, 2005–06, 2008–09, 2009–10
Charity Shield (10 kali)
1990, 1993, 1994, 1996, 1997, 2003, 2007, 2008, 2010, 2011
UEFA Champions League (2 kali)
1998–99, 2007–08
UEFA Cup Winners Cup (1 kali)
1990–91
European Super Cup (1 kali)
1991
Intercontinental Cup(1 kali)
1999
FIFA Club World Cup (1 kali)
2008

Prestasi Individu Sir Alex Ferguson:
LMA Manager of the Decade (1): 1990s
LMA Manager of the Year (3): 1998–99, 2007–08, 2010–11
LMA Special Merit Award (2): 2009, 2011
Premier League Manager of the Season (10): 1993–94, 1995–96, 1996–97, 1998–99, 1999–2000,   2002–03, 2006–07, 2007–08, 2008–09, 2010–11
Premier League Manager of the Month (27):
UEFA Manager of the Year (1): 1998–99
UEFA Team of the Year (2): 2007, 2008
Onze d'Or Coach of the Year (3): 1999, 2007, 2008
IFFHS World's Best Club Coach (2): 1999, 2008
IFFHS World's Best Coach of the 21st Century (1): 2012
World Soccer Magazine World Manager of the Year (4): 1993, 1999, 2007, 2008
Laureus World Sports Award for Team of the Year (1): 2000
BBC Sports Personality of the Year Coach Award (1): 1999
BBC Sports Personality Team of the Year Award (1): 1999
BBC Sports Personality of the Year Lifetime Achievement Award (1): 2001
English Football Hall of Fame (Manager) : 2002
European Hall of Fame (Manager): 2008
FIFA Presidential Award: 2011
Premier League 10 Seasons Awards (1992–93 – 2001–02)
Premier League 20 Seasons Awards (1992–93 – 2011–12)
Manager of the Decade
Most Coaching Appearances (392 games)
FWA Tribute Award : 1996
PFA Merit Award: 2007
Mussabini Medal: 1999

Penghargaan Spesial:
Officer of the Order of the British Empire (OBE): 1983
Commander of the Order of the British Empire (CBE): 1995
Knight Bachelor (Kt.): 1999


Glory - Glory Man United

Tangan Kanan Sir Alex Ferguson


Sepanjang karirnya di Manchester United, Sir Alexander Chapman Ferguson telah bekerja bersama tujuh orang asisten. Merekalah yang memberi rekomendasi sekaligus menjadi teman berdiskusi Fergie terkait taktik ataupun susunan pemain yang akan diturunkan dalam pertandingan.  

Sebagai tim dengan prestasi yang stabil dan telah menancapkan citra mereka ke seluruh penjuru dunia, para asisten ini juga memiliki peran yang tidak sedikit dalam perjalanan karir Fergie. Berikut kisah-kisah mereka:

Archie Knox (1986-1991)
Knox adalah asisten pertama Fergie di United. Mereka sudah bekerja sama sejak Fergie menukangi Aberdeen. Kisah Knox selama 5 tahun di United belumlah diwarnai dengan kesuksesan karena Fergie butuh tujuh tahun sebelum meraih titel juara liga pertamanya. Meski demikian, Knox ikut membantu Fergie meraih trofi pertamanya bersama United di ajang Piala FA musim 1989/1990.

Brian Kidd (1991-1998)
Kidd adalah mantan pemain United tahun ’60-an, memainkan 203 laga untuk Setan Merah. Kidd adalah asisten Fergie yang paling lama, dengan durasi tujuh tahun. Sebelum menjadi asisten Fergie menggantikan Knox, ia telah bekerja sebagai pelatih tim junior sejak tahun 1988. 

Awal mula kesuksesan United memang berasal dari era Kidd sebagai asisten Fergie. Peran nyata Kidd dalam kesuksesan United adalah pengembangan pemain-pemain akademi United era Fergie, yang dikenal dengan sebutan Fergie’s Fledglings. 

Setelah memperkenalkan generasi akademi pertama dalam nama-nama seperti Lee Sharpe, Tony Gill dan Mark Robins, Kidd kemudian melanjutkan kontribusinya pada kelahiran generasi kedua yang terkenal dengan sebutan Class of ‘92. Anda tentu sudah tidak asing dengan nama-nama seperti Gary dan Phillip Neville, Nicky Butt, Paul Scholes, Ryan Giggs, dan David Beckham yang berasal dari angkatan ini. 

Akhir kebersamaan Kidd dengan Fergie diwarnai dengan perdebatan soal transfer penyerang Aston Villa, Dwight Yorke tahun 1998. Kidd tidak menyetujui transfer tersebut dan terus mendebat Fergie. Kidd akhirnya hijrah ke Blackburn Rovers untuk kemudian menjadi pelatih di tim itu. Atas tindakannya, Fergie menyebut Kidd sebagai sosok yang rumit. Kekerasan hati Fergie terbukti karena setahun kemudian Yorke menjadi penghuni barisan penyerang yang membawa United meraih treble winner.

Steve McCLaren (1998-2001)
Oleh sebagian pendukung United, McClaren dikenal membawa pengaruh positif dalam tim karena selama tiga tahunnya yang terasa singkat, United selalu bergelimang gelar. Total enam trofi adalah catatan manis McClaren selama menjadi asisten Fergie, termasuk kemenangan treble winner musim 1998/1999.

Tahun 2001, McClaren hijrah menjadi pelatih di klub Middlesbrough. The Boro dibawanya meraih trofi pertama sepanjang sejarah dengan menjuarai League Cup tahun 2004. Selanjutnya, The Boro mengalami tahun-tahun istimewa karena akrab dengan atmosfir kejuaraan antar klub Eropa. Prestasi di Piala UEFA paling banyak dibicarakan karena klub yang bermarkas di stadion Riverside ini sempat melaju ke babak final tahun 2005 sebelum dikandaskan oleh Sevilla.

Sukses di Boro membawanya pada jabatan paling prestisius bagi pelatih asal Inggris, yaitu melatih The Three Lions. Namun sialnya kiprah McClaren di tim nasional Inggris menjadi noda hitam dalam karirnya. Publik dan pers Inggris yang memang terkenal doyan mengkritik dengan pedas menjadikannya kambing hitam atas gagalnya tim nasional Inggris lolos ke Piala Eropa tahun 2008.

Setelah dipecat dari jabatan pelatih tim nasional, McClaren mencoba peruntungannya di Belanda bersama klub FC Twente. Ia kemudian membawa klub tersebut merebut gelar juara liga untuk pertama kalinya sepanjang sejarah. 

Momen singkat di Twente tersebut sejauh ini adalah periode terbaik dalam karirnya, karena selepas momen tersebut McClaren kurang sukses menangani Vfl Wolfsburg dan Nottingham Forest. Terakhir, McClaren kembali melatih Twente di awal musim 2012/2013, namun hanya bertahan setengah musim untuk kemudian mengundurkan diri lantaran rentetan hasil buruk. 

Jimmy Ryan (2001/2002)
Sebelum menjadi asisten Fergsie, Ryan adalah pelatih tim cadangan United sejak tahun 1991. Ryan juga peserta tim junior United di awal karirnya sebagai pemain. Karir Ryan sebagai asisten Fergie tidaklah mulus karena ia memang lebih piawai menangani pemain muda. Dikabarkan, pemain senior United kurang memberikan dukungan padanya saat masih menjabat sebagai asisten Fergie. Ryan kemudian ditugaskan sebagai direktur tim muda United, hingga pensiun tahun 2012.

Carlos Queiroz (2002-2003 dan 2004-2008)
Kelebihan Queiroz dalam berkomunikasi adalah sesuatu yang sangat diandalkan Fergie. Tidak heran karena sebelum menjadi orang nomor dua dibawah Fergie, ia sempat berkarir di Amerika Serikat, Uni Emirat Arab, Jepang, dan Afrika Selatan. Queiroz dikenal memiliki jaringan luas terhadap perkembangan pemain-pemain muda berkat pengalamannya. Hal yang kemudian banyak berkontribusi pada cemerlangnya pencarian bakat United. 

Kontribusi terkenalnya tentu saja rekomendasinya pada Cristiano Ronaldo, pemain yang kelak menjadi pemain andalan United sebelum dijual ke Real Madrid dengan predikat pemain termahal dunia. Dengan kemampuannya ini, Queiroz juga sempat direkomendasikan Fergie untuk menjadi penggantinya kelak.

Karir Queiroz juga cukup berwarna karena ia sempat menukangi Real Madrid dalam proyek Los Galacticos jilid pertama, namun kurang sukses. Kiprah Queiroz juga terjadi di dunia internasional. Ia menukangi Portugal pada Piala Dunia 2010. Kini, Queiroz menukangi tim nasional Iran.

Walter Smith (2004)
Fergie melatih tim nasional Skotlandia tahun 1986 setelah kematian pelatih legendaris Jock Stein tahun 1985. Stein meninggal karena serangan jantung usai partai dramatis kualifikasi Piala Dunia melawan Wales. Federasi sepak bola Skotlandia menunjuk Fergie sebagai pengganti untuk menjalani babak penyisihan melawan Australia, ketika Fergie berhasil membawa Tartan Army memenangi dua laga tersebut. 

Fergie kemudian melatih Skotlandia hingga putaran final Piala Dunia di Meksiko. Smith saat itu sudah tergabung dalam tim kepelatihan, dan Fergie kemudian menunjuknya sebagai asisten. Reuni kemudian terjadi tahun 2004, namun hanya bersifat sementara setelah kemudian Queiroz kembali mengisi posisi asisten Fergie. Smith kemudian lebih dikenal keahliannya sebagai pelatih di Glasgow Rangers dan Everton.

Mike Phelan (2008-sekarang)
Phelan adalah mantan pemain United yang sempat menjalani 146 laga bersama Setan Merah. Awal karirnya di dunia kepelatihan adalah menjadi asisten pelatih Gary Megson di Norwich, Blackpool dan Stockport sebelum menjadi asisten Fergie. Seperti Aitor Karanka di Real Madrid, Phelan adalah orang yang sering dikirim Fergie untuk menghadiri konferensi pers kala Fergie tidak sedang ingin berbicara kepada para jurnalis. Di luar itu, kontribusi Phelan cukup dikenal dalam pencapaian United pada dua gelar juara liga, dua Piala Liga, dan dua final Liga Champions.


Glory - Glory Man United

Harapan Untuk David Moyes



Di saat David Moyes bersiap mengambil alih tugas superberat di dunia sepakbola, pasti banyak fans Manchester United di seantero dunia yang bertanya-tanya apakah ia memiliki kemampuan dan pengalaman yang dibutuhkan. Berikut ini tinjauan singkat pada sejumlah similaritas antara posisi terkininya di Everton dan peran baru yang akan diembannya mulai 1 Juli, yang menunjukkan bahwa ia mampu berjaya dalam beberapa situasi yang sangat mirip, meski pada skala yang lebih kecil.

Rival

Seperti halnya di Everton, di United Moyes juga akan mengambil alih kepemimpinan klub yang telah berdiri lebih lama, lebih senior di antara dua seteru lokal. Kecerdikan yang membuatnya langsung mampu memenangi hati sisi biru Merseyside, ketika ia secara akurat mengidentifikasi Everton sebagai "the people's club in Liverpool" hanya beberapa jam setelah kedatangannya, akan meletakkannya dalam posisi bagus ketika berurusan dengan fans United maupun rival lokal mereka yang punya dana belanja besar. Seperti biaya transfer Liverpool yang mengerdilkan bujet Everton (Liverpool telah menghabiskan 22 kali lebih besar ketimbang Everton untuk transfer dalam sepuluh tahun terakhir), Manchester City juga mempunyai kemampuan untuk mengalahkan United dalam belanja pemain, meski daya pikat untuk bermain buat klub tersukses di Inggris dapat membawa United mengungguli kekuatan finansial super City, seperti yang telah ditunjukkan dalam kasus Robin van Persie. Seperti juga di Merseyside, klub dengan bujet belanja lebih rendah saat ini justru menempati peringkat lebih tinggi di liga. Meski begitu, tak seperti Everton, Moyes kini akan mengambil alih klub di mana mayoritas fansnya tinggal di luar negeri dan jarang mendapatkan kesempatan untuk menghadiri laga.

Transfer

Di United, kemampuan untuk menghasilkan profit di bursa transfer barangkali tak sepenting seperti di Everton, tapi Moyes telah menunjukkan kapasitasnya untuk mendatangkan pemain-pemain murah dan mengubah mereka menjadi talenta kelas dunia. Ambil Seamus Coleman sebagai contoh. Dibeli seharga £60 ribu dari Sligo Rovers pada 2009 (itu 300 kali lebih murah ketimbang Glen Johnson saat digaet Liverpool!), Seamus kini telah menjelma menjadi pemain internasional Irlandia, dan merupakan salah satu full-back muda paling menjanjikan di Liga Primer. Setali tiga uang, Leighton Baines telah berkembang dari rekrutan seharga £5 juta menjadi salah satu bek kiri terbaik di dunia. Moyes meraup £39 juta dalam bentuk transfer fee dari Manchester City hanya untuk dua pemain, Jack Rodwell (dikenal sebagai Jack "ke samping dan belakang" oleh para fans di Goodison karena gaya operannya yang berhati-hati) dan Joleon Lescott, setelah mengeluarkan dana hanya £5 juta, dan pantas dikatakan bahwa ia sangat bijak untuk urusan belanja pemain dalam beberapa tahun terakhir. Pembelian termahalnya, Marouane Fellaini, dibeli seharga £15 juta pada 2008, sebelum mata publik sepakbola terbuka oleh banyaknya talenta yang diproduksi di Belgia. Winger Kevin Mirallas juga berlabuh di Goodison dengan biaya hanya £5 juta tahun lalu. Fans United boleh berharap dapat melihat kedatangan talenta muda yang dipantau dengan saksama dalam beberapa bulan ke depan, yang akan diikat dengan kontrak jangka panjang dan didukung dalam perkembangan mereka.

Pers

Moyes amat dihormati oleh kalangan pers karena analisis objektif pada performa timnya dan tim lawan, dan karena penilaian jujurnya yang konsisten terkait insiden yang terjadi di lapangan. Ketika Fellaini meninju dan meng-head-butt pemain Stoke Ryan Shawcross pada Desember, Moyes mengkritik sang gelandang dan menyatakan klub akan menerima segala bentuk hukuman yang diberikan FA. Di saat bersamaan, Moyes tak menerima begitu saja dan selalu siap merespons dengan lugas pertanyaan tanpa dasar atau komen tak akurat dari pers.

Taktik

Sebagai seorang mantan bek tengah, Moyes membangun timnya dari belakang dan secara umum memiliki mindset defensif.  Sekilas tinjauan ke tabel liga sejauh ini menunjukkan betapa efektif pendekatan ini, dengan Everton menjadi tim yang paling sedikit menelan kekalahan di luar duo Manchester. Fans bisa mengharapkan timnya bermain dengan setidaknya satu gelandang bertahan dalam formasi 4-5-1.

Walau terdengar kaku, keunggulan utama taktik ini adalah para bek sayap diberikan keleluasaan untuk merangsek maju sementara para bek tengah bergerak ke tepi lapangan untuk mengkover mereka dan seorang gelandang mundur ke garis pertahanan. Di waktu bersamaan, Moyes mengembangkan kerja sama di sisi sayap dengan Baines dan Steven Pienaar membentuk pemahaman yang nyaris seperti telepati di kiri, dan Coleman serta Mirallas membangun kemitraan ciamik di kanan untuk Everton. Ini membuat tim dapat menciptakan situasi "overload" 2 lawan 1 atau 3 lawan 2 di sisi sayap.

Di depan, Moyes mendapatkan kritik dari para loyalis Goodison karena memainkan para striker di luar posisi mereka; Jelavic, Anichebe, dan bahkan Wayne Rooney semuanya pernah bermain di sayap untuk Everton. Tapi ini kemungkinan besar merupakan konsekuensi skuat yang sangat kecil dan terbatasnya opsi penyerangan; sulit melihat seorang Van Persie bakal menyisir tepi lapangan di Old Trafford. Justru yang berpeluang besar terlihat adalah  lini belakang/tengah yang solid sebagai fondasi yang dapat memberikan kebebasan buat opsi penyerangan berkelas dunia di Manchester United untuk meneror tim lawan, sembari mencegah potensi serangan balik.

Kesimpulannya, fans Manchester United bisa berharap bakal melihat seorang manajer berpengalaman dan amat termotivasi yang mampu menangani pers, pemain, dan suporter dengan baik. Dia akan membuat Manchester United sangat sulit dikalahkan dan menjaga tradisi membanggakan untuk mengembangkan pemain-pemain muda dan memasukan mereka ke dalam first team. Dia akan sangat dirindukan di People's Club, tapi kontribusinya akan selalu dikenang. Seperti yang telah dinyanyikan para loyalis Goodison selama bertahun-tahun: "He's got red hair, but we don't care, Davey, Davey Moyes!"


Glory - Glory Man United

Rio Ferdinand Istimewa Buat Sir Alex



Manchester - Cantumkanlah Rio Ferdinand dalam daftar pemain-pemain istimewa Sir Alex Ferguson. Bahkan di pertandingan terakhir sang bos di Old Trafford, ia membuat sebuah gol yang spesial.

Dalam laga pamungkas Sir Alex di markas Manchester United, saat mengalahkan Swansea City 2-1, Minggu (12/5/2013), Ferdinand mencetak gol penentu kemenangan di tiga menit menjelang babak kedua berakhir.

Apakah istimewanya gol itu? Pertama, itulah gol pertama Ferdinand di musim ini. Kedua, bek 34 tahun itu menjadi pemain ke-20 timnya yang mencetak gol di liga musim ini, di musim mereka meraih gelar Liga Inggris untuk ke-20 kalinya.

Ketiga, gol pamungkas untuk Sir Alex di Old Trafford itu dibuat oleh seorang defender, sama seperti gol pertama yang tercipta hampir 27 tahun silam. Direkrut sebagai pelatih MU pada 6 November 1986, baru di pertandingannya yang ketiga Sir Alex membawakan kemenangan untuk timnya, sekaligus gol pertama.

Kemenangan itu terjadi di Old Trafford pada 22 November 1986, dengan skor 1-0 atas Queens Park Rangers. Pencetak gol tunggal di menit 32 itu adalah pemain asal Denmark, John Sivebaek, yang berposisi sebagai defender. Dan itu adalah satu-satunya gol yang pernah ditorehkan Sivebaek di musim satu-satunya bersama MU.

Artinya, gol pertama dan terakhir Sir Alex di Old Trafford adalah dibuat oleh seorang pemain belakang: Siveabek dan Ferdinand.

Ferdinand sendiri adalah sebuah rekor untuk Red Devils. Ia pernah menjadi pemain Inggris termahal dalam sejarah, ketika Sir Alex membelinya dari Leeds United pada 22 Juli 2002. Kala itu ia juga menjadi pemain bertahan termahal di dunia, melampaui rekor transfer Lilian Thuram dari Parma ke Juventus pada musim panas 2001. Total uang yang diterima Leeds dari penjualan Ferdinand adalah 34 juta poundsterling.

Sejak masuk Old Trafford, Ferdinand selalu menjadi pilihan pertama. Selama sebelas musim -- sampai pertandingan tadi malam --, ia telah bermain 431 kali di bawah komando Sir Alex, menghasillkan delapan gol -- dan tentu saja berbagai piala.


Glory - Glory Man United

Senin, 13 Mei 2013

Suporter MU Sukses Bikin Sir Alex Terharu



Publik Old Trafford memberikan sambutan meriah untuk Sir Alex Ferguson dalam penampilan terakhirnya sebagai manajer Manchester United di stadion tersebut. Fergie pun terharu.

Stadion berjuluk 'Theatre of Dreams' tersebut seperti jadi lautan warna merah saat Fergie melangkahkan kaki ke lapangan sebelum laga MU lawan Swansea, Minggu (13/5/2013) malam WIB. Menyambut manajer berusia 71 tahun tersebut, berjejerlah para pemain MU dan Swansea yang membentuk guard of honour.

Kibaran bendera-bendera kecil bertuliskan "Champions" dan angka "20" terlihat di kursi penonton, khususnya sektor tribun yang sudah dinamakan menjadi Sir Alex Ferguson stand.


Nyanyian puja-puji untuk Fergie pun mengiringi langkah pria yang sudah menangani MU sejak 1986 dan mengantar klub berjuluk 'Setan Merah' tersebut ke sederet gelar, di antaranya 13 titel Liga Primer dan dua trofi Liga Champions.

Langkah Fergie menuju bench MU setelah itu turut dibarengi dengan permintaan tanda tangan dari para suporter klub. Kamera juga sempat menyorot sejumlah suporter tua dan muda yang berusaha menahan haru.

Setelah peluit akhir dibunyikan, dengan MU tampil jadi pemenang dengan skor 2-1, Fergie pun diberikan kesempatan di tengah lapangan untuk memberikan pidato perpisahan.

Lagi-lagi suporter MU memberikan apresiasi luar biasa. Bermacam-macam poster dan spanduk berisikan puja-puji terus-terusan dipampang para suporter sebagai apresiasi saat Fergie berbicara. Tepuk tangan pun membahana setiap Fergie selesai bicara, kendatipun ketika ia kembali berkata-kata seluruh stadion langsung sunyi senyap menyimak.

"Itu fantastis. Benar-benar perpisahan luar biasa. Aku sedikit berkaca-kaca," aku Fergie setelahnya, seperti dikutip BBC.

"Atmosfernya luar biasa. Aku sangat bangga dengan para suporter, mereka sungguh hebat," lanjutnya.

Dalam prosesi penyerahan piala, para pemain MU juga memberi kehormatan buat Fergie untuk mengangkat trofi, sebuah ritual yang biasanya dilakukan oleh kapten klub--Nemanja Vidic.

"Ini adalah hari yang emosional buat semuanya. Ini adalah sebuah perasaan yang aneh dan sudah seperti ini sepanjang pekan. Ini adalah sebuah hari yang spesial," kata gelandang MU Michael Carrick.

"Bahkan di ruang ganti, ia berusaha membuat semua sewajar biasanya, tapi di benak para pemain terus terlintas bahwa ini adalah yang terakhir. Dengan penyambutan yang ia dapatkan, itu sudah luar biasa," sambungnya.

Akhir Dari Sebuah Era.., Dan Awal yang Baru



Saat Barcelona tumbang secara telak dari Bayern Munich beberapa waktu yang lalu, banyak yang meneriakkan bahwa ini adalah akhir dari sebuah era. Tidak banyak yang menyangka, justru dari tanah Inggris lah ada era yang benar-benar sudah usai.

Sir Alex Ferguson dan Manchester United adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Sampai dua hari yang lalu. Saat Fergie mengumumkan dirinya akan pensiun di akhir musim nanti. Dan dengan ini, era luar biasa selama 26 tahun pun berakhir.

Di luar segala kekurangan yang kerap muncul, tidak ada satupun yang bisa menyangkal kemampuan luar biasa pria berusia 71 tahun ini sebagai seorang manajer. Ia membawa United dari tim yang ‘biasa-biasa saja’ menjadi tim tersukses di tanah Inggris. Ia menemukan pemain-pemain hebat dan mengasuhnya hingga menjadi bintang. Ia mendapatkan berbagai gelar, sambil tidak lupa memberikan berbagai kontroversi yang menjadi makanan empuk media di seluruh dunia. Lengkap.

And that’s, the end of an era. Jutaan fans United meraung meratapi keputusan ini. Hashtag #ThankYouSirAlex di twitter berjalan kencang dan memenuhi timeline di seluruh dunia. Mengalahkan momen ketika Obama terpilih menjadi presiden Amerika Serikat dulu. Berbagai media menulis tribute tentang Fergie. Pujian dan ucapan selamat jalan datang dari berbagai pihak. Dan pertanyaan yang tidak bisa dihindari pun langsung muncul: Siapa yang akan menggantikan Fergie di bangku manajer Manchester United?


United tidak membiarkan dunia dan fans mereka menunggu lama. Hanya berselang satu hari, nama itupun muncul. Bukan Jose Mourinho. Bukan Jurgen Klopp. Bukan Rafael Beni.. Ups. It’s David Moyes.

6 tahun adalah durasi kontrak yang dihadiahi manajemen United untuk (mantan) manajer Everton ini. Sebuah jangka waktu yang panjang. Kabarnya, Sir Alex sendiri yang memilih Moyes sebagai penggantinya. Dan keputusan inipun diambil secara cepat tanpa ada yang bisa membantah.


Moyes tidak bisa dibilang memiliki catatan gemerlap. Menghabiskan lebih dari 10 tahun di Everton, tidak ada satu trofi pun yang berhasil ia sumbangkan. Merseyside Biru ini mentok sebagai salah satu tim pengganggu dominasi empat besar setiap tahunnya. Hanya itu saja. Pengalamannya di Eropa pun amat sangat minim. Jangankan Liga Champions, di kompetisi semacam Europa League sekalipun Everton jarang melangkah jauh.

Manchester Merah seolah ingin memulai segalanya dari nol lagi. Sebuah era yang benar-benar baru. Tanpa terganggu latar belakang hebat sang manajer baru sebelumnya –sesuatu yang mereka dapatkan jika, let’s say, mengontrak Mourinho.

Lalu, apa yang istimewa dari manajer yang bahkan tidak pernah menang di Anfield ini? Salah satunya adalah kemampuannya untuk menciptakan tim yang sangat baik dalam kondisi yang terbatas.

Banyak yang menyebut kemampuan besar Moyes selalu terhambat masalah biaya. Everton adalah tim pas-pasan. Terkadang, tim ini bahkan tidak memiliki dana yang cukup untuk membeli pemain. Sebuah kualitas yang jika jatuh di tangan yang salah berpotensi besar untuk berkutat di papan bawah.


Tidak dengan Everton di bawah Moyes. Meski tetap ada masa-masa suram saat tim ini hampir terlempar ke divisi Championship, namun konsistensi untuk bersaing di papan atas kerap kali muncul. Mereka jarang –nyaris tidak pernah- membeli bintang. Instead, they created them.

Moyes punya kemampuan melihat bakat hebat dari pemain muda dan mengembangkannya menjadi luar biasa di tim utama. Salah satunya berhasil membuat Manchester United mengeluarkan dana besar sekitar 10 tahun silam. Namanya: Wayne Rooney. Setelah itu, aliran bakat di Everton seolah tidak berhenti muncul. Dengan dana yang terbatas, kemampuan Moyes ini menjadi sangat berharga.

Kemampuan ini akan sangat dihargai di United. Tim yang punya tradisi memberikan kesempatan bagi bakat-bakat muda untuk bersinar. Ditambah lagi, akan ada aliran dana untuk berbelanja. Sesuatu yang absen nyaris sepanjang masa bakti-nya di Everton.

Orang ini juga dikenal mampu ‘memaksa’ timnya tampil kolektif dalam kondisi apapun. Tipe permainan yang membuat Everton menjadi tim yang sulit untuk dikalahkan siapapun -meski tanpa bintang. Kerja sama tim, aksi pantang menyerah, dan tidak kenal takut menjadi trademark tim yang dilatihnya.

Mungkin nyaris tidak ada orang yang melabeli Moyes sebagai ‘jenius’ atau ‘special one’. Justru ia lebih dekat ke sisi manajer yang humble, jarang bermasalah, dan tidak banyak berkoar-koar. Sisi tenang ini kemungkinan menjadi keunggulan yang membuatnya dipilih.

PR Moyes akan sangat banyak. Ekspektasi yang luar biasa besar akan menyambutnya dari detik pertama ia melangkah ke Old Trafford. Apapun yang ia lakukan akan menjadi sasaran empuk media dan fans. Tekanan akan menjadi makanan sehari-hari. Dan kemampuannya untuk menerima ini semua akan menjadi ujian terbesar.

Manchester United bukanlah Everton yang bisa baik-baik saja jika mengakhiri musim tanpa gelar apapun. Beban untuk memulai segalanya dengan sangat baik di musim perdana sudah menanti. Entah bagaimana reaksi para fans dan manajemen United jika musim depan berjalan (dan berakhir) dengan berantakan.

Belum lagi masalah dengan para pemain. Sambutan macam apa yang akan diberikan bintang-bintang United masih menjadi misteri. Hubungan buruknya dengan Rooney-pasca-Everton menjadi salah satu highlight besar yang harus diperbaiki (jika ingin Roo bertahan). Tidak ada satupun pemain United yang pernah melihat manajer baru di sepanjang karir mereka di Old Trafford. Bahkan Ryan Giggs sekalipun hanya punya satu manajer: Fergie. Perubahan sebesar ini tidak akan mudah diterima.

Saat ini, kita sebagai penikmat sepakbola sedang menyaksikan sebuah sejarah baru. Bergantinya satu era ke era yang lain. Tidak ada yang bisa menebak apa yang akan terjadi ke depannya. Ada yang mencap ini sebagai sebuah perjudian besar. Ada yang percaya ini adalah sebuah keputusan brilian untuk memulai sesuatu yang benar-benar baru.

Yang pasti, sekitar 26 tahun silam Manchester United memutuskan untuk memberikan kesempatan pada satu orang Skotlandia untuk memulai era baru di klub mereka. Dan kita semua sudah menyaksikan hasilnya.

Apakah sejarah akan terulang kembali?


Glory - Gory Man United

Alex Ferguson, Anak Pembuat Kapal yang Membangun Manchester United



Pendukung dan penonton di Stadion Old Trafford tidak akan melewatkan nama yang diabadikan di tribun utara sejak November 2011.

Tulisan Sir Alex Ferguson dengan warna merah terpampang gagah di tribun tersebut.

Dan dengan nama tersebut pengganti Ferguson seakan diingatkan prestasi fenomenal yang ditorehkan anak pembuat kapal dari Glasgow tersebut.

Ferguson menginjakkan kaki di Old Trafford pada 6 November 1986.

Ketika itu Manchester United adalah tim pinggiran.

Di Divisi Satu (yang sekarang setara dengan Liga Primer) United berada di papan bawah. United kalah mengkilap dibandingkan Liverpool setelah tak sekali pun juara di liga domestik selama 19 tahun.

Ia memerlukan waktu empat tahun sebelum meraih trofi pertama, Piala FA pada 1990, dengan mengalahkan Crystal Palace di babak final.

Trofi ini menandai era keemasan United.

Langganan juara
Pada tahun-tahun berikutnya gelar juara liga dan Piala FA menjadi langganan.

Ferguson, yang lahir pada 31 Desember 1941 ini, dikenal sebagai manajer yang tegas dan menjunjung tinggi disiplin, pendekatan yang menjadi salah satu resep sukses United.

Ia tidak segan-segan memarahi pemain yang dinilai tidak tampil maksimal dan dari sini muncul julukan hairdryer (pengering rambut) untuknya. Julukan ini muncul karena ia dianggap sering menyemprot pemain ibarat pengering rambut.

Gayanya yang keras dan tak kenal kompromi juga dianggap sebagai faktor utama munculnya tulang punggung United yang terdiri dari Ryan Giggs, Paul Scholes, David Beckham, Nicky Butt, Gary dan Phil Neville.

Di bawah inspirasi Eric Cantona, anak-anak muda ini mengubah United menjadi tim yang sangat disegani.

Puncaknya pada 1999 ketika United merebut tiga piala dalam semusim, termasuk piala Liga Champions.

Bak cerita film, kemenangan di Liga Champions melawan Bayern Munchen di Barcelona dipastikan dengan dua gol di injury time setelah pada hampir sepanjang pertandingan tertinggal 0-1.

Pribadi yang lembut

Sir Alex Ferguson mengasuh Manchester United sejak 1986.

Dikenal keras, tapi Ferguson juga dikenal memiliki sisi-sisi yang lembut.

"Ia akan mengajak Anda minum seusai pertandingan dan bila ada sesama manajer yang dipecat, ia termasuk salah satu orang pertama yang akan menelepon manajer tersebut," kata David Moyes, manajer Everton.

"Jadi, meski kadang ia bersengketa dengan manajer di liga, saya kira semuanya menghormari Ferguson," imbuhnya.

Sukses United berlanjut pada era 2000-an dan hanya terganggu oleh Jose Mourinho saat mengasuh Chelsea pada 2004 hingga 2007.

United kini tak sekedar klub sepak bola. MU adalah nama besar dengan nilai komersial yang luar biasa.

Stadion Old Trafford juga membengkak dan sekarang bisa menampung 75.000 orang.

Para pendukung United mungkin akan menangisi kepergian Ferguson tapi pada saat yang sama mereka juga akan dengan ikhlas melepasnya.

Determinasi yang tinggi untuk menang dan juara sudah menjadi DNA tim yang berlambang setan merah tersebut.

Kamis, 09 Mei 2013

Kutipan - Kutipan Menarik Sir Alex


Dalam perjalanan kariernya sebagai legenda Manajer Manchester United selama 26 tahun, Sir Alex Ferguson punya banyak pernyataan menarik. Baik tentang pemainnya, klub tetangga yang 'berisik', Manchester City, maupun pesaing-pesaingnya dalam perebutan gelar juara Premier League.
Berikut ini pernyataan-pernyataan kontroversial Sir Alex yang dicatat oleh media Inggris, The Guardian:

Tentang Ryan Giggs

Saya masih ingat saat pertama bertemu dengannya. Ketika itu dia berusia 13 tahun. Saat berlari, Giggs seperti melayang di atas rumput layaknya anjing pemburu Spaniel yang sedang mengejar kertas yang terhembus angin.

Tentang Gary Neville

Kalau saja dia satu inci (2,54 sentimeter) lebih tinggi, maka dia akan menjadi pemain tengah terbaik di Inggris. Tinggi ayahnya hampir 2 meter. Coba saya cek ke pengantar susu.

Tentang Paul Ince

Saya sempat mengatakan, ketika seorang pemain sepak bola dalam kondisi puncaknya, dia merasa seakan-akan bisa memanjat Gunung Everest dengan sandal. Seperti itulah Paul Ince.

Tentang orang Italia

Ketika orang Italia mengatakan kepada saya, "ini adalah pasta di atas piring", maka saya cek di bawah spagetti. Maklum, orang Italia itu kan penemu filter asap.

Saat meraih tiga gelar (Liga Inggris, Piala FA dan Liga Champions) di musim 1998/1999

Sulit dipercaya. Saya sulit percaya ini. Dasar, sepak bola sialan.

Ketika media mengkritik Juan Sebastian Verón

Pergi kalian. Saya tidak mau bicara dengan kalian (media). Dia (Verón) merupakan pemain hebat. Kalian bodoh semua.

Tentang Liverpool

Tantangan terbesar saya bukan apa yang terjadi sekarang, tetapi menurunkan Liverpool dari tempatnya bertengger. Anda (media) boleh tulis itu.

Tentang perebutan trofi pada 2003

Suasana saat ini makin menggelitik. Saya menyebutnya "kegelisahan" menjelang masa akhir kompetisi.

Saat menendang sepatu bola ke pelipis David Beckham pada 2003

Ini kejadian yang sangat ganjil. Kalaupun saya mencoba lagi sebanyak 100 kali atau jutaan kali, hal seperti itu tak akan bisa terulang. Kalau saya mampu, tentu saya jadi pemain (sepak bola).

Tentang Filippo Inzaghi

Mungkin dia terlahir sudah offside.

Tentang Arsène Wenger

Mereka bilang dia (Wenger) orang pintar. Apakah Benar? Katanya ia mampu bicara dengan lima bahasa. Saya juga pernah bertemu dengan bocah 15 tahun di Pantai Gading yang juga mampu berbicara dengan lima bahasa.

Tentang mantan pemainnya yang menjadi manajer

Sangat sulit mencari seorang manajer. Sebagai contoh, tak ada yang berpikir bahwa Mark Hughes - mantan pemain MU - bakal menjadi seorang manajer, walaupun selama jutaan tahun. Sebaliknya kita berpikir bahwa Bryan Robson sebagai manajer hebat (faktanya: kini tidak jadi manajer).

Tentang wasit Alan Wiley

Kecepatan permainan dalam sepak bola membutuhkan wasit dalam kondisi prima. Itulah kodrat permainan ini. Lihat saja wasit di luar negeri yang seperti anjing penjagal. Tapi dia  (Wiley) tidak dalam kondisi sehat. Untuk menghukum pemain saja membutuhkan waktu 30 detik. Dia butuh istirahat. Ini kan sungguh konyol.

Tentang José Mourinho

Tentu saja dia pelatih yang memenuhi syarat. Apalagi saat kami bertemu untuk minum usai pertandingan, dia memanggil saya dengan sebutan "bos" dan "big man". Itu akan sangat membantu jika disertai dengan suguhan wine yang baik. Tapi nyatanya, dia menyguhkan saya penari yang buruk.

Tentang Rafael Benítez saat konferensi pers

Saya pikir dia itu pemarah. Dia seharusnya mengerti bahwa suatu saat akan merasa terganggu (dikecewakan) karena alasan tertentu. Mungkin Anda harus memutus "urat marahnya" agar dia mengerti bahwa perilakunya itu konyol.

Tentang apakah Liverpool jadi juara Liga Inggris 2007

Ah, Anda pasti bercanda. Memang saya seperti orang yang senang menderita? Bagaimana kalau (Liverpool) degradasi saja?

Tentang Old Trafford

Kerumunan sudah berakhir. Di luar sana sudah seperti pemakaman.

Tentang poster Carlos Tevez saat pindah ke Manchester City

Ini (Manchester) City kan? Mereka itu klub kecil, dengan mental tipis. Mereka hanya bisa menyebut Manchester United, dan mereka tidak bisa menghindar dari itu.

Tentang Manchester City lagi

Kadang-kadang Anda punya tetangga yang cerewet. Anda tidak bisa melakukan apa-apa. Mereka selalu ribut. Cukup nyalakan televisi dengan volume suara yang lebih besar.

Tentang permintaan transfer Wayne Rooney

Kadang-kadang Anda melihat sapi di ladang orang lebih baik dari yang Anda punya. Percayalah, cara memandang seperti itu tidak akan bermanfaat.

Tentang kepergian Cristiano Ronaldo ke Real Madrid

Anda pikir saya akan intervensi kontrak (Ronaldo dan Madrid) dengan membawa massa? Sama sekali tidak! Saya tidak akan menjual virus ke mereka. Tidak ada kesepakatan apa pun antar kedua klub.

Tentang titel juara Liga Inggris ke-19 untuk Manchester United

Ini makin jauh meninggalkan Liverpool. Jauh lebih penting status Manchester United sebagai tim terbaik di Inggris dari sisi banyaknya titel juara.

Tentang titel juara Liga Inggris ke-20

Lihat saya. Perlu 10 tahun untuk mengalahkan saya. (Title juara ini) sungguh hebat.

Glory - Glory Man United

"MATI" Sebelum Akhirnya Jadi Abadi



Mungkin yang namanya abadi itu tidak pernah benar-benar ada. Sekeras apapun berusaha, keabadian itu bakal terusik. Lalu kematian datang dengan mengendap-endap.

Dan begitulah Sir Alex Ferguson. Tidak, tidak, dia belum mangkat atau semacam itu. Fergie hanya pensiun dari karier panjangnya sebagai manajer. Tapi dalam metafora soal kematian di atas, manajer yang tampak tidak akan pernah pensiun itu pada ujungnya menyerah pada sebuah akhir. Fergie Time --mereka bilang-- akhirnya menunjukkan bentuk aslinya.

Ada banyak kisah soal keabadian dan tidak semuanya berujung enak. Ada cerita soal Fountain of Youth, ada kisah-kisah ramuan ajaib elixir dan para alchemist-nya, sampai legenda soal Highlander. Menariknya ada satu benang merah yang bisa ditarik dari kisah-kisah itu: kadang hidup terlalu lama itu tidak enak, justru keterbatasan umurlah yang membuat hidup jadi berharga.

Fergie pun begitu. Pernyataan pensiunnya memang mengejutkan banyak pihak. Tapi pernyataan tersebut hanya membuat apa yang sudah dibuatnya sepanjang karier manajerialnya dikenang. Fergie yang tukang protes, Fergie yang suka mendamprat wasit, Fergie yang pernah menendang sepatu sampai mengenai pelipis pemainnya, tapi juga dia adalah Fergie yang tidak suka kalah. Dia adalah Fergie, seorang pemenang.

Hanya Cathy, sang istri, yang bisa menampik superioritas Fergie di lapangan. Hanya di rumah Fergie tidak menjadi Fergie. Cathy hampir pasti memenangi semua perdebatan, selumrahnya istri-istri pada suami-suami mereka. Cathy bakal dengan santainya berbicara soal mesin cuci yang rusak ketika Fergie baru sampai rumah atau bercerita bagaimana kelakuan Mark kecil, anak mereka, sepanjang hari.

Hanya di luar rumah dan di pinggir lapangan, Fergie tampak tegar dan terkadang arogan. Sifat yang didapatnya dari tumbuh di sekitar galangan kapal di Skotlandia sana dan ajaran yang diwariskan oleh sang ibu, Elizabeth. Berkat ketegaran yang diajarkan Elizabeth jugalah Fergie kemudian melewati mati dan hidup berkali-kali, seperti ketika spanduk yang menginginkannya didepak dari Old Trafford muncul pada masa-masa awal rezimnya di Theatre of Dreams.

Andai arogansi itu tidak ada, mungkin United yang sekarang tidak akan pernah ada. Andai arogansi itu tidak ada, jangan harap Class of '92 yang tersohor itu bisa muncul ke permukaan. Jangan harap Paul Ince bermain untuk Liverpool, sebab mungkin dia masih jadi Guv'nor di ruang ganti. Jangan harap bisa melihat Cristiano Ronaldo, Carlos Tevez, dan Wayne Rooney bisa bermain dengan cair pada 2008, sebab mungkin saja Ruud van Nistelrooy masih di sana.

Arogansi itulah yang membuat Fergie dengan tegas menyatakan, tak ada pemain yang lebih besar dari klub --atau mungkin lebih besar dari manajernya, yaitu dia, sendiri. Di satu sisi, itu tampak memuakkan. Di sisi lainnya, itu telah membawa United untuk bertahan dan beradaptasi berkali-kali. Fergie telah membawa tim yang terseok-seok sebelum dia datang itu untuk berevolusi mengikuti zaman.

Keinginannya untuk terus menemukan bentuk tim terkuat telah membuatnya menjelajah berbagai bentuk formasi, bongkar-pasang tim, makan korban dan depak pemain. Tim yang secara kasat mata bermain dengan 4-4-2, tahunya bermain dengan 4-4-1-1 di lapangan. Adaptasi akan taktik inilah yang kemudian membawanya ke pencapaian terbaik terakhirnya di Eropa, ketika Ronaldo-Rooney-Tevez dengan fasihnya bergerak bebas mengeksploitasi pertahanan lawan.

Namun, bahkan tim dalam bentuk terbaik seperti itu pun tidak disakralkannya. Tidak pernah ada tim yang terlalu suci untuk Fergie. Dia bahkan berani membandingkan tim United musim ini --yang bahkan kerepotan di Liga Champions-- dengan tim tahun 1999 yang mampu meraih treble. Untuk alasan yang sama jugalah kemudian dia membiarkan Ronaldo pergi.

"This team might not have the Ronaldo factor, but it doesn’t understand the word defeat," katanya suatu waktu.

======


"It's a really proud moment for me [having a statue at Old Trafford]. Normally people die before they have a statue. I'm outliving death!"

======

Fergie yang seperti itulah yang kemudian dikenal oleh para penggemar United, terutama para penggemar tim itu yang bahkan belum lahir ketika Fergie pertama kali ditunjuk jadi manajer. Bagi mereka, sejak pertama kali menggemari The Red Devils, hanya ada satu manajer, ya Fergie itu.

Evolusi dan adaptasi itulah yang membuat Fergie seolah-olah abadi. Dalam sudut pandang lain, United pun seperti kehilangan eksistensinya. United seolah-olah menjadi alter-ego dan wadah untuk keegoisan pria sepuh itu. United adalah Fergie, Fergie adalah United. Efek lainnya, jika Fergie mengalami kemunduran, maka demikian pula United.

Tidak perlu telaah dalam-dalam untuk melihat bagaimana permainan United menurun dalam beberapa musim terakhir. United memang masih bisa bertahan dalam musim yang panjang seperti di liga, tapi begitu kedodoran di Eropa. Taktik Fergie tidak lagi menolong. Sayap-sayap yang dulu membantunya menguasai Eropa untuk pertama kali bersama United sudah patah, dan itu terlihat dari bagaimana mediokernya Antonio Valencia, Nani, dan Ashley Young sepanjang musim ini.

Taktik Fergie kerap membingungkan. Dia menaruh Shinji Kagawa di sisi kiri, ketika gelandang Jepang itu punya posisi terbaik berada di belakang striker. Dia membiarkan garis pertahanan timnya berdiri terlalu dalam sehingga membuatnya mudah dieksploitasi Sergio Aguero atau Jan Vertonghen sekalipun. Tanda-tanda ini, seperti tanda-tanda kematian, seperti menunjukkan bahwa Fergie mulai mendekati akhir.

Sesungguhnya, ketika usianya kian uzur dan umur rezimnya terus membengkak, orang-orang sudah bisa menerka bahwa Fergie sudah memasuki masa akhirnya di Old Trafford. Masa-masa itu bak sebuah outro dari lagu yang berdurasi panjang, bak bagian "Na.. Na.. Na.. Hey Jude!" dalam Hey Jude milik The Beatles --Anda tahu ini sudah memasuki bagian akhir, tapi tidak tahu kapan akan berakhirnya.

Dengan segala penurunan itu, barangkali pensiunnya Fergie jadi punya titik cerah. Barangkali ada baiknya menyelamatkan dia dari "hidup" yang terlalu lama. Toh dia sudah cukup memberi banyak untuk United, mengangkatnya dari papan bawah first division hingga menjatuhkan Liverpool dari takhta-nya.

Dalam kondisi seperti inilah lambat-lambat kalimat Harvey Dent di film The Dark Knight itu seperti menemukan perwujudannya: "You either die a hero or you live long enough to see yourself become the villain."

Hidup dan rezim yang terlalu lama hanya akan memperbesar kemungkinan Fergie untuk menjadi penjahat ataupun diktator, seperti umumnya ditemui pada negara-negara dengan para "pemimpin seumur hidup". Tidak enak rasanya melihat orang yang sudah membangun tim sampai sedemikian rupa kemudian membuatnya hancur dengan sendirinya. Fergie, disukai atau tidak, pada akhirnya tahu kapan dia harus menyudahi perjalanannya.

Biarkanlah Ryan Giggs mengenang dalam-dalam momen di mana Fergie mengetuk pintu rumahnya berbelas-belas tahun lalu. Biarkanlah David Beckham mengenang bagaimana dia dibela sang manajer ketika seluruh Inggris memusuhinya --sampai pada momen tendangan sepatu itu. Biarkanlah mereka yang dalam belasan hingga puluhan tahun belakangan mengenal United berbicara, "Dulu, kita mengenal klub ini lewat seseorang bernama Alex."

Atas semua alasan di atas, penghormatan terbaik untuknya memang membiarkan dia pensiun. Fergie mungkin berakhir atau dalam metafora di awal tulisan ini menjadi mati. Tapi, bukankah kematian adalah salah satu jalan menuju keabadian? Mungkin dengan menyatakan pensiun, Fergie sudah menenggak atau bahkan menjilat tetes terakhir elixir-nya.

Ta-ra Fergie!

Glory - Glory Man United

Hilangnya Sebuah Kepastian


Pagi itu penggemar Manchester United bangun dengan mewujudnya sebuah kekhawatiran, Sir Alex Ferguson mundur. Ada kesedihan, gelisah, galau, kelu dan bahkan lelaki dewasa dengan tak malu menangisi kepergiannya.

"Is only football (hanya sepakbola), no one died (tak ada orang meninggal)," seorang pemandu acara sebuah radio hampir berteriak saking jengkelnya. Memang. Tetapi si pemandu acara itu lupa betapa stasiun radionya bersama media lain (bukan saluran olahraga) telah bertindak sebaliknya. Pengunduran diri itu menjadi berita utama sepanjang hari. Program khusus dan eulogi ditayangkan layaknya mengiringi prosesi kematian. Bahkan menggeser pidato kenegaraan tahunan Sri Ratu.

Di era modern sepakbola belum pernah media massa secara bersamaan meluangkan sedemikian besar waktu dan halaman untuk membahas pengunduran diri seorang pelatih sepakbola. Hanya mengundurkan diri dan bukan meninggal. Bahkan yang meninggalkanpun tak pernah mendapat porsi sebesar ini.


Ada sejumput permakluman. Sir Alex Ferguson suka atau tidak adalah salah satu tokoh berpengaruh persepakbolaan Inggris dalam seperempat abad terakhir. Kesuksesan industri persepakbolaan Inggris banyak berutang budi padanya. Dan liputan "yang berlebihan" itu adalah bagian industri sepakbola yang turut ia bangun.

Tetapi Anda tahu, Sir Alex Ferguson bagi penggemar Man United bukan sekadar pelatih sepakbola yang sukses, bukan sekadar membangkitkan kejayaan Man United, bukan pula sekadar penggugah sekaligus tiang pancang kerajaan bisnis miliaran dollar. Lupakan itu semua. Bukan itu yang penting bagi mereka.

Manusia satu ini dipuja karena dianggap mampu menciptakan sebuah probabilitas menjadi sedemikian besar hingga mendekati kepastian. Mendekati janji yang tak pernah ingkar.

Ia mewujudkan probabilitas itu lewat lima atau enam tim yang ia bangun ketika bertakhta. Orang akan selalu mengingat tim yang memenangi Piala FA dan kompetisi Liga Primer tahun 1994 yang begitu seimbang di segenap lini, semangat tak pernah mati dari tim pemenang Treble tahun 1999, atau ketika trisula Wayne Rooney, Cristiano Ronaldo, dan Carlos Tevez menjadi tulang punggung tim untuk memenangi Liga Champions tahun 2008.

Musim semi disambut gembira pendukung Manchester United setiap tahunnya bukan karena kehangatan yang perlahan meresap mengganti dingin, tetapi kepastian memetik janji datangnya piala ke Old Trafford. Selama dua dekade terakhir ia, Alex Ferguson, hampir-hampir tak pernah lalai.

Mundurnya Sir Alex mencerabut kepastian. Itu yang ditangisi, digelisahkan, digalaukan oleh pendukung Man United. Setelah terjebak rutinitas kepastian selama lebih dua puluh tahun kini mereka, sama seperti pendukung klub lain, dihadapkan sebuah ketidakpastian.

Bagi pendukung Man United yang berusia 30 tahun ke bawah situasi ini lebih sulit lagi. Selama ini mereka hanya mengalami kejayaan. Mereka tidak mengerti dan merasakan betapa pahitnya masa 26 tahun, setelah begitu perkasa di tahun 1960-an, melompong prestasi. Tahun 1970-an dan 1980-an adalah masa kelam ketika mereka hanya memenangi tiga Piala FA. Bahkan sempat terdepak ke divisi dua.

Tidak mengherankan kalau yang menangis dalam wawancara radio adalah anak muda berusia 25 tahun.

"Memang hanya sepakbola. Tetapi ini menjadi bagian penting dalam hidupku. Sepakbola hingga saat ini memberiku kebahagiaan lebih dari yang lain," katanya. "Saya hanya tahu Sir Alex. Sekarang seperti ada lobang dalam hidupku. Seperti ada anggota keluarga yang meninggal."

Seperti halnya tokoh besar lainnya, Alex Ferguson memang memecah pendapat. Pribadi yang menarik dan sering kali kontroversial.

Sifat kompetitifnya misalnya, bisa muncul seperti monster yang menakutkan. Tak segan untuk mengeluarkan pernyataan yang membuat kuping panas bagi lawan.

"My greatest challenge was knocking Liverpool right off their f*cking perch. And you can print that –Tantangan utamaku adalah menendang Liverpool dari takhta mereka. Dan kamu bisa tulis itu," ucap Ferguson kasar suatu ketika mencerminkan panasnya persaingan antara Liverpool dan Man United.

Tetapi adalah Ferguson pula yang pertama kali menelpon Kenny Dalglish agar tabah dan menawarkan bantuan ketika Tragedi Hillsborough terjadi. Ia pula yang pertama kali menengok Gerard Houlier ketika pelatih asal Prancis itu menjalani operasi jantung. Dua-duanya dilakukan tanpa publikasi dan baru diketahui publik jauh sesudah peristiwa lewat. Baginya persaingan klub menjadi nomor dua dibanding persoalan kemanusiaan.

Di pinggir lapangan ia bisa saling bersitegang dengan manajer klub lawan hingga seperti mau berkelahi fisik. Tetapi kebiasaannya untuk santai membahas pertandingan bersama dengan lawan bersitegangnya di pintu tertutup sambil berbagi segelas dua gelas anggur sudah menjadi legenda. Ia juga dikenal ringan tangan memberi bantuan manajer-manajer muda setiap kali diminta. Tak heran kalau ia bersahabat dan dihormati manajer-manajer lain di seluruh Eropa.

Tidak akan ada habisnya kalau kita harus membahas pribadi Sir Alex Ferguson ini. Selama 26 tahun menjadi manajer Man United dan 12 tahun sebelumnya di Skotlandia, tak terelakkan ia pasti punya banyak lawan atau kawan. Satu saja yang sama, semua menghormatinya. Semuanya mempunyai kenangan sendiri-sendiri.

Bagi saya pribadi, kepergian Sir Alex Ferguson meninggalkan kenangan romantis. Berulang kali di musim semi saya mengantar istri, ia pendukung Man United, untuk menonton pertandingan (berpesta) di Old Trafford di akhir-akhir musim kompetisi. Menagih janji kepastian dari Sir Alex.

Berjalan dari stasiun Metro Old Trafford menyusuri Brian Statham Way lalu ke Warwick Road saya bisa merasakan degup jantungnya yang semakin keras. Ayunan langkahnya semakin cepat dan tak sabar. Begitu sampai ke Sir Matt Busby Way ketika lautan merah mulai mengarus padat menuju gerbang Old Trafford, genggaman tangannya tak ia sadari menguat.

Adalah lucu bahwa selanjutnya ia tidak pernah bisa mengingat secara rinci apa yang kemudian terjadi. Ia seperti trance dan ekstase ketika menonton pertandingan. Ia tak ingat lagi betapa suaranya serak karena terus menerus bersorak. Kegembiraan yang terlalu meluap. Janji-janji yang tuntas terpenuhi. Saya sendiri? Cukuplah saya bahagia dengan kegembiraan yang tergurat di wajah istri saya. Kenangan yang akan saya bawa selama hayat di kandung badan.

Terima kasih, Sir Alex.

Glory - Glory Man United

Yang Akan di Rindukan dari Sosok Ferguson




Sir Alex Ferguson akhirnya resmi pensiun sebagai manajer Manchester United akhir musim ini. Berbagai torehan emas sudah diciptakan oleh pria asal Skotlandia ini sejak mendarat di Old Trafford pada November 1986.

Ada beberapa hal yang menjadi ciri khas pria 71 tahun ini yang tentukan tak bisa dilupakan begitu saja. Berikut 10 hal yang akan dirindukan dari sosok Fergie jika nanti dia benar-benar pensiun seperti dilansir Daily Mail:

1. Waktu Fergie
Ketika ofisial menunjukkan waktu injury time empat menit, maka itulah saatnya MU bangkit untuk meraih gol kemenangan. Itu terjadi dan terus terjadi, sepertinya ada kekuatan tertentu dari Ferguson di pinggir lapangan.

Istilah Fergie Time atau waktu Fergie bukan kali pertama terdengar pada 1999, saat MU meraih kemenangan dramatis atas Bayern Munich di Liga Champions. Istilah ini sudah ada pada April 1993. Saat itu MU mengalahkan Sheffield Wednesday 2-1. Steve Bruce mencetak gol kemenangan pada menit keenam injury time.

Saat injury time terjadi, drama besar bisa saja terjadi. Dan saat itulah ada 'Fergie time'.

2. Tradisi permen karet
Bagi beberapa fans, Ferguson adalah Manchester United. Dalam setiap pertandingan, Fergie hampir selalu terlihat sedang mengunyah permen karet.

Fergie juga seringkali dijumpai mengenakan sweater hitam dan topi khas Wales pada saat latihan jelang laga besar.

3. Pernyataan singkat
Ferguson beberapa kali mengeluarkan pernyataan yang menarik disimak. Dia pernah memuji penampilan Roy Keane di semifinal Liga Champions 1999, padahal Keane tak bisa bermain di partai final.

Dalam suatu kesempatan Fergie sempat mengatakan tak akan menjual Ronaldo ke Real Madrid. Beberapa saat kemudian, CR7 justru dijual ke Los Blancos dengan nilai £80 juta.

4. Hair-dryer
Para pemain mungkin beruntung bisa mendapat celotehan Fergie (hair-dryer) di pintu tertutup. Sementara itu manajer, wasit, tim lawan, dan jurnalis tentunya melihat dari konferensi pers.

Ferguson jarang terlibat perang kata-kata dengan manajer lain. Namun musim ini dia sempat menyebut manajer Newcastle United, Alan Pardew sebagai 'manajer klub kecil dari Timur Laut'.

5. Bersitegang dengan pemain
Ferguson sempat terlibat pertengkaran hebat dengan sesama manajer, Arsene Wenger dan Rafael Benitez. Beberapa pemain bintang Setan Merah juga sempat mengalami insiden dengan Fergie.

Ferguson menyebut 'insiden aneh' ketika dia diduga menendang sepatu boot yang mengenai pelipis kiri David Beckham. Fergie juga sempat diberitakan menyebut Paul Ince "pengganggu" saat sang pemain meninggalkan MU.

Jaap Stam sempat ditemui Fergie di pom bensin setelah adu argumen di tempat latihan. Dalam autobiografinya Stam menyatakan Fergie masuk ke mobilnya dan memintanya untuk pergi. Stam dijual ke Lazio dengan nilai £16.5 juta.

6. "Anda tak akan memenangi apapun dengan pemain muda"
Filosofi ini tak ada di MU. Para pemain muda mendapat kesempatan besar bermain di Setan Merah, termasuk pemain pribumi. Fergie tak pernah takut membeli pemain Britania Raya.

Baru-baru ini dia membeli pemain Inggris seperti Phil Jones dan Chris Smalling. Bahkan sekarang sukses memboyong Wilfried Zaha dan Nick Powell.

7. Loyalitas
Ferguson memiliki ikatan cukup erat dengan para pemainnya. Ini membuat beberapa pemain bertahan dalam waktu lama di MU seperti Ryan Giggs dan Paul Scholes.

8. Dad Dancing
Pada tahun 1993 Fergie mengatakan Eric Cantona terinspirasi dengan cara fans separuh baya yang meloncat-loncat seperti anak dua tahun. Itu sebabnya Fergie masih tak canggung merayakan gol penting dengan cara anak kecil. Senyuman anak kecil, berjingkrak-jingrak dan ekspresi kegembiraan di lapangan.

9. Para pemain bintang
Kemampuan MU meraih kemenangan mungkin terlihat seperti mesin. Namun para pemain Setan Merah telah lama menunjukan kreativitas individu dan kerjasama yang solid. Ryan Giggs dan Robin van Persie telah berkembang di bawah arahan Ferguson yang sanggup menjadi pemain kunci Setan Merah.

Sepanjang kesuksesan MU dan permainan menyerang yang diterapkan, hanya 4 kali pemain MU merebut Sepatu Emas. Dua di antaranya Dwight Yorke pada 1999 dan Dimitar Berbatov pada 2011 harus berbagi gelar itu dengan pemain lain. Ini menunjukkan MU lebih terbentuk sebagai tim dibandingkan individu.

10. Trofi
13 Gelar Premier League, 2 Liga Champions, 5 Piala FA, dan 4 Piala Liga. Itu di antara 24 trofi yang sempat diraih Ferguson. Pencapaian yang luar biasa dan begitu konsisten.

Akhir Dinasty Ferguson, Era Baru MU


Sir Alex Ferguson mengakhiri perjalanan panjang dengan gelimang gelar bersama Manchester United. Dinasti 26 tahun Sir Alex dengan persembahan 38 gelar bergengsi sebagai manajer Setan Merah harus berhenti pada Rabu 8 Mei 2013.

Dalam situs resminya, MU secara mengumumkan bahwa setelah musim ini berakhir, pria Skotlandia ini akan meninggalkan jabatannya sebagai manajer Setan Merah. Dan keputusan ini sudah disepakati oleh direksi klub.

Meski banyak pihak yang merasa berat dengan keputusan ini, namun pelatih berusia 71 tahun itu menganggap saat ini adalah waktu yang tepat baginya meninggalkan klub yang dipimpinnya selama 26 tahun itu. "Keputusan ini telah saya pikirkan matang-matang. Dan ini adalah saat yang tepat," kata Ferguson di situs resmi MU.

"Saya harus memberikan penghargaan khusus kepada keluarga saya atas cinta dan dukungan mereka selama ini. Istri saya Cathy menjadi sosok kunci di sepanjang karier saya," lanjutnya.

Meski telah mengumumkan pensiun sebagai manajer MU, namun Ferguson tidak akan meninggalkan Old Trafford. Pelatih 71 tahun itu dipastikan menjadi salah satu Direktur Klub MU. Kepastian tersebut diungkapkan Co-chairman MU, Avie Glazer, yang menegaskan Fergie akan tetap bersama The Red Devils.

"Dengan senang, saya mengumumkan bahwa Sir Alex setuju tetap bersama klub sebagai direktur. Kontribusinya untuk Manchester United dalam 26 tahun terakhir sangat luar biasa. Dan seperti fans MU lainnya, saya ingin dia tetap jadi bagian masa depan klub," ujar Glazer.

Buah Kesabaran MU

Sejak menggantikan posisi Ron Atkinson yang dipecat MU pada 6 November 1986, Ferguson menjelma sebagai pelatih tersukses di Britania Raya. 26 tahun melatih The Red Devils, Ferguson sudah mempersembahkan total 38 trofi bergengsi.

Selama melatih MU, sosok yang mengawali kariernya sebagai manajer East Stirlingshire ini telah mempersembahkan puluhan trofi termasuk 13 gelar Premier League, dua trofi Liga Champions, 5 Piala FA dan 4 Piala Liga Inggris.

Dengan pencapaiannya tersebut, Ferguson pun kini mencatatkan namanya sebagai manajer tersukses di Britania Raya bersama MU. Namun, siapa sangka pelatih asal Skotlandia yang kini berusia 71 tahun itu nyaris dipecat MU.

Ferguson direkrut MU dari Aberdeen pada 6 November 1986, menyusul dipecatnya Ron Atkinson. Namun, karier pria asal Skotlandia itu di Old Trafford tidaklah berjalan mulus. Pasalnya, MU hampa gelar selama 4 musim sejak Ferguson ditunjuk sebagai manajer.

Musim 1989/1990 jadi titik terendah Ferguson selama berkarier di MU. Banyak desakan agar MU memecat Ferguson, baik dari media dan suporter, setelah kembali gagal di liga. Beruntung, di musim itu Fergie meraih trofi perdana bersama MU dengan menjuarai Piala FA.

"Jika musim itu kembali tidak mendapatkan gelar, maka tekanan ada di manajemen untuk melakukan sesuatu. Untungnya, Alex mampu membalikkan keadaan. Kami tahu betapa dia bekerja sangat keras di belakang layar," ujar mantan chairman MU, Martin Edwards, seperti dilansir IB Times.

Keputusan MU untuk tidak memecat Ferguson sangatlah tepat. Ferguson kemudian mengantarkan MU meraih Piala Winners 1990/1991 dan Piala Super Eropa 1991. Dan itu belum berhenti. Ferguson mempersembahkan gelar Premier League pertama musim 1992/1993.

Kini, setelah 26 tahun melatih MU, Ferguson sudah memberi 38 trofi, termasuk 13 Premier League dan dua Liga Champions. Prestasi yang tampaknya bakal sulit disamai oleh pelatih manapun.

Suksesor & Era Baru

Sejak lama, Ferguson kerap mengungkapkan akan pensiun saat MU dalam kondisi kuat dan mampu bersaing di level tertinggi tanpa kehadirannya. Itu dibuktikannya musim ini setelah memenangi Premier League dengan keunggulan 10 poin atas sang rival, Manchester City.

Selain itu, dengan bintang muda yang kini menjadi andalan Setan Merah, Ferguson pun menganggap saat ini adalah saat yang tepat untuk meninggalkan MU. "Sangat penting bagi saya untuk meninggalkan organisasi dalam kondisi yang sekuat mungkin, dan saya yakin telah melakukannya," lanjut Ferguson.

Sepeninggal Ferguson, rumor pun beredar. Siapa yang bakal menggantikan Ferguson di kursi manajer MU? Dari sekian nama pelatih papan atas yang mencuat, ada dua kandidat kuat yang dianggap ideal untuk menjadi pelatih dan membangun era baru MU.

Ya, selain faktor usia, Ferguson dianggap sudah layak pensiun karena pendekatan serta strateginya di lapangan yang terkesan mulai old-fashioned alias kuno. Karena kini eranya sepakbola modern yang diramaikan oleh strategi serta pendekatan segar pelatih-pelatih lebih muda.

Di antara para pelatih itu, David Moyes yang paling kencang digosipkan akan menjadi suksesor Sir Alex. Tapi, manajer Everton itu mendapatkan rival mahaberat, Jose Mourinho. Menurut Daily Mail, duo M: Mourinho dan Moyes kini memang menjadi favorit kuat pewaris "tahta" Ferguson.

Secara prestasi, sosok Moyes memang tidak terlalu gemerlap. Satu-satunya trofi yang bisa diraih sebagai manajer hanyalah juara Football League Second Division 1996 bersama Preston North End. Selanjutnya pencapaian terbaik lainnya hanya jadi runner up Piala FA 2009 bersama Everton.

Namun, ada nilai lebih yang dimiliki manajer asal Skotlandia tersebut. Kemampuannya menjaga stabilitas permainan Everton menjadi kredit tersendiri. Demikian pula loyalitasnya yang menobatkannya sebagai manajer ketiga terlama yang menangani klub Premier League (Moyes membesut Everton dari 2002-2013).

Kemampuan Moyes pun dibuktikan dengan tiga kali terpilih sebagai pelatih terbaik Premier League versi LMA (League Managers Association) Award pada 2003, 2005 dan 2009. Ini jumlah yang sama yang diraih Ferguson bersama MU sejak penghargaan ini dimulai 1994 silam.

Selasa, 07 Mei 2013

Sepakbola Menjadi Industri Olahraga Berbasis Ekonomi Pancasila


Sepak bola merupakan sebuah olahraga yang dapat membuat lupa segalanya, bahkan ketika negeri tercinta ini sedang dalam bencana, harga-harga kebituhan yang melonjak dan lainnya sepak bola dapat memberikan sebuah kebahagian walaupun Cuma sesaat. Dengan jumlah penduduk yang cukup besar kurang lebih 240 juta orang, Indonesia merupakan salah satu negara yang sangat menarik bila Industri olahraga di cabang olahraga dikelola dengan baik. Namun sayangnya ketidak profesionalan para stakeholder olahraga sepak bola ini yang membuat industri olahraga sepakbola kurang berkembang. Di negara – negara lain Industri Sepak Bola telah menjelma sebagai sebuah industri olahraga yang mendatangkan keuntungan yang cukup besar. Sepak bola bukan lagi sebuah hobi namun sudah menjadi komoditas yang diperjualbelikan. Namun bila melihat ke Indonesia Industri Sepak Bola sangatlah Suram, Pada tahun 2009 ketika sebuah seminar mengenai industri olahraga diceritakan bahwa memang setiap pertandingan sepakbola dipehuhi oleh para penonton, namun dengan penuhnya penonton belum mampu menutup kerugian yang diderita club. Di tengah minimnya dana yang dialokasikan pemerintah untuk pembinaan dan pengembangan olahraga sepakbola di tanah air, kita justru melupakan upaya optimalisasinya. Inefisiensi biaya, kondisi perwasitan yang tidak diperhatikan serta banyaknya klub yang mesti timbul-tenggelam dalam keikutsertaannya di Liga Domestik menunjukkan, betapa industri sepakbola di negara kita masih sangat jauh dari harapan, apalagi untuk bisa menguntungkan layaknya sebuah industri.

Salah satu hal yang paling menonjol adalah ketidakmampuan klub mengelola potensi yang mereka miliki menjadi aset bisnis yang menguntungkan. Karena itu, banyak klub yang akhirnya mengandalkan dana anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) untuk membiayai operasional klub. Sayangnya, kemudahan mendapatkan dana APBD ini juga tidak mampu dimaksimalkan untuk mendapatkan keuntungan. Dana yang setiap tahun mengucur, habis untuk satu musim kompetisi. Meski terlihat dikelola secara independen oleh sebuah perusahaan, Liga Super Indonesia yang saat ini bergulir ternyata belum bisa dikatakan mandiri. Mayoritas saham yang dikuasai PSSI membuat dugaan mudahnya PT Liga diintervensi. Salah satu contoh yang muncul dalam pemberitaan media massa adalah kasus tanding ulang Persik Kediri versus Persebaya Surabaya musim lalu. Persik, yang dua kali gagal menggelar laga melawan Persebaya, akhirnya diberi kemenangan WO pada kesempatan ketiga setelah Persebaya memutuskan tidak hadir. "Kami menduga PT Liga sudah diintervensi orang dalam PSSI yang punya kepentingan, dan pertandingan yang seharusnya batal itu akhirnya tetap diselenggarakan dengan alasan apa pun agar Persebaya tersingkir," kata Manajer Surabaya Gede Widiade pada Agustus lalu. Penguasaan PSSI atas saham PT Liga juga membuat klub-klub menjadi kerdil karena tidak mendapat pembagian keuntungan dari penyelenggaraan kompetisi. Berbagai pendapatan hasil kontrak sponsor serta hak siar televisi tidak terdistribusi dengan baik ke klub-klub. Kondisi ini membuat klub-klub kesulitan memperbesar pendapatan mereka. Sebagai contoh Arema Malang. Tim juara Liga Super musim lalu ini dikabarkan masih menanggung utang sekitar Rp 5 miliar.

Memang sudah saatnya sepak bola dijadikan sebuah industri olahraga yang professional, namun yang harus diperhatikan sekarang adalah banyak para penggemar sepak bola di Tanah Air yang tidak setuju bila sepak bola mengarah ke sport industry. Sebagai contoh adalah para supporter yang mengatakan

“ Kamilah orang2 yang selalu menonton kehidupan (bukan sekedar olahraga) sepakbola dari sudut pandang mereka yang selalu menyaksikan pertandingan di sektor paling buruk dalam stadion. Dari sudut pandang orang2 yang tidak membutuhkan kenyamanan saat mendukung timnya beratus2 kilometer dari rumah. Jadi kami adalah supporter, kami adalah ultras.. Kenyataan memang pahit. Sepakbola mulai berubah! Ke arah sebuah industri sepakbola moderen (FUCK OFF.. Kami ga butuh industri sepakbola!!!) Lalu apa yang bisa kita perbuat?? Tak ada! Sebenarnya apa yang menjadi keunggulan sepakbola sehingga bisa menjadi sangat terkenal?? Sebagai sebuah olahraga rasanya tak ada kelebihan yang menonjol dari sepakbola “.
Dilain itu, saya pernah mensurvei masyarakat Kota Jakarta pada tahun 2010 yang hasilnya sebanyak 52% masyarakat tidak setuju apabila sepak bola dijadikan sebuah industri. Mereka mayoritas memang mengatakan bahwa harga tiket yang semakin mahal membuat mereka sulit untuk masuk, bahkan seorang penonton mengatakan selama ini ia harus rela untuk mengutang hanya untuk menonton sepak bola. Bahkan dalam sebuah web ultraspss.info seorang suporter mengatakan :
“ para penonton sepakbola selalu dipandang sebagai sisi buruk kehidupan manusia, Pekerja kelas bawah, anak2 jalanan, gerombolan gangster.. ya kaum marginal.. kami sudah disamakan dengan kriminal! Itulah yang kini mereka coba ubah! Menjadikan sepakbola Indonesia menjadi sebuah industri penghasil Uang! Ya uang.. uang adalah segala2nya. Semua tergiur melihat industri sepakbola di eropa, banyak marchendise klub yang laris manis dan menghasilkan uang. Bagaimana mereka bisa merealisasikan ini?? Dengan menyingkirkan kami para supporter, kami yang dianggap menghambat kemajuan sepakbola, ataukah menghambat pemasukan mereka?? Perubahan memang belum tampak tapi indikasi ke arah sana terlihat jelas. Harga tiket yang selalu melambung tinggi belakangan ini bagai sebuah ‘larangan’ bagi supporter dari kalangan bawah untuk datang ke stadion.
Bahkan dari kelompok kami sendiri banyak yang harus utang sana-sini untuk dapat sekedar menonton pertandingan di kandang sendiri. Yang lebih mengenaskan adalah tribun sektor khusus supporter mulai dimasuki mereka dari kalangan non-supporter. Pernah dalam suatu pertandingan kami lihat sekeluarga duduk manis di kurva utara!!??? Apa2an ini?? ini daerah kami! ini tempat kami bernyanyi, ini surga kami dimana kami bisa mengekspresikan kebebasan! Kenapa kalian harus duduk disini?? Kini semua orang membicarakan sepakbola, walau masih sekedar sepakbola eropa. Orang2 inilah yang akan menjadi target PSSI untuk masuk ke stadion2 kita.
Mereka yang tau sepakbola dari televisi dan media cetak, mereka yang taunya hanya melihat kehebatan christiano ronaldo dengan gocekan2 mautnya, para perempuan yang menyukai sepakbola hanya karena para pemain di eropa berparas tampan, mereka yang saat ini hanya bisa mencaci maki sepakbola Indonesia. Sepakbola kita kampungan, sepakbola kita kebanyakan ricuh, supporter bola disini ga kaya di inggris yang bisa nonton tertib, sepakbola disini bisanya cuma tawuran, katrok, ndeso dll.. BULL SHIT!!! Tau apa kalian tentang sepakbola??? tau apa kalian tentang supporter?? tau apa kalian tentang semangat, keyakinan, gairah, kehormatan, dan harga diri?? taukah kalian bahwa… di eropa sana korban meninggal akibat sepakbola jauh lebih banyak daripada di negeri kita sendiri???? Lebih baik kalian teruskan ‘dunia sepakbola kalian’ sebuah mimpi indah di layar kaca.. karena kenyataanya di lapangan mungkin tak seindah yang kalian bayangkan.
Memang melihat kondisi sepakbola kita, jauh rasanya dari sebuah industri, jauh rasanya dari sepakbola moderen yang diimpikan semua kalangan masyarakat. Apakah kita menuju sebuah industri sepakbola yang nantinya menjadi pemasukan bagi klub kesayangan kita?? Ataukah kita menuju industri untuk mengencangkan sifat mercantilist dari para petinggi sepakbola kita?? Sebagai sumber pemasukan, Sebagai sebuah mesin penghasil uang??? Jangan sampai terjadi!! Sepakbola disini masih milik kami para supporter! Lalu kenapa kalian mau ambil apa yang kami miliki?? Melambungnya harga tiket pertandingan, Pelarangan menyalakan kembang api, pelarangan memasang spanduk2 yang mengkritik otoritas sepak bola Indonesia, apa yang kalian cari?? Jawabannya uang! Sikap mercantilist yang nantinya akan mematikan kita “para pemilik sepakbola yang sebenarnya!” Jangan ambil kesenangan kami, Jangan ambil hidup kami! “
Inilah permasalahan yang terjadi dalam sepakbola,, di satu sisi sepakbola haruslah menuju sebuah industri olahraga yang memiliki profesionalitas, namun di sisi lain banyak para supporter bola yang risih dengan diterapkannya sebuah industri olahraga, lalu bagaimana seharusnya menerapkan sebuah industri olahraga yang dapat menciptakan profesionalitas dan mampu di terima oleh semua masyarakat ?? salah satu caranya adalah dengan membangun industri olahraga sepak bola berbasis ekonomi pancasila. Ekonomi Pancasila
Bangsa ini sedang mengalami sebuah pergolakan di dalam dirinya, banyak masyarakat yang sekarang lupa akan Pancasila, padahal didalam Pancasila sudah tergambar dengan jelas bagaimana seharusnya kita bersikap. Tidak hanya dikalangan masyarakat bawah saja Pancasila seakan – akan dilupakan, tetapi di kalangan elit pemerintahan Pancasila seakan hanya menjadi sebuah lukisan yang dibingkai. Di dunia pendidikan pun Pancasila sudah tidak diajarkan seperti dahulu, bahkan dibangku Universitas mata kuliah Pancasila di Hilangkan. Padahal di dalam Pancasila semua sudah diatur, termasuk didalamnya Ekonomi Pancasila. Industri Olahraga merupakan bagian dari ilmu Ekonomi, dan karena itulah ketika permasalahan sepak bola yang terjadi diatas terjadi dapat diatasi dengan membangun sebuah industri olahraga yang berbasis ekonomi Pancasila. Disatu sisi pihak Produsen dalam hal ini PSSI dan Organisasi yang berkaitan dengan industri sepak bola di Indonesia tidak sepihak menjadikan Industri sepak bola sebagai alat untuk mencari keuntungan sebesar – besarnya tanpa mempertimbangkan keluhan konsumen seperti yang tergambar diatas. Dengan industri sepak bola berbasis ekonomi pancasila maka akan dipertemukan suatu titik keseimbangan antara produsen dengan konsumen.
Beberapa Pemikiran Dasar Industri Sepak Bola Berbasis Ekonomi Pancasila !!!!!!
Pertama – tama pada tataran filosofi Ekonomi Pancasila, maka sebuah industri sepak bola di Tanah Air harus didasari oleh nilai – nilai yang terkandung di dalam Pancasila. Atas dasar itu lah maka sebuah industri sepak bola yang berbasis Ekonomi Pancasila tidak semata – mata bersifat materialistis. Karena berlandas pada keimanan dan ketakwaan yang timbul dari pengakuan kita pada Ketuhanan Yang Maha Esa. Keimanan dan ketakwaan menjadi landasan spiritual, moral dan etik bagi penyelenggaraan industri sepak bola berbasis Ekonomi Pancasila. Dengan demikian industri sepak bola Tanah air yang berbasis Ekonomi Pancasila dikendalikan oleh kaidah-kaidah moral dan etika, sehingga penyelenggaran sebuah industri olah raga di Indonesia adalah industri sepak bola yang berakhlak. Dengan demikian maka masalah – masalah penyelenggaran industri sepak bola di Indonesia seperti yang terjadi saat ini seperti, penyuapan wasit, mengontrol hasil pertandingan dan sebagainya dapat dihindarkan. Industri sepak bola yang berbasis Ekonomi Pancasila yang berlandaskan nilai kemanusia yang adil dan beradab, menghormati martabat kemanusian serta hak dan kewajiban asasi manusia dalam sebuah industri sepak bola. Dengan demikian maka sangat jelas bahwa dalam sebuah industri sepak bola yang berbasis ekonomi pancasila tidak mengenal “ industry animal “, dimana yang satu akan memangsa yang lain. Dengan memahami ini secara mendalam maka tidak akan muncul permasalahan antara yang mendukung industri di sepak bola dengan yang tidak mendukung.

Bila kita melihat industri – industri sepak bola di negara lain, sangat terlihat jelas bahwa industri olahraga khususnya di bidang sepak bola telah menyatu karena pasar telah menjadi global. Namun selama masih ada Bangsa dan Negara Indonesia maka industri sepak bola yang berbasis Ekonomi Pancasila harus tetap diabadikan bagi prestasi sepak bola dan industri yang mensejahterakan rakyat Indonesia. Sila Persatuan Indonesia mengamanatkan kesatuan sebuah industri sepak bola yang mengarah ke kesatuan ekonomi sebagai penjabaran wawasan nusantara di bidang ekonomi. Globalisasi di bidang industri olahraga khususnya di sepak bola tidak akan menyebabkan internaliosasi kepentingan olahraga dan industri olahraga Indonesia itu sendiri. Kepentingan Ekonomi yang diakibatkan oleh industri sepak bola di Tanah Air akan tetap diabadikan untuk kepentingan kemajuan olahraga Indonesia dan kepentingan bangsa Indonesia. Dengan demikian Industri sepak bola berbasis Ekonomi Pancasila merupakan wawasan kebangsaan dan tetap membutuhkan sikap patriotik dari para pelakunya. Sila ke-emapt dalam Pancasila menunjukan pandangan bangsa Indonesia mengenai kedaulatan rakyat dan bagaimana demokrasi dijalankan di Indonesia. Dalam industri sepak bola Tanah Air yang berbasis Ekonomi Pancasila seharusnya dikelola dalam sebuah sistem demokratis. Nilai – nilai dasar sila kelima, keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia menunjukan bahwa seharusnya industri sepak bola di Tanah Air harus memperhatikan semua aspek di dalamnya termasuk bagaimana semua orang dapat merasakan sebuah pertandingan olahraga sepak bola baik itu orang yang kaya atau miskin, dan orang yang sehat maupun yang berkebutuhan khusus. Selain itu sila ke-5 ini juga mengisyaratkan bahwa seharusnya sebuah industri sepak bola dapat dirasakan manfaatnya bagi seluruh warga di Indonesia.

Sesungguhnya dalam undang – undang sistem keolahragaan nasional No.3 Tahun 2005 sudah dijabarkan bagaimana sebuah industri olahraga di Indonesia. Sangatlah jelas bahwa dalam undang – undnag tersebut terlihat bagaimana Ekonomi Pancasila menyatu dengan industri olahraga di Indonesia. Dalam undang – undang sistem keolahragaan nasional itu semua industri olahraga harus memperhatikan aspek tujuan olahraga nasional dan prinsip penyelnggaran olahraga nasional, dan bila kita lihat satu persatu point dari tujuan dan penyelengaraan olahraga nasional sangat terlihat jelas bahwa nilai – nilai Pancasila terkandung didalamnya. Yang harus tetap diperhatikan dalam industri olahraga adalah bahwa setiap kegiatan industri olahraga wajib memperhatikan tujuan keolahragaan nasional dan prinsip penyelanggaraan keolahragaan, hal ini sesuai dengan Pasal 78 UU Sistem Keolahragan Nasional Republik Indonesia No 3 Tahun 2005. Tujaan keolahragaan nasional sesuai dengan Pasal 4 UU Sistem Keolahragaan Nasional Republik Indonesia No 3 Tahun 2005 adalah memelihara dan meningkatkan kesehatan dan kebugaran, prestasi, kualitas manusia, menanamkan nilai moral dan akhlak mulia, sportivitas, disiplin, mempererat dan membina persatuan dan kesatuan bangsa, memperkukuh ketahanan nasional, serta mengangkat harkat, martabat dan kehormatan bangsa. Dari tujuan olahraga nasional yang telah dijabarkan diatas nampak jelas bahwa nilai – nilai pancasila sangan terikat didalamnya. Prinsip penyelenggaraan keolahragaan juga merupakan faktor yang wajib dijadikan perhatian ketika kita membangun industri olahraga, sesuai pasal 5 UU Sistem Keolahragaan Nasional  Republik Indonesia No 3 Tahun 2005 keolahragaan diselenggarakan dengan prinsip :
1. Demokratis, tidak diskriminatif, dan menjunjung tinggi nilai keagamaan, nilai budaya, dan   kemajemukan bangsa.
2. Keadilan sosial dan kemanusian yang adil dan beradab
3. Sportivitas dan menjunjung tinggi nilai etika dan estetika
4. Pembudayaan dan keterbukaan.
5. Pengembangan kebiasaan hidup sehat dan aktif bagi masyarakat.
6. Pemberdayaan peran serta masyarakat.
7. Keselamatan dan keamanan
8. Keutuhan jasmani dan rohani.
Dari point tentang penyelenggaran olahraga nasional juga telihat jelas bahwa Pancasila merupakan dasar pertimbnagn dalam membangun sebuah industri olahraga di Indonesia. Sehingga bila industri sepak bola benar – benar berbasis Ekonomi Pancasila diterapkan dan ditambah dengan memperhatikan dengan benar aspek tujuan dan penyelenggaran olahraga nasional maka permasalahan – permasalahan mengenai industri sepak bola dan persepakbolaan Tanah Air dapat diminimalisir dah bakan dapat dihindari. Pengembangan pola kemitraan dalam industri olahraga sesuai dengan undang – undang keolahragaan nasional merupakan contoh lain bagaimana sebuah industri sepak bola berbasis Ekonomi Pancasila banar – benar berlandasakan Pancasila.

Tantangan bagi kita sekarang adalah bagaimana secara tepat kita menjabarkannya dalam konsep-konsep industri sepak bola berbasis Ekonomi Pancasila untuk nantinya dioperasionalkan dan dituangkan dalam rencana rencana industri sepak bola Tnah Air. Dalam upaya itu jelas tidak ada jalan yang lurus dan jelas tidak ada yang mulus. Kadangkadang kita harus berbelok ke kiri, berbelok ke kanan, bahkan kadang-kadang harus mundur dulu sedikit kemudian maju lagi. Yang penting kita harus menjaga bahwa arahnya tetap konsisten, betapa pun dari saat ke saat kebijaksanaan-kebijaksanaan pembangunan harus disesuaikan dengan situasi. Betapa pun juga kita telah menyatakan bahwa Pancasila adalah ideologi terbuka, yang terus berkembang mengikuti dinamik masyarakat. Namun, nilai-nilai dasarnya tidak pernah berubah. Dengan industri olahraga sepak bola berbasis Ekonomi Pancasila ditambah dengan memperhatikan tujuan dan penyelenggaran olahraga nasional maka permasalhan – permasalhan yang telah dijabarkan dalam paragraph pertama dapat diatasi. Saat kembali ke Pancasila sebagai landasan Industri Olahraga Sepak Bola demi terciptang profesionalitas dan prestasi sepak bola Tanah Air.

Glory - Glory Man United