\

Selasa, 26 Maret 2013

Pemain Terbaik Indonesia Sudah Ketinggalan Zaman



Meski masih menjadi perdebatan, Liga Inggris dicap sebagai kompetisi terbaik di dunia. Salah satu penandanya adalah sisi keramaian tontonan, glamor, pamor dan kekayaan sejumlah klubnya. Tetapi kualitas permainan ternyata tidak seglamor kompetisinya. Kendati Chelsea mampu merajai Liga Champions musim lalu, tidak sedikit yang menyebut Liga Inggris overrated  atau dinilai terlalu tinggi dari level yang sesungguhnya.

Mereka yang kontra membandingkannya dengan timnas Inggris. Mereka mempertanyakan pengaruh Liga Inggris terhadap prestasi timnas Inggris, meski belum ada jaminan kompetisi yang bagus akan selalu menghasilkan timnas yang bagus pula. Faktanya, timnas Inggris tak pernah lagi berprestasi sejak menjuarai Piala Dunia 1966, yang saat itu digelar di negeri mereka sendiri.

Dalam kasta yang berbeda, hal senada juga terjadi pada Indonesia. Liga Super Indonesia (LSI/ISL) yang selalu riuh dan ditunggu-tunggu penonton ternyata gagal memberi pengaruh kuat bagi timnas Indonesia. Bukti terbaru terlihat pada permainan Indonesia melawan Arab Saudi di kualifikasi Pra-Piala Asia 2015 pada Sabtu (23/3) malam WIB lalu.

Dari serangkaian berita sebelum pertandingan, berbagai media massa mengutip rencana pelatih Rahmad Darmawan (RD) untuk melawan Arab Saudi.

Pertama, RD mengaku fokus pada sistem transisi permainan dari menyerang (attacking) ke bertahan (defending), menjaga zona & pergerakan lawan, serta mewaspadai sayap Arab.

Kedua, RD akan meminta para pemainnya untuk membatasi ruang gerak Arab di lini tengah.

Ketiga, RD mengatakan Indonesia harus memaksimalkan bola bawah dan bukan bola atas yang tidak efisien.

Keempat, RD ingin pemain Indonesia tidak tergesa-gesa melepas bola, sabar, dan mau mengembangkan permainan yang lebih kreatif.

Kelima, RD menyiapkan skema 4-2-3-1 dengan fokus pada para gelandang yang kuat.

Saat pertandingan, dari kelima poin tersebut hanya satu yang terlaksana, yakni skema 4-2-3-1. Itu pun sebenarnya tidak murni 4-2-3-1. Selebihnya, meleset jauh. Transisi menyerang-bertahan atau sebaliknya berantakan. Salah satu buktinya adalah kebingungan para pemain Indonesia untuk mengalirkan bola sehingga umpan langsung (direct) yang tidak efektif terpaksa ditempuh.

Penjagaan zona dan pergerakan lawan juga tak terjadi. Salah satu contoh, jarak antar pemain yang terlalu jauh dan seringnya pemain Indonesia terisolir sendirian saat menguasai bola atau saat membayangi lawan.

Akibat zona yang tak terbangun, baik saat menguasai bola maupun kehilangan bola, Indonesia menjadi gagal memberi tekanan (pressing) pada ruang gerak Arab Saudi. Pola permainan paling mencolok yang ditunjukkan Indonesia adalah aliran umpan langsung yang lebih sering melambung. Zona juga tak mungkin terwujud ketika ketahanan stamina para pemain terbatas. Seperti biasanya, para pemain Indonesia mulai kehabisan napas mulai menit 60-an.

Ironisnya, mayoritas pemain Indonesia sering menolak bila ditempa keras demi peningkatan standar staminanya.

Secara keseluruhan, permainan Indonesia melawan Arab juga terlihat pada pertandingan-pertandingan timnas sebelumnya. Tanpa bermaksud membandingkan pelatih, sedikit perbedaan permainan Indonesia terlihat saat masih ditangani Nil Maizar dengan sejumlah pemain mudanya.

Misalnya, ketika mengalahkan Singapura 1-0 di ajang Piala AFF 2012 lalu. Ini pun dikarenakan masa latihan dan persiapan yang lebih panjang.

Melawan Arab, timnas Indonesia kembali diperkuat para pemain dari kompetisi LSI yang selama dua tahun terakhir absen akibat konflik di tubuh PSSI. Kembalinya para pemain langganan timnas itu meningkatkan euforia. Tidak sedikit media massa dan publik menyebutnya sebagai barisan para pemain terbaik. Namun sayang, permainan mereka tidak cukup untuk disebut terbaik. Tetapi jangan salah paham, para pemain itu sama sekali tidak bisa disalahkan terhadap permainannya sendiri.

Saat melawan Arab, para pemain ini terlihat berjuang keras. Bahkan sangat keras. Mereka sudah menguras seluruh kemampuannya. Masalahnya, meski ini para pemain terbaik di Indonesia, standar skil mereka memang terbatas. Apalagi, liga di Indonesia sebagai ujung tombak pembinaan tidak cukup kondusif untuk bisa meningkatkan standar skil dan stamina pemain tersebut.

Klub tidak cukup berhasil memberi pemahaman bentuk permainan kepada para pemainnya. Padahal di sinilah para pemain sehari-hari berada dan setiap pekan bermain. Lihatlah, permainan di LSI atau juga LPI. Apa yang diperagakan timnas bisa dilihat di liga.

Secara kasar, lebih dari 80% tim selalu memainkan pola bola terobosan, bola langsung, dan bola atas. Hanya ada satu-dua tim yang sudah mencoba memainkan pola bola pendek antar zona, meski tidak konsisten.

Di liga, permainan tersebut memang terkesan tak ada masalah karena skil lawan yang dihadapi relatif sama. Polanya adalah permainan bola langsung dan bola daerah ke sisi lebar lapangan diteruskan dengan umpan silang yang sering berhasil menjadi gol. Jarang menempuh pola yang dibangun dari lini ke lini secara cermat.

Satu hal lagi yang mencolok dari permainan di Indonesia adalah aksi menggiring (dribbling) bola sepanjang lebih dari lima meter. Padahal hal tersebut sudah usang.

Dari tren permainan 2012 hasil kompilasi kolomnis The Guardian, Jonathan Wilson, sepak bola kini didominasi oleh permainan umpan dan umpan. Bola tidak lagi dikuasai seorang pemain terlalu lama. Bola harus terus diedarkan agar musuh tak punya kesempatan untuk menata barisannya.

Tapi sekali lagi, para pemain Indonesia - bahkan yang terbaik sekalipun - punya standar kemampuan yang terbatas dan ketinggalan zaman. Skil mereka tidak cukup diberdayakan dan dikembangkan di klubnya.

Lihatlah bagaimana para pemain Indonesia kebingungan mengantisipasi aliran umpan segitiga (triangular pass) yang dijalankan Arab. Pola umpan itu merupakan salah satu tren permainan sepak bola 2012. Pola itu sudah dimainkan oleh Singapura, Malaysia, Thailand dan bahkan Laos.

Malangnya, untuk bisa menjalankan atau mengantisipasi pola taktik mikro tersebut dibutuhkan bangunan zona yang justru tidak dikuasai kebanyakan pemain Indonesia.

Sudah waktunya bagi Indonesia untuk segera mengejar ketinggalan pemahaman dan paradigma sepak bola yang terus berevolusi. Kegagalan demi kegagalan Indonesia menjuarai ajang level Asia Tenggara sudah waktunya dijadikan pelajaran. PSSI sebagai pembina sepakbola Indonesia seharusnya gencar mendidik dan mencetak pelatih yang dapat melakukan transformasi ilmu dan taktik kepada para pemain di kompetisi klub.

Revolusi permainan sudah harus dilakukan di level klub. Sebab dari sanalah pasokan pemain untuk timnas berasal. Selama klub masih memainkan pola lama, maka timnas akan tetap berada dalam situasi yang dikebiri.

Senin, 25 Maret 2013

Gambaran Indonesia Di Stadion GBK Senayan


Kita bisa melihat gambaran bagaimana kehidupan Negara Indonesia berjalan jika anda sering atau pernah menyaksikan Timnas PSSI bertanding di Senayan. Terakhir saya baru saja menyaksikan pertandingan Timnas PSSI melawan Arab Saudi Pra Piala Asia 2015. Timnas kalah 1-2. Pertama kalinya sekitar tahun 2010, ketika saya awal kali tiba di Jakarta. Hal-hal berikut saya amati setelah berulang kali menyaksikan pertandingan yang dilakoni Timnas PSSI

Kita mempunyai stadion berkapasitas 88 ribu penonton. Stadion Gelora Bung Karno (GBK) Senayan merupakan terbesar ke-8 di dunia dari segi kapasitas penonton. Menggambarkan banyaknya jumlah penduduk negeri ini, serta kemampuan negara kita membangun prasarana olahraga yang megah.



Tiap kali Timnas PSSI bertanding, terutama di pertandingan resmi, lebih dari 90 persen dari kapasitas tempat duduk selalu penuh. Bahkan tidak jarang penonton membludak dan tiket yang tersedia habis. Banyak calo yang menangguk untung ketika situasi permintaan lebih banyak dari jumlah tiket yang tersedia. Walaupun tiket pertandingan mahal ditambah mark up oleh para calo, tetap saja tiket tersebut laku bak kacang goreng. Penonton yang datang bukan hanya dari wilayah DKI dan sekitarnya tetapi juga dari kota-kota lain di pulau Jawa dan dari luar Jawa. Menggambarkan bahwa rakyat kita banyak yang mampu. Ataukah mereka cuma memaksakan beli tiket yang mahal demi hadir langsung mendukung Timnas? Setidaknya ada gambaran bahwa ekonomi bangsa kita tidak payah-payah amat.

PSSI dan panitia penyelenggara pertandingan Timnas selalu mengulang kesalahan yang sama dalam sistem penjualan tiket. Terutama dalam hal publikasi, kapan dan dimana tiket akan dijual. Selama ini kita mesti datang langsung ke stadion untuk mencari tahu hal tersebut. Informasi yang diberikan oleh siaran televisi dan koran suka simpang siur. Mengatur penjualan tiket untuk 88 ribu penonton memang bukan hal yang gampang, tetapi tentunya bukan hal yang sulit-sulit amat apalagi Timnas bukan sekali setahun main di senayan. PSSI menurut saya belum punya standar baku yang efektif untuk sistem penjualan tiket (kalau ada yang tau tolong dishare). Mau pengurus berganti, kalau sistemnya sama saja, tidak akan ada perbaikan yang signifikan. Sedikit memberi gambaran pemerintahan kita sekarang yang nampak berjalan ditempat dan tidak terarah mengatur negara. Saran saya, kalau mau beli tiket pertandingan Timnas, datanglah pada hari-H pertandingan, datangi loket yang berada di sebelah kiri pintu gerbang Istora Senayan, dari pengalaman saya, loket ini lebih kurang antriannya dibandingkan loket-loket yang lain.


Kalau anda mau nonton di senayan, belilah tiket kategori 1. Tiket ini dibawah harga VIP timur. Karena dengan tiket kategori 1 anda bisa duduk di VIP timur/barat. Caranya anda masuk saja dulu sesuai pintu masuk tiket kategori 1, setelah di dalam anda bisa melangkahi pembatas untuk VIP yang hanya sepinggang. Cukup melangkah tidak perlu lompat, anak SD juga bisa lewat. Dari dulu hingga sekarang masih seperti itu. Polisi dan petugas tidak mampu menghalau. Polisi yang ditugaskan berjaga di stadion selalu polisi muda yang baru lulus, polisi yang masih culun, pemalu, takut-takut, dan ga ada wibawa. Penonton yang rata-rata datang dengan semangat juang 45 tidak ada rasa takut sama sekali pada polisi-polisi muda yang sempritan-pun ga punya. Para polisi muda tersebut malah asik mencari posisi terbaik untuk menonton gratis bukannya berjaga. Gambaran bagaimana Polisi kita sehari-harinya bertugas mungkin memang seperti itu. Penyelenggaraan terbaik menurut saya ketika Piala Asia 2015. Petugas tersebar dengan sangat bagus di pembatas kursi VIP mencegah penonton bermental kampungan melangkahi pembatas. Bahkan penonton di sektor VIP diarahkan duduk sesuai nomer kursinya. Tapi memang petugas yang disiagakan juga harus banyak. Solusi permanen menurut saya adalah dengan meninggikan pembatas sektor VIP agar tidak bisa lagi dilewati penonton yang tidak berhak untuk duduk disitu, dan para penonton yang bayar tiket VIP tidak diambil haknya.

Jumlah perokok di Indonesia yang sangat tinggi bisa anda buktikan ketika menonton di stadion. Enam dari sepuluh pria Indonesia adalah perokok aktif. Kiri kanan atas bawah anda dikelilingi asap rokok. Stadion belum jadi tempat bebas rokok. Perda DKI nampaknya tidak berlaku di senayan. Padahal akhir-akhir ini menonton pertandingan Timnas mulai menjadi tujuan rekreasi keluarga, wanita dan anak-anak jumlahnya sangat banyak ikut menyaksikan pertandingan di Stadion. Dan saya belum pernah melihat ada spanduk bertuliskan larangan merokok di dalam stadion. Mungkin memang belum terlintas dipikiran pengurus PSSI atau sengaja tidak dipasang. Mau gimana lagi, sebagaimana yang kita ketahui, yang mau menjadi sponsor utama Liga Sepakbola Indonesia selama ini adalah perusahaan rokok.

Orang Indonesia suka narsis tapi nasionalis dan optimis namun bisa segera berubah jadi anarkis. Para pendukung timnas datang dengan berbagai atributnya yang didominasi warna merah, dari ujung rambut hingga ujung kaki. Sebelum pertandingan dimulai, siapapun lawannya, pendukung Timnas selalu yakin bisa menang. Keadaan akan berbalik mencaci maki pemain dan pelatih Timnas hingga pengurus PSSI bahkan Presiden RI, ketika Timnas bermain buruk apalagi kalah. “Garuda di dadaku, Garuda kebanggaanku, Ku yakin hari ini pasti menang.. Kobarkan semangatmu, Tunjukkan sportivitasmu, Ku yakin hari ini pasti menang..” Pemain Timnas kita sudah bermain sportif, bermain penuh semangat hingga peluit akhir dan keluar lapangan dengan kepala tegak walau akhirnya kalah, tetapi penonton sendiri yang suka ga sportif. Dimulai ketika lagu kebangsaan lawan dinyanyikan, teriakan “Huuu…” dan lengkingan terompet tiada henti, ketika lawan berhasil mencetak gol, mercon ditembakkan ke arah pemain cadangan lawan yang sedang melakukan pemanasan di pinggir lapangan, dan membakar benda-benda apa saja di kursi stadion ketika Timnas akhirnya kalah. Saya selalu kecewa ketika melihat Timnas kalah, tetapi lebih kecewa dengan sikap tidak sportif para penonton kita. Sehari-harinya mungkin memang begitulah wajah bangsa kita, yang masih kurang bersyukur, yang masih kurang berterima kasih, yang masih tidak bisa berhenti ribut dengan sesamanya dan sulit akur, yang susah diatur. Indonesia adalah bangsa yang besar yang tentu butuh pemimpin besar. Saya berharap kelak Indonesia akan dipimpin oleh seorang pemimpin yang berkharisma seperti Soekarno, tegas seperti Soeharto, cerdas seperti Habibie, toleran seperti Gus Dur, tenang seperti Megawati, dan mampu menjaga citra seperti SBY.

Pengalaman menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya bersama puluhan ribu penonton yang lain merupakan pengalaman yang tidak akan terlupakan. Satu suara bergemuruh, stadion seakan mau runtuh, ego kesukuan dan daeraisme segera luruh, nasionalisme akan tumbuh. Stadion GBK Senayan adalah ibarat kiblat untuk menebalkan rasa nasionalisme bangsa Indonesia yang mesti diziarahi sekali seumur hidup.

“… menggemari tim sepak bola negeri sendiri adalah 10%mencintai sepak bola dan 90% mencintai Tanah Air” (Andrea Hirata-Sebelas Patriot, hal.88)


Wassalam,
-Pencinta Timnas PSSI, penikmat sepakbola, dan komentator amatiran.

Umpan Silang Arab Saudi & Double-Pivot Indonesia Yang Hilang



Indonesia akhirnya kembali harus menelan kekalahan dari Arab Saudi, kali ini dengan skor tipis 1-2. Kekalahan tetap saja kekalahan, dan ini memperpanjang rekor buruk Indonesia yang tidak pernah menang atas Arab Saudi. Kendati demikian, Indonesia bukannya tak memberikan perlawanan. Skor tipis sudah menjelaskan betapa laga ini berjalan tidak mudah bagi Arab.

Apa saja hal-hal menarik yang membuat laga ini bisa dikatakan berjalan ketat? Apa yang membuat Indonesia bisalah dikatakan sanggup memberi perlawanan yang berarti? Lalu apa yang menjadi kunci kemenangan Arab? Berikut 10 catatan dari Pandit Football Indonesia.

1. Mikro Taktik RD

Rahmad Darmawan (RD) mengklaim dirinya menggunakan formasi dasar 4-2-3-1 dengan Ponaryo dan Immanuel Wanggai menjadi double-pivot di lini tengah. Dengan Boaz Solossa berada di depan, maka duo Ian Kabes di kiri dan M. Ridwan di kanan bahu-membahu dengan Sergio van Dijk di belakang Boaz. Tapi pada praktiknya di lapangan, Indonesia sebenarnya cenderung bermain dengan formasi 4-3-3 yang tidak simetris.

Selain Ponaryo-Wanggai yang berperan melindungi back-four, Ridwan yang menempati posisi sayap kanan juga cenderung menjadi defensive-winger yang ditugaskan mula-mula untuk meng-cover Zulkifli Syukur di posisi full-back kanan. Dalam konferensi pers setelah pertandingan, RD pun mengakui bahwa Ridwan dipilih untuk mengantisipasi serangan lawan.

Sementara di pos menyerang, duet Boaz-SvD di depan banyak ditopang oleh Ian Kabes di sayap kiri. Berbeda dengan Ridwan yang dipilih dengan orientasi lebih condong bertahan, Kabes di sisi kiri dibiarkan untuk lebih aktif menyerang. Situasi ini membuat area yang ditempati Supardi di sisi kiri pertahanan Indonesia lebih rentan diserang. Immanuel Wanggai terpaksa harus banyak mengisi celah-celah di area kerjanya Supardi ini.

2. Garis Pertahanan yang Dalam

Duet Hamka Hamzah dan Victor Igbonefo jarang sekali naik sampai duapertiga lapangan. Keduanya cenderung konstan di sepertiga lapangan sendiri. Dengan Ponaryo dan Wanggai juga jarang sekali naik ke depan dan sibuk membendung serangan Arab, jelas sekali Indonesia bermain dengan garis pertahanan yang dalam.

Skema bertahan ini terbukti efektif untuk menjinakkan serbuan Arab yang dikirim langsung ke jantung pertahanan. Jarang sekali lawan mampu melakukan percobaan mencetak gol lewat skema through-pass dari lini kedua. Hamka dan Igbonefo cenderung mampu mengantisipasi umpan-umpan terobosan Arab. Di babak I, tercatat hanya sekali Arab mempu memproduksi shot on target melalui umpan terobosan.

Inilah yang menjadi faktor utama kenapa Arab Saudi tak berhasil mencetak gol melalui skema serangan yang menyerang langsung jantung pertahanan Indonesia dari tengah. Aspek inilah yang menjadi nilai lebih skema dan taktik yang dipakai RD dan Jacksen F. Tiago.

3. Instabilitas Hamka

Sempat dihebohkan karena ucapannya hendak "nampol" para pemain naturalisasi, Hamka Hamzah di laga ini malah dua kali "ditampol" sundulan pemain Arab Saudi. Dua gol yang bersarang di gawang Indonesia selalu melibatkan kekalahan Hamka berduel bola udara.

Di luar dua gol itu, Hamka bermain solid di jantung pertahanan Indonesia. Antisipasinya dalam memotong umpan-umpan terobosan Arab Saudi nyaris sempurna. Garis pertahanan yang dalam memungkinkan Hamka dan Igbonefo lebih sering menunggu bola-bola Arab Saudi di posisi yang tak perlu memaksa mereka membalikkan badan 180 derajat.

Dalam duel bola-bola atas Hamka juga sering menang. Dominasi Hamka dalam duel bola-bola atas seringnya terjadi saat pemain lawan sedang membelakangi gawang Indonesia atau saat Hamka berada di belakang pemain yang dijaganya. Tapi, saat lawan yang dijaganya berdiri sejajar atau bahkan di belakang Hamka, seperti dalam insiden dua gol Arab itu, Hamka kalah berduel.

4. Minimnya Peranan Ponaryo

Dengan Wanggai menjadi ball-winning, maka tandem Wanggai sebagai double-pivot mesti bisa lebih menahan bola, punya passing bagus, dan cenderung mampu menjaga zonal saat bertahan. Secara taktik, pilihan pada Ponaryo sebenarnya masih dapat dipahami karena Ponaryo dan Bustomi sama-sama punya gaya main yang memenuhi syarat seperti itu. Ditambah pertimbangan jam terbang (sebagaimana diuraikan RD setelah pertandingan), maka pilihan jatuh pada Ponaryo.

Menjadi kendala ketika Ponaryo ternyata tak mampu mengemban tugas itu. Popon, demikian panggilan akrab Ponaryo, tak maksimal menyuplai bola ke depan, juga kelimpungan mengisi celah-celah yang ditinggalkan Wanggai yang sepanjang laga sibuk berduel dengan para pemain tengah Arab dan juga cukup repot membantu Supardi yang terus menerus dicecar oleh pemain Arab.

Ponaryo praktis makin "hilang" di babak II. Kontribusi Ponaryo terasa kian menurun setelah turun minum. Ini menyisakan lubang besar di jantung lini tengah Indonesia. Ini dimanfaatkan oleh Arab Saudi dengan meningkatkan frekuensi percobaan mencetak gol dari lini kedua, kebanyakan dari pos yang ditempati oleh Ponaryo.

Jika memilih Ponaryo sebagai starter masih bisa dipahami secara taktikal, maka pilihan untuk terus mempertahankan Ponaryo sampai menit 89 agak sukar dimengerti dan itu sebabnya banyak dipertanyakan.

5. Umpan Silang dari Arab Saudi

Sejak awal, Arab Saudi terlihat mengeksploitasi sisi sayap pertahanan Indonesia, baik dari kanan yang dijaga Zulkifli maupun sisi kiri yang dikawal Supardi. Arab Saudi secara rutin mengirim ancaman melalui umpan-umpan silang dari kedua sisi ini. Dua gol Arab yang semuanya berasal dari umpan silang menjelaskan betapa efektifnya pilihan taktik ini.

20 menit pertama pertandingan, Arab sudah melakukan tiga umpan silang dari daerah Supardi. Dari total 7 percobaan mencetak gol yang dilakukan Arab sampai menit ke-20, 5 di antaranya dilakukan dari sisi kiri pertahanan Indonesia. Sisanya dari sisi kanan pertahanan Indonesia.

Usai menit 20, Arab Saudi beralih haluan memfokuskan serangan dari tengah dan kiri. Hanya saja, kesulitan menembus garis pertahanan Indonesia membuat Arab Saudi kerap melakukan percobaan mencetak gol dari luar kotak penalti. Tercatat ada 4 attempt yang mereka lakukan, 2 di antaranya on target yang mampu diblok Kurnia Meiga.

Memasuki babak II, Arab Saudi melakukan perubahan serangan. Mereka makin intensif mencoba mengeksploitasi sisi kanan pertahanan Indonesia yang dijaga Zulkifli. Dari 10 umpan ke dalam kotak pinalti Indonesia sepanjang babak II, 4 di antaranya berasal dari sisi kiri pertahanan Indonesia dan 6 sisanya dari sisi kanan yang dijaga Zulkifli.

6. Faktor Supardi

Dua gol yang bersarang di gawang Kurnia Meiga semuanya berasal dari umpan silang yang dikirimkan dengan leluasa dari area yang dijaga Supardi. Dalam dua momen mematikan itu, lawan dengan bebas dan tanpa pressing mengirimkan umpan silang.

Sebenarnya Supardi tak buruk-buruk amat di pertandingan ini. "Kebocoran" di area yang dijaganya ini bisa dibaca sebagai risiko taktikal. Dengan membiarkan Ian Kabes aktif membantu serangan, praktis Supardi tak cukup mendapat bantuan dalam melindungi areanya. Berbeda dengan Zulkifli di kanan yang sering dibantu Ridwan.

Gol kedua Arab menjelaskan betapa area Supardi jadi rentan karena faktor itu. Seperti terlihat dalam gambar di bawah ini, Ian Kabes yang sebenarnya sudah berada di posisi bertahan, dengan mudah sekali dilewati oleh pemain lawan. Dan begitu Kabes dilewati, sialnya posisi Supardi juga jauh. Lawan dengan mudah mengirim umpan silang mematikan persis di antara Kabes dan Supardi.


Jika pun harus dipersoalkan barangkali pilihan RD menempatkan Supardi sebagai full-back kiri. Di klubnya sekarang, Persib Bandung, Supardi selalu bermain sebagai full-back kanan. Begitu juga saat Supardi bermain di klub sebelumnya, Sriwijaya FC. Supardi dan Ridwan adalah "satu paket" di sisi kanan. Entah kapan terakhir kalinya Supardi bermain sebagai full-back kiri.

7. Peran Sentral Van Dijk

Saat menghadapi tim-tim kuat, Indonesia biasanya menyerang secara cepat lewat serangan balik yang dibangun oleh kedua flank. Hal ini berbeda dengan pertandingan semalam. Dengan menempatkan Boaz dan Van Dijk, pelatih Rahmad Darmawan terlihat mengubah pola serangan melalui poros tengah. Namun, dengan menempatkan Ridwan sebagai defensive winger dan Ponaryo-Wanggai sebagai double-pivot yang lebih banyak tertahan di wilayah sendiri, praktis pasokan bola ke lini depan lebih banyak dialirkan melalui umpan lambung atau lewat Ian Kabes yang diberi keleluasan untuk aktif menyerang.

Dengan skema serangan seperti ini, keberadaan Van Dijk jadi sentral bagi Indonesia. Striker ini berperan untuk menerima bola-bola lambung dari Hamka atau Zulkilfi dan mendistribusikannya pada Boaz atau Ian Kabes. Hal ini jelas terlihat terutama pada zona waktu menit 45-60. Dari 9 kali Indonesia memasuki area pertahanan Arab Saudi, 7 kalinya selalu melalui Van Dijk.


Grafik Distribusi Bola Indonesia di Sepertiga Lapangan Akhir (menit 45-60)


Namun, dengan mengambil peran sebagai second-striker, bukan berarti Van Dijk tidak melakukan percobaan ke arah gawang. Bahkan, dari 12 kali attempts yang dilakukan Indonesia, 7 di antaranya dilakukan Van Dijk.

Grafik Percobaan Ke Arah Gawang Timnas Indonesia


8. Menyerang di 15 Menit Akhir

Satu pola penyerangan yang terlihat dalam pertandingan kali ini adalah Indonesia yang baru bisa memasuki daerah pertahanan Arab Saudi di 15 menit terakhir setiap babaknya. Di babak pertama, total 31 kali Indonesia mengalirkan bola ke area sepertiga lapangan akhir, dan 15 di antaranya (48%) terjadi pada menit 30-45. Hal yang sama terjadi di babak dua. Dari 24 kali memasuki area pertahanan Arab Saudi, 13 kali (54%) baru dilakukan pada menit 75-90.

Namun, walau bisa mengalirkan bola ke sepertiga lapangan akhir, Indonesia sendiri selama 70 menit kesulitan untuk membongkar pertahanan Arab Saudi. Hal ini disebabkan oleh duet lini tengah Ponaryo-Wanggai yang kesulitan mendistribusi bola lewat umpan-umpan pendek. Bola kemudian dialirkan melalui umpan lambung, dan dipantulkan melalui Sergio Van Dijk, atau melalui Ian Kabes. Lini pertahanan Arab Saudi dengan baik bisa melakukan intercept atau clearance bola-bola yang dipantulkan Van Dijk atau merebut bola dari kaki Kabes.

Akibatnya serangan Indonesia di 15 menit akhir ini tidak berjalan efektif. Bahkan di menit 75-90, dua percobaan ke arah gawang yang dilakukan oleh Indonesia sendiri berasal dari bola mati. Pertama datang dari tendangan bebas Ian Kabes dari pinggir kiri kotak penalti, sementara kedua adalah dari tendangan Igbonefo yang berasal dari tendangan penjuru Ian Kabes. Di zona waktu ini (menit 75-90), sama sekali tidak ada serangan dari permainan terbuka yang berujung pada percobaan ke arah gawang.


9. Kombinasi Greg-Van Dijk

Skema serangan berubah saat Rahmad Darmawan memasukkan Greg Nwokolo untuk menggantikan Ian Kabes. Sebelumnya serangan Indonesia lebih sering dilakukan di sisi kiri, yaitu melalui Ian Kabes yang bergerak menyusuri flank kiri tanpa menusuk ke kotak penalti Arab Saudi.

Setelah Greg masuk, Indonesia kemudian melakukan serangan dari poros tengah maupun sayap kanan dan kiri. Greg berkali-kali menguasai bola baik di sisi kanan maupun kiri pertahanan Arab (lihat chalkboard). Greg juga mampu membangun kombinasi dengan van Dijk dan sering terlibat dalam umpan satu-dua di daerah pertahanan Arab Saudi.

Karena perkembangan baru itu pula maka van Dijk juga tak lagi berfungsi sebagai penerima umpan lambung. Van Dijk jadi lebih konstan berada di dalam kotak penalti. Tak mengherankan jika pada 15 menit terakhir babak II, 3 percobaan mencetak gol Indonesia semuanya dilakukan oleh Van Dijk dari dalam kotak penalti.


Grafik Distribusi Bola Indonesia di Sepertiga Lapangan Akhir (menit 30-45). Terlihat bahwa area kanan lapangan jarang digunakan untuk menyerang.

Grafik Distribusi Bola Indonesia di Sepertiga Lapangan Akhir (menit 75-90). Terlihat bahwa setelah Greg Masuk, serangan Indonesia semakin merata dari sayap kanan, kiri, maupun dari poros tengah.


10. Menurunnya Performa Boaz

Kehadiran Greg meningkatkan kemampuan Indonesia untuk menguasai bola di area pertahanan Arab Saudi. Pemain Indonesia pun mampu menekan lini pertahanan Arab Saudi untuk bertahan lebih dalam.

Namun, ada efek negatifnya: Boaz tidak cukup punya ruang bergerak. Kekuatan Boaz terletak pada kemampuannya mengeksploitasi ruang kosong di belakang bek lawan saat diberi umpan-umpan terobosan. Dengan ruang yang semakin sempit di area kotak penalti Arab Saudi, maka striker ini kesulitan untuk memaksimalkan kelebihannya.

Semenjak Greg masuk ke lapangan, Boaz lebih sering terlihat turun ke lini tengah. Bahkan ia sempat dua kali berada sejajar dengan Van Dijk di area lingkaran tengah lapangan, saat Van Dijk turun menjemput bola. Di 15 menit akhir, Boaz pun hanya mampu satu kali menembus kotak penalti Arab Saudi saat tendangannya diblok center-back Arab Saudi.

Minggu, 24 Maret 2013

Sepenggal Cerita Soekarno



Sedari pagi, suasana mencekam sudah terasa. Kabar yang berhembus mengatakan, mantan Presiden Soekarno akan dibawa ke rumah sakit ini dari rumah tahanannya di Wisma Yaso yang hanya berjarak lima kilometer.
Malam ini desas-desus itu terbukti. Di dalam ruang perawatan yang sangat sederhana untuk ukuran seorang mantan presiden, Soekarno tergolek lemah di pembaringan. Sudah beberapa hari ini kesehatannya sangat mundur. Sepanjang hari, orang yang dulu pernah sangat berkuasa ini terus memejamkan mata. Suhu tubuhnya sangat tinggi. Penyakit ginjal yang tidak dirawat secara semestinya kian menggerogoti kekuatan tubuhnya.
Lelaki yang pernah amat jantan dan berwibawa-dan sebab itu banyak digila-gilai perempuan seantero jagad, sekarang tak ubahnya bagai sesosok mayat hidup. Tiada lagi wajah gantengnya. Kini wajah yang dihiasi gigi gingsulnya telah membengkak, tanda bahwa racun telah menyebar ke mana-mana. Bukan hanya bengkak, tapi bolong-bolong bagaikan permukaan bulan. Mulutnya yang dahulu mampu menyihir jutaan massa dengan pidato-pidatonya yang sangat memukau, kini hanya terkatup rapat dan kering. Sebentar-sebentar bibirnya gemetar. Menahan sakit. Kedua tangannya yang dahulu sanggup meninju langit dan mencakar udara, kini tergolek lemas di sisi tubuhnya yang kian kurus.
Sang Putera Fajar tinggal menunggu waktu.
Dua hari kemudian, Megawati, anak sulungnya dari Fatmawati diizinkan tentara untuk mengunjungi ayahnya. Menyaksikan ayahnya yang tergolek lemah dan tidak mampu membuka matanya, kedua mata Mega menitikkan airmata. Bibirnya secara perlahan didekatkan ke telinga manusia yang paling dicintainya ini.
“Pak, Pak, ini Ega…”
Senyap.
Ayahnya tak bergerak. Kedua matanya juga tidak membuka. Namun kedua bibir Soekarno yang telah pecah-pecah bergerak-gerak kecil, gemetar, seolah ingin mengatakan sesuatu pada puteri sulungnya itu. Soekarno tampak mengetahui kehadiran Megawati. Tapi dia tidak mampu membuka matanya. Tangan kanannya bergetar seolah ingin menuliskan sesuatu untuk puteri sulungnya, tapi tubuhnya terlampau lemah untuk sekadar menulis. Tangannya kembali terkulai. Soekarno terdiam lagi.
Melihat kenyataan itu, perasaan Megawati amat terpukul. Air matanya yang sedari tadi ditahan kini menitik jatuh. Kian deras. Perempuan muda itu menutupi hidungnya dengan sapu tangan. Tak kuat menerima kenyataan, Megawati menjauh dan limbung. Mega segera dipapah keluar.
Jarum jam terus bergerak. Di luar kamar, sepasukan tentara terus berjaga lengkap dengan senjata.
Malam harinya ketahanan tubuh seorang Soekarno ambrol. Dia coma. Antara hidup dan mati. Tim dokter segera memberikan bantuan seperlunya.
Keesokan hari, mantan wakil presiden Muhammad Hatta diizinkan mengunjungi kolega lamanya ini. Hatta yang ditemani sekretarisnya menghampiri pembaringan Soekarno dengan sangat hati-hati. Dengan segenap kekuatan yang berhasil dihimpunnya, Soekarno berhasil membuka matanya. Menahan rasa sakit yang tak terperi, Soekarno berkata lemah.
“Hatta.., kau di sini..?”
Yang disapa tidak bisa menyembunyikan kesedihannya. Namun Hatta tidak mau kawannya ini mengetahui jika dirinya bersedih. Dengan sekuat tenaga memendam kepedihan yang mencabik hati, Hatta berusaha menjawab Soekarno dengan wajar. Sedikit tersenyum menghibur.
“Ya, bagaimana keadaanmu, No?”
Hatta menyapanya dengan sebutan yang digunakannya di masa lalu. Tangannya memegang lembut tangan Soekarno. Panasnya menjalari jemarinya. Dia ingin memberikan kekuatan pada orang yang sangat dihormatinya ini.
Bibir Soekarno bergetar, tiba-tiba, masih dengan lemah, dia balik bertanya dengan bahasa Belanda. Sesuatu yang biasa mereka berdua lakukan ketika mereka masih bersatu dalam Dwi Tunggal.
“Hoe gaat het met jou…?” Bagaimana keadaanmu?
Hatta memaksakan diri tersenyum. Tangannya masih memegang lengan Soekarno.
Soekarno kemudian terisak bagai anak kecil.
Lelaki perkasa itu menangis di depan kawan seperjuangannya, bagai bayi yang kehilangan mainan. Hatta tidak lagi mampu mengendalikan perasaannya. Pertahanannya bobol. Airmatanya juga tumpah. Hatta ikut menangis.
Kedua teman lama yang sempat berpisah itu saling berpegangan tangan seolah takut berpisah. Hatta tahu, waktu yang tersedia bagi orang yang sangat dikaguminya ini tidak akan lama lagi. Dan Hatta juga tahu, betapa kejamnya siksaan tanpa pukulan yang dialami sahabatnya ini. Sesuatu yang hanya bisa dilakukan oleh manusia yang tidak punya nurani.
“No…”
Hanya itu yang bisa terucap dari bibirnya. Hatta tidak mampu mengucapkan lebih. Bibirnya bergetar menahan kesedihan sekaligus kekecewaannya. Bahunya terguncang-guncang.
Jauh di lubuk hatinya, Hatta sangat marah pada penguasa baru yang sampai hati menyiksa bapak bangsa ini. Walau prinsip politik antara dirinya dengan Soekarno tidak bersesuaian, namun hal itu sama sekali tidak merusak persabatannya yang demikian erat dan tulus.
Hatta masih memegang lengan Soekarno ketika kawannya ini kembali memejamkan matanya.
Jarum jam terus bergerak. Merambati angka demi angka.
Sisa waktu bagi Soekarno kian tipis.
Sehari setelah pertemuan dengan Hatta, kondisi Soekarno yang sudah buruk, terus merosot. Putera Sang Fajar itu tidak mampu lagi membuka kedua matanya. Suhu badannya terus meninggi. Soekarno kini menggigil. Peluh membasahi bantal dan piyamanya. Malamnya Dewi Soekarno dan puterinya yang masih berusia tiga tahun, Karina, hadir di rumah sakit. Soekarno belum pernah sekali pun melihat anaknya.
Minggu pagi, 21 Juni 1970. Dokter Mardjono, salah seorang anggota tim dokter kepresidenan seperti biasa melakukan pemeriksaan rutin. Bersama dua orang paramedis, Dokter Mardjono memeriksa kondisi pasien istimewanya ini. Sebagai seorang dokter yang telah berpengalaman, Mardjono tahu waktunya tidak akan lama lagi. Dengan sangat hati-hati dan penuh hormat, dia memeriksa denyut nadi Soekarno. Dengan sisa kekuatan yang masih ada, Soekarno menggerakkan tangan kanannya, memegang lengan dokternya. Mardjono merasakan panas yang demikian tinggi dari tangan yang amat lemah ini. Tiba-tiba tangan yang panas itu terkulai. Detik itu juga Soekarno menghembuskan nafas terakhirnya. Kedua matanya tidak pernah mampu lagi untuk membuka. Tubuhnya tergolek tak bergerak lagi. Kini untuk selamanya.
Situasi di sekitar ruangan sangat sepi. Udara sesaat terasa berhenti mengalir. Suara burung yang biasa berkicau tiada terdengar. Kehampaan sepersekian detik yang begitu mencekam. Sekaligus menyedihkan.
Dunia melepas salah seorang pembuat sejarah yang penuh kontroversi. Banyak orang menyayanginya, tapi banyak pula yang membencinya. Namun semua sepakat, Soekarno adalah seorang manusia yang tidak biasa. Yang belum tentu dilahirkan kembali dalam waktu satu abad. Manusia itu kini telah tiada.
Dokter Mardjono segera memanggil seluruh rekannya, sesama tim dokter kepresidenan. Tak lama kemudian mereka mengeluarkan pernyataan resmi: Soekarno telah meninggal.
Berita kematian Bung Karno dengan cara yang amat menyedihkan menyebar ke seantero Pertiwi. Banyak orang percaya bahwa Bung Karno sesungguhnya dibunuh secara perlahan oleh rezim penguasa yang baru ini. Bangsa ini benar-benar berkabung. Putera Sang Fajar telah pergi dengan status tahanan rumah. Padahal dia merupakan salah satu proklamator kemerdekaan bangsa ini dan menghabiskan 25 tahun usia hidupnya mendekam dalam penjara penjajah kolonial Belanda demi kemerdekaan negerinya.
Anwari Doel Arnowo, seorang saksi sejarah yang hadir dari dekat saat prosesi pemakaman Bung Karno di Blitar dalam salah satu milis menulis tentang kesaksiannya. Berikut adalah kesaksian dari Cak Doel Arnowo yang telah kami edit karena cukup panjang:
Pagi-pagi, 21 Juni 1970, saya sudah berada di sebuah lubang yang disiapkan untuk kuburan manusia. Sederhana sekali dan sesederhana semua makam di sekelilingnya. Sudah ada sekitar seratusan manusia hidup berada di situ dan semua hanya berada di situ, tanpa mengetahui apa saja tugas mereka sebenarnya. Yang jelas, semuanya bermuka murung. Ada yang matanya penuh airmata, tetapi bersinar dengan garang. Kelihatan roman muka yang marah. Ya, saya pun marah. Hanya saja saya bisa menahan diri agar tidak terlalu kentara terlihat oleh umum.
Kita semua di kota Malang mendengar tentang almarhum yang diberitakan telah meninggal dunia sejak pagi hari dan sudah menyiapkan diri untuk menunggu keputusan pemakamannya di mana. Sesuai amanat almarhum, seperti sudah menjadi pengetahuan masyarakat umum, Bung Karno meminta agar dimakamkan di sebuah tempat di pinggir kali di bawah sebuah pohon yang rindang di Jawa Barat (asumsi semua orang adalah di rumah Bung Karno di Batu Tulis di Bogor).
Tetapi lain wasiat dan amanah, lain pula rezim Soeharto yang secara sepihak memutuskan jasad Bung Karno dimakamkan di Blitar dengan dalih bahwa Blitar adalah kota kelahirannya. Ini benar-benar ceroboh. Bung Karno lahir di Surabaya di daerah Paras Besar, bukan di Blitar! Bung Karno terlahir dengan nama Koesno, dan ikut orang tuanya yang jabatan ayahnya, Raden Soekemi Sosrodihardjo, adalah seorang guru yang mengajar di sebuah Sekolah di Mojokerto dan kemudian dipindah ke Blitar. Di sinilah ayah Bung Karno, meninggal dunia dan dimakamkan juga di sisinya, isterinya (yang orang Bali ) bernama Ida Ayu Nyoman Rai.
Setelah matahari tinggal sepenggalan sebelum terbenam, rombongan jenazah Bung Karno akhirnya sampai di tempat tujuan. Yang hadir didorong-dorong oleh barisan tentara angkatan darat yang berbaris dengan memaksa kumpulan manusia agar upacara dapat dilaksanakan dengan layak.
Tampak Komandan Upacara jenderal Panggabean memulai upacara dan kebetulan saya berdiri berdesak-desakan di samping Bapak Kapolri Hoegeng Iman Santosa, yang sedang sibuk berbicara dengan suara ditahan agar rendah frekuensinya tidak mengganggu suara aba-aba yang sudah diteriak-teriakkan. Saya berbisik kepada beliau, ujung paling belakang rombongan ini berada di mana? Beliau menjawab singkat di kota Wlingi. Hah?! Sebelas kilometer panjangnya iring-iringan rombongan ini sejak dari lapangan terbang Abdulrachman Saleh di Singosari, Utara kota Malang.
Pak Hoegeng yang sederhana itu kelihatan murung dan sigap melakukan tugasnya. Dia berbisik kepada saya: “There goes a very great man!!” Saya terharu mendengarnya. Apalagi ambulans (mobil jenazah) yang mengangkut Bung Karno terlalu amat sederhana bagi seorang besar seperti beliau. Saya lihat amat banyak manusia mengalir seperti aliran sungai dari pecahan rombongan pengiring. Sempat saya tanyakan, ada yang mengaku dari Madiun, dari Banyuwangi bahkan dari Bali.
Saya menuju ke arah berlawanan dengan tujuan ke rumah Bung Karno, di mana kakak kandung beliau, Ibu Wardojo tinggal. Hari sudah gelap dan perut terasa lapar karena kita tidak berhasil mendapatkan makanan atau minuman, sebab kalau pun ada warung atau penjual makanan, pasti sudah kehabisan minuman atau makanan apa pun yang bisa ditelan. Saya ingat bahwa orang Muhammadiyah tidak memberi hidangan, minum sekalipun, kepada kaum pelayat. Bung Karno adalah orang Muhammadiyah. Kota Blitar tidak siap menampung orang sekian banyak. Setelah dilakukan pemakaman jenazah Bung Karno, beberapa waktu di kemudian hari semua makam Pahlawan di Taman Pahlawan Sentul ini dipindahkan ke Mendukgerit, yang telah saya kenal sebelumnya sebagai Bendogerit.
Pemindahan ini dilaksanakan dengan alasan di lokasi pemakaman sudah penuh, tetapi pada kenyataannya kemudian ada proyek pembangunan makam Bung Karno yang memakan area cukup lebar.
Kuburannya Pun Tidak Boleh Dijenguk
Sejarah mencatat, sejak 1971 sampai 1979, makam Bung Karno tidak boleh dikunjungi umum dan dijaga sepasukan tentara. Kalau mau mengunjungi makam harus minta izin terlebih dahulu ke Komando Distrik Militer (KODIM). Apa urusannya KODIM dengan izin mengunjungi makam?
Saya bersama ibu saya dan beberapa saudara datang secara mendadak pergi ke Blitar dengan tujuan utama ziarah ke Makam Bung Karno. Tanpa ragu kita ikuti aturan dan akhirnya sampai ke pimpinannya yang paling tinggi. Saya ikut sampai di meja pemberi izin dan sudah ditentukan oleh kita bersama, bahwa salah satu saudara saya saja yang berbicara. Saya sendiri meragukan emosi saya, bisakah saya bertindak tenang terhadap isolasi kepada sebuah makam oleh Pemerintah atau rezim? Nah, ternyata meskipun tidak terlalu ramah, mereka melayani dengan muka seperti dilipat. Mungkin dengan menunjukkan muka seperti itu merasa bertambah rasa gagahnya terhadap rakyat biasa macam kami. Akhirnya semua beres dan kami mendapat sepucuk surat. Apa yang terjadi?
Sesampainya di makam kami turun dari kendaraan kami dan saya bawa surat izin dari KODIM. Surat itu kami tunjukan ke tentara yang jaga makam. Waktu tentara itu baca surat, saya terdorong untukmenoleh ke belakang. Terkejut saya. Selain rombongan sendiri, Ibu saya dan saudara-saudara, telah mengikuti kami sebanyak lebih dari tiga puluh orang, bergerombol. Mereka, orang-orang yang tidak kami kenal sama sekali, melekat secara rapat dengan rombongan kami. Saya lupa persis bagaimana, akan tetapi saya ingat kami memasuki pagar luar dan kami bisa mendekat sampai ke dinding kaca tembus pandang dan hanya memandang makamnya dari jarak, yang mungkin hanya sekitar tiga meter.
Para pengikut dadakan yang berada di belakang rombongan kami dengan muka berseri-seri, merasa beruntung dapat ikut masuk ke dalam lingkungan pagar luar itu. Ada yang bersila, memejamkan mata dan mengatupkan kedua tangannya, posisi menyembah. Saya tidak memperhatikannya, tetapi jelas dia bukan berdoa cara Islam. Mereka khusyuk sekali dan waktu kami kembali menuju ke kendaraan kami, beberapa di antara mereka menjabat tangan dan malah ada yang menciumnya, membuat saya merasa risih.
Salah seorang dari mereka ini mengatakan bahwa dia sudah dua hari bermalam di sekitar situ di udara terbuka menunggu sebuah kesempatan seperti yang telah terjadi tadi. Tanpa kata-kata, saya merasakan getar hati rakyat, rakyat Marhaen kata Bung Karno! Mereka menganggap Bung Karno bukan sekedar Proklamator, tetapi seorang Pemimpin mereka dan seorang Bapak mereka. Apapun yang disebarluaskan dan berlawanan arti dengan kepercayaan mereka itu semuanya dianggap persetan. Dalam hubungan Bung Karno dengan Rakyat, tidak ada unsur uang berbicara.
Dibunuh Perlahan
Keyakinan orang banyak bahwa Bung Karno dibunuh secara perlahan mungkin bisa dilihat dari cara pengobatan proklamator RI ini yang segalanya diatur secara ketat dan represif oleh Presiden Soeharto. Bung Karno ketika sakit ditahan di Wisma Yasso (Yasso adalah nama saudara laki-laki Dewi Soekarno) di Jl. Gatot Subroto. Penahanan ini membuatnya amat menderita lahir dan bathin. Anak-anaknya pun tidak dapat bebas mengunjunginya.
Banyak resep tim dokternya, yang dipimpin dr. Mahar Mardjono, yang tidak dapat ditukar dengan obat. Ada tumpukan resep di sebuah sudut di tempat penahanan Bung Karno. Resep-resep untuk mengambil obat di situ tidak pernah ditukarkan dengan obat. Bung Karno memang dibiarkan sakit dan mungkin dengan begitu diharapkan oleh penguasa baru tersebut agar bisa mempercepat kematiannya.
Permintaan dari tim dokter Bung Karno untuk mendatangkan alat-alat kesehatan dari Cina pun dilarang oleh Presiden Soeharto. “Bahkan untuk sekadar menebus obat dan mengobati gigi yang sakit, harus seizin dia, ” demikian Rachmawati Soekarnoputeri pernah bercerita.

Jumat, 22 Maret 2013

Depolitisasi Sepakbola


Dalam umurnya yang masih terhitung muda, 20 tahun, Giorgos Katidis terpaksa merelakan mimpinya untuk bermain untuk negaranya. Seusai satu pertandingan bersama AEK Athens, ia yang mengapteni timnas usia muda Yunani melakukan kesalahan fatal: melakukan perayaan dengan mengangkat tangan kanannya ke arah suporter, seakan memberikan salut yang acap kali diperlihatkan Adolf Hitler saat memimpin Nazi.

Federasi sepakbola Yunani pun mau tak mau harus menghukumnya. Katidis kemudian dilarang bertanding membela timnas selamanya. Tingkah lakunya dianggap tak sensitif, melukai perasaan banyak korban Nazi, dan tak sesuai dengan "semangat" dan "karakter" permainan sepakbola.

Apalagi di waktu yang sama ada peringatan 70 tahun terdeportasinya ribuan kaum Yahudi di Yunani ke camp konsentrasi Nazi. Lengkap sudah alasan untuk memberikan hukuman seberat-beratnya pada Katidis. Sepakbola, katanya, bukan panggung untuk memberikan pesan-pesan politis apapun. Apalagi jika pesan itu merepresentasikan pihak yang melakukan pembantaian terhadap puluhan ribu kaum Yahudi di Eropa.

Berbagai pembelaan kemudian diberikan baik oleh Katidis dan klubnya. Pledoi pertama adalah Katidis tidak melakukan 'salut', melainkan hanya menunjuk salah satu temannya saja yang berada di tribun.

Sementara pembelaan kedua adalah ia tidak mengetahui arti salam tersebut. "Saya bukan fasis, atau rasis, atau neo-Nazi. Seluruh keluarga saya berasal dari Laut Hitam dan berkali-kali mengalami penderitaan karena tindakan rasisme," ujar Katidis.

"Jika saya tahu artinya, saya tak akan melakukannya," tambahnya melalui akun twitter pribadinya.

Pembelaan ini di-iya-kan oleh pelatih AEK Athens, Ewald Lienen. "Katidis tak tahu apa-apa soal politik. Paling-paling ia melihat salut itu dari internet, atau sumber lainnya, dan menirunya tanpa tahu apa maknanya,"katanya.

Lienen, yang terkenal karena reputasinya condong ke golongan kiri, pun mengatakan ia tidak akan mau memasukkan nama Katidis lagi ke dalam tim jika ia tahu Katidis benar-benar melakukan salam ala Nazi tersebut dengan tujuan tertentu.

Katidis sendiri bukan pemain pertama yang coba menyangkal afiliasi politik yang diasosiasikan padanya.

Tentu masih segar diingatan para penggemar Serie A bagaimana seorang Gianluigi Buffon menolak untuk diasosiasikan sebagai fasis pada September 2000. Label fasis kala itu ditujukan padanya karena ia sempat menggunakan kaos bernomor punggung 88. Oleh banyak orang, terutama kaum Yahudi di Italia, angka itu bisa diartikan sebagai "Heil Hitler" (huruf ke-8 daftar alfabet Latin adalah 'H', sehingga 88 dibaca 'HH').

Seperti halnya Katidis, Buffon juga melakukan pembelaan melalui media. Menurutnya angka 88 dipilih bukan karena kesetiaannya pada Mussolini, namun karena 88 berarti memiliki 4 bola (ball), sehingga bisa diartikan punya banyak keberanian. Dan, seperti halnya Katidis, Buffon juga mengaku tidak mengetahui makna sebenarnya yang tersembunyi di balik angka 88 itu.

Terlepas dari kebenaran (atau ketidakbenaran) dari pengakuan Katidis dan Buffon, pengakuan secara terang-terangan seorang pemain akan afiliasi politik pribadinya memang sudah sangat jarang ditemukan di lapangan hijau. Jangankan untuk mengakui keberpihakan ke satu golongan tertentu, untuk mendukung satu gerakan kebebasan berbicara, atau ide lainnya pun tampak sulit untuk dilakukan.

Salomon Kalou adalah salah satu contohnya. Pada Januari 2009 Kalou merayakan dua golnya untuk Chelsea ke gawang Middlesborouh dengan menyilangkan kedua tangannya. Banyak orang mengartikan gerakan ini sebagai lambang protes pemborgolan Antoine Assale Tiemoko, seorang penulis yang dipenjara karena menggoreskan cerita tentang ketidakadilan di Pantai Gading.
FA pun kemudian meluncurkan investigasi akan hal ini. Jika selebrasi Kalou terbukti sebagai dukungan terhadap Tiemoko, maka dapat dipastikan Kalou akan menerima sanksi dan hukuman larangan bermain. Dapat diduga, seperti Buffon dan Katidis, Kalou pun menolak anggapan bahwa perayaan golnya ditujukan untuk Tiemoko.

Para pesepakbola, terutama yang bermain di Eropa, kehilangan 'suara pribadi'-nya di lapangan hijau bukanlah hal baru lagi. Dalam 10 tahun terakhir saja, mereka-mereka yang berani berpolitik di lapangan hijau bisa dihitung dengan sebelah tangan: Paolo Di Canio dan Christian Abbiati yang menyatakan dirinya sebagai fasis, sementara Cristiano Lucarelli mengaku sebagai komunis.

Di antara mereka, pesepakbola yang paling lantang bersuara sebenarnya datang dari Spanyol. Di saat Di Canio atau Abbiati menunjukkan afiliasi politiknya dengan gimmick-gimmick seperti selebrasi gol atau membawa bendera khas Commandos Tigre (ultras sayap kanan AC Milan), Oleguer Presas melakukannya lebih jauh lagi.

Oleguer bermain untuk Barcelona B antara 2001 sampai 2003. Tahun 2004, dia mendapat promosi bermain di tim utama Barcelona sampai 2008. Sebagai seorang sarjana ekonomi, bek sayap kanan itu sering kali menuangkan keberpihakannya terhadap kemerdekaan Catalan dalam jurnal-jurnal sosialis. Ia pun menerbitkan buku "The Road to Ithaca" yang bercerita tentang Spanyol di era Jendral Franco, dan bercerita tentang perang akan teror, juga kenangan-kenangannya di masa kecil, juga kariernya di masa muda.

Puncaknya saat ia menulis sebuah artikel dalam bahasa Basque di suratkabar Berria pada 7 Februari 2007. Dalam artikelnya itu dia menggugat independensi sistem hukum di Spanyol, terutama terkait penahanan dan penghukuman Jose Ignacio de Juana Chaos, seorang aktivis ETA [organisasi perlawanan yang menginginkan pembebasan Basque].

Sikap ini harus Oleguer bayar mahal. Ia diserang oleh media, sesama pemain lainnya, dan ditinggalkan sponsor karena dianggap mendukung pemberontak ETA Ignacio De Juana. Saat Barcelona mengunjungi Valencia, setiap langkah dan gerakan Oleguer pun disambut dengan cemoohan dan hujatan. Pelatih Barcelona saat itu, Frank Rijkard, dan presiden klub saat itu, Joao Laporta, menyerang pilihan Oleguer untuk menulis artikel tersebut -- sebuah tindakan yang akhirnya memperjelas indikasi betapa Barcelona memang tak lagi merepresentasikan spirit perlawanan bangsa Catalan terhadap Spanyol.

Jika ada benang merah antara kasus Kalou, Buffon, atau Oleguer, maka salah satunya adalah sanksi. FIFA secara terang-terangan melarang keberadaan pesan-pesan politik, agamis, maupun komersial dalam lapangan hijau dan tak segan-segan untuk menghukum siapapun yang melanggarnya.

Striker Sevilla, Frederic Kanoute, misalnya. Ia pernah membayar denda sebesar 4 ribu dolar saat ia menunjukkan dukungannya terhadap Palestina dengan menggunakan media kaos bertuliskan "Palestina" di balik jersey bolanya. Nicolas Bendtner pun harus merogoh kocek membayar denda, setelah memperlihatkan tulisan "Paddy Power" di pakaian dalamnya.


Dibandingkan dengan tingginya rate gaji pemain, denda ini tentu terasa tak seberapa dan dengan mudah bisa mereka bayar. Tapi, adanya larangan bertanding setidaknya cukup efektif untuk meredam pemain yang ingin menggunakan sepak bola sebagai alat politik kepentingan tertentu.

Tindakan FIFA ini didasari oleh keinginan agar sepakbola (semakin) diterima sebagai permainan global di seluruh dunia. Netralitas pun akhirnya digunakan sebagai tameng untuk mengatasi batasan-batasan politis. FIFA memiliki 200 negara sebagai anggotanya dan masing-masing memiliki isu politik dan sosial tersendiri; hari bersejarah, persaingan dengan negara tetangga, serta simbol politis masing-masing.

Netralitas akhirnya dijadikan alasan oleh FIFA untuk mereduksi kemungkinan adanya friksi yang mungkin timbul antarnegara atau golongan. Untuk mengajak sebanyak mungkin orang untuk terlibat dalam sepakbola.

Boleh saja punya afiliasi politik, tapi selama 90 menit mereka tidak boleh menunjukkannya di lapangan hijau. Selama 90 menit cukuplah 22 orang dan satu bola yang berada di lapangan. Selama 90 menit cukuplah para suporter yang datang ke stadion melupakan identitas diri mereka sejenak dan merasa terhibur oleh keindahan permainan.

Bebas dari Politik?

Bisa dikatakan, untuk mengasumsikan sepakbola lepas dari politik itu sendiri adalah suatu kenaifan tersendiri. Mulai dari pemilihan sponsorship hingga pemilihan bentuk liga beserta tetek-bengeknya sesungguhnya adalah satu sikap politik tersendiri.

Pada akhirnya slogan "Kick Politic Out of Football", dan menjadikan lapangan tempat yang netral, pun terdengar sebagai satu pernyataan politis tersendiri: keberpihakan pada sponsor. Bedanya pesan ini disampaikan secara halus, perlahan, dan tanpa mengundang perhatian banyak orang.

Sebagai contoh lihat saja penyelenggaraan English Premier League. Salah satu liga terbaik di dunia ini memilih sistem kapitalis murni sebagai bentuk penyelenggaraan liga -- dan itu jelas sebuah pilihan dan tindakan politik. EPL adalah representasi satu sistem ekonomi pasar bebas yang telah dijalankan selama lebih 20 tahun. Bagaimana piramida sistem kapitalis, segelintir yang berada di puncak menguasai kue paling banyak dan yang berada di lapisan paling bawah saling menginjak-injak, benar-benar terwujud dan terlihat dengan jelas (lihat tulisan: "Premier League Sebagai Frankenstein").

Bandingkan dengan NFL (National Football League) di Amerika yang beraromakan sosialis, di mana tim-tim akan membagi keuntungan tiket, lisensi, dan hak siar televisi secara merata. Tentu pemilihan bentuk liga ini adalah satu keputusan politik tersendiri.

Atau, lihatlah kedekatan antara FIFA, Spanyol, dan penyelenggara Piala Dunia 2022, Qatar. Atau bagaimana Vladimir Putin langsung memberikan "arahan" saat Rusia melakukan bidding sebagai tuang rumah PD 2016. Semua adalah tindakan dengan motif politis tertentu, namun masih dalam koridor "netralitas" karena tidak ditampilkan terang-terangan dalam 90 menit permainan.

Untuk konteks industrialisasi sepakbola, jargon "kick politic out of football" adalah sebuah pernyataan politik yang dikemas melalui gimmick.

Itu tak lain sebentuk depolitisasi para pemain dan suporter sepakbola. Ini mengingatkan saya pada konsep "massa mengambang" ala Ali Moertopo di era Orde Baru. Dengan depolitisasi melalui konsep "massa mengambang" itu, Orde Baru memaksa rakyat untuk menjauh dari politik, mengharamkan rakyat berpolitik, tapi dijaring suaranya justru saat Pemilu.

Sukar untuk tidak mengatakan hal serupa terjadi dalam sepakbola. "Kick politic out of football" adalah konsep "massa mengambang" ala sepakbola. Melalui jargon "kick politic out of football", pemain dan fans dijauhkan dari politik tapi dieksploitasi untuk sponsor [baca: kapitalisme dan pasar bebas].

Di satu sisi, netralitas memang dibutuhkan untuk melindungi mereka yang termarjinalkan dari pesan-pesan rasisme atau bigotry.Tapi di sisi satunya, sulit untuk tidak bersikap sinis dan beranggapan bahwa sepakbola yang netral dibutuhkan hanya untuk menarik lebih banyak massa demi kepentingan komersial. Bagaimanapun juga, satu "produk" yang tak menyinggung banyak orang akan lebih mudah untuk dijual.

Untuk itu, para pemain sebagai aktor utama yang mengiklankan sepakbola sebagai produk pun tak penting-penting amat untuk punya afiliasi politik. Mereka cukup bermain dengan indah selama 90 menit, bersikap fair-play terhadap lawan, tersenyum pada kamera, dan tak berulah di luar lapangan. Sebagai idola banyak orang dan bukan segelintir golongan, untuk memiliki pikiran dan sikap tertentu, seberapapun benar atau salahnya sikap itu, adalah satu kesalahan fatal dan tak terampuni.

Maka jangan heran jika di usianya yang masih 20 tahun Giorgios Katidis menemukan dirinya tak bisa lagi membela negaranya. Pemain yang menyampaikan suatu pesan politik, entah itu disengaja atau tidak, tak boleh lagi mendapatkan tempat di lapangan.

Betapa politisnya konsep "kick politic out of football", bukan?

Rabu, 20 Maret 2013

Manchester United & Real Madrid Ajarkan Serunya Bermain Sepakbola


Salah satu pertandingan terbaik yang pernah gw lihat. Yup, mereka sebagai pendukung netral pun tak ubahnya salah seorang dari fans die hard United ataupun die hard Madridista saat menyaksikan match luar biasa kali ini.

Sesuai dengan dugaan, Ferguson terbukti menunjukkan kelas nya sebagai salah satu pelatih terbaik di dunia. Taktiknya untuk bermain sedikit bertahan dan bermain lebih dalam dengan 5 gelandang, serta mengandalkan counter attack terhitung sukses. Jujur, hanya kartu merah Nani sajalah yang membuyarkan skenario brillian dari Ferguson. Jika Nani tidak mendapatkan kartu merah tersebut, mungkin Ryan Giggs tidak akan bermain selama 90 menit dan otomatis Wayne Rooney atau mungkin Shinji Kagawa bisa bermain dan dapat mengambil peran yang sesuai dengan scenario yang tertulis dalam catatan Ferguson. How lucky you are Giggsy.

Yes, its Ryan Giggs 1000th games. And he is the starter for this massive game. Dimainkan nya Ryan Giggs begitu mengejutkan banyak pihak. Belum lagi ada anggapan kalau opa Fergie mungkin terlalu sering mendengar lagu “dilema” dari Cherrybelle hingga akhirnya ia menetapkan keputusannya tersebut dan lebih memilih mencadangkan Wayne Rooney dengan 1 gol dan 2 assistnya minggu lalu.

Meski banyak yang mempertanyakan keputusannya, strategi Fergie terbilang sangat sukses dalam meredam keganasan para pemain Madrid di babak pertama. Begitu rapatnya lini tengah dan belakang United hingga tidak bisa ditembus para pemain Madrid. Bahkan counter attack United melalui Nani dan Welbeck saja lah yang menjadi daya tarik bagi saya pribadi di babak pertama. Ferguson yang begitu rasional dan “tau diri” memanfaatkan kubu Madrid yang memang begitu gencar menyerang dan lalu menginstruksikan para gelandang United untuk mengekspos lubang yang besar di lini tengah Madrid. High defensive line yang diterapkan Mourinho pun tak bisa dibilang berhasil. Hanya tiang gawang dan kepiawaian Diego Lopez saja lah yang mencegah Vidic dan Welbeck untuk menceploskan bola ke dalam gawang.

Dituntut nya Ryan Giggs untuk membantu Rafael dalam menutup ruang gerak dari Cristiano Ronaldo dan Fabio Coentrao pun terbilang cukup baik dan berhasil di babak pertama dan awal babak kedua. Gol bunuh diri Sergio Ramos sajalah yang menjadi hadiah untuk Ferguson dan pasukannya. Tapi saat Nani memutuskan mengangkat kaki nya dalam perebutan bola dengan Arbeloa, secara tidak langsung dia pun sudah mengubah arah jalannya pertandingan. Cuneyt Cakir sepertinya memang tidak menonton pertandingan final piala dunia 2010 antara Spanyol melawan Belanda. You know why.

Pemain Real Madrid pun tidak melepaskan keunggulan dalam jumlah pemain mereka dan langsung menggebrak pertahanan United. Apalagi saat dimasukkan nya Luca Modric di menit ke 60 yang sontak saja membawa perubahan besar. Serbuan bertubi tubi pemain Madrid pun berbuah gol di menit ke 66 saat Luca Modric sukses mengajak tiang gawang untuk menjadi sekutunya dalam urusan mencetak gol. Gol tersebut lah yang sepertinya menghapus peluang United di Champions League tahun ini.

Skor 1-1 pun tidak cukup saat kembali Ozil memperlihatkan kelas nya sebagai one of the best mildfield in this world. Lihat saja bagaimana trick back heel nya mampu memperdayai para pemain bertahan United sebelum Higuain dengan mudahnya mengirim umpan datar menyilang kepada Ronaldo yang sukses lepas dari penjagaan Rafael Da Silva. He successfully scores against Manchster United in Old Trafford. Meski bermain tidak terlalu istimewa pada match ini, tetapi terlihat betul bagaimana Ronaldo bisa menjadi pembeda dari kedua tim ini. Lihat bagaimana 3 pemain United yang langsung berkerumun saat Ronaldo mendapat bola. They face the monster that they created.

United yang membutuhkan 2 gol lagi untuk lolos ke 8 besar pun sepertinya sudah tidak berdaya, ditambah dengan jumlah pemain yang hanya 10 orang. Dimasukkan nya Wayne Rooney dan Antonio Valencia pun seakan tanpa arti.

But wait, this is Manchester United. Sesaat setelah Madrid memilih untuk bermain aman dan bertahan, United really show their class. Semangat pantang menyerah dan peluang emas yang tercipta melalui RVP dan Nemanja Vidic lah yang membuktikkan hal tersebut. Mourinho harus nya bersyukur karena jika Casillas yang berdiri di sana dan bukannya Diego Lopez, mungkin jalan cerita akan sangat berbeda.

Semangat dan mental para pemain United patut diacungi jempol dan semakin membuat saya iri. Kapan Arsenal bisa bermain seperti itu? Terlepas dari segala kontroversi kartu merah Nani, menurut saya para fans United patut lah berbesar hati. Bersyukurlah kalian karena United memberi kalian harapan Munich 1999 pada seperempat terakhir pertandingan. For me personally, I think it might happens. But thanks God its not.

And lastly, Mourinho berkata kalau tim terbaik malam ini kalah. Yes, I agree with him. Manchester United mengajarkan kita betapa penting nya kekuatan mental dan semangat pantang menyerah dalam match kali ini. Dan jika boleh jujur, menurut saja skor yang layak untuk match kali ini adalah 2-2. Credit for both teams and for Mourinho to admit the facts that United play better than his team.

Adakah pertandingan yang lebih adil dari pertandingan ini? Adilkah saat De gea bermain gemilang di leg pertanma, dan kini Diego Lopez tidak mau kalah dari juniornya tersebut di leg kedua? Adilkah jika Madrid dn United sama sama bermain lebih baik di kandang masing masing? Adilkah kartu merah yang disematkan untuk Nani setelah tindakan tidak sengaja nya tersebut? Adilkah saat Mourinho mengakui kehebatan seniornya Sir Alex Ferguson dalam pertandingan tadi pagi? Adilkah jika Ronaldo mendapatkan kado terindah saat dia harus pulang ke Old Trafford sebagai tamu setelah apa yang ia persembahkan untuk United selama ini?

Jawab sendiri pertanyaan tersebut dengan hak kebebasan bersuara yang kalian miliki. Tapi sebagai penonton netral pagi tadi, saya dengan lantang akan menyatakan kalau saya sungguh puas dan terhibur melalui pertandingan tadi.

Pertarungan sarat emosi , kontroversi, dan strategi dari kedua belah pihak memang sungguh menegaskan kalau football is the greatest games of all.


Glory - Glory Man. United

Kelas Itu Permanen


Mereka bilang form is temporary, class is permanent. Jika form buruk bisa dikritik dan form seadanya bisa diperdebatkan, maka kelas, seperti apa pun bentuknya, memang demikianlah adanya.

Dan pada kelas seperti itulah, seperti yang mereka miliki saat ini, Manchester United dan Liverpool berada. Ketika kedua tim tersebut bertemu akhir pekan lalu, Minggu (13/1/2013), ada kelakar yang beredar: United, si pemuncak klasemen, akan menjamu Liverpool, yang bahkan untuk masuk ke empat besar saja sulit. Bagaimana mungkin itu disebut sebuah big match?

Tapi, kelakar ada untuk tidak terlalu diseriusi--meski kadang menyentil. Namanya juga kelakar. Di mana pun posisi Liverpool berada saat ini, tetap tidak mengubah fakta bahwa pertemuan kedua klub adalah pertemuan di antara kedua klub tersukses di Inggris. United dan Liverpool punya jalan panjang dalam catatan sejarah dan oleh karena catatan panjang itu, mereka punya kelas tersendiri.

Melulu membicarakan sejarah atau menengok ke masa lalu memang tidak menyenangkan. Tapi, tanpa sejarah dan catatan panjang di masa lalu kelas itu tidak akan tercipta. Tanpa sejarah, Liverpool yang tengah terdampar di papan tengah tidak akan ada bedanya dengan tim papan tengah lainnya. Mereka akan dicap sebagai tim papan tengah biasa, alih-alih tim raksasa yang tengah tertidur. Sejarah telah menciptakan kelas dan kelas menjadi identitas.

Para pendukung Liverpool kerap dicibir jika membela diri dengan membanggakan sejarah klubnya. Tapi, itu tidak mengubah fakta bahwa sejarah klub asal kota pelabuhan itu memang membanggakan.

Manchester City boleh bersenang hati atas pencapaian juara Premier League musim lalu, Chelsea juga boleh memamerkan status mereka sebagai juara Eropa, lalu mengapa Liverpool tidak bisa membanggakan capaian 18 gelar juara Liga Inggris dan 5 gelar Liga/Piala Champions? Toh, jika dipandang dalam sudut pandang masa kini, semua kebanggaan itu sama-sama sudah berbentuk masa lalu.

Liverpool yang sekarang adalah gambaran jelas perumpamaan yang tertulis di awal tulisan ini. Performa yang mereka tunjukkan dalam beberapa musim terakhir bisa jadi adalah sebuah kesementaraan. Sayangnya, kesementaraan itu terlalu lama. Ada musim di mana The Reds tampak menjanjikan, namun ujung-ujungnya gagal juga menjadi juara di liga. Entah apa yang sesungguhnya salah dengan Liverpool. Pertanyaan itu akan terus berulang tiap kali mereka menjalani musim yang tidak impresif, dan saking berulangnya menjadi sebuah enigma tersendiri, sebuah teka-teki.

Liverpool bisa jadi salah asuhan. Entah dalam hal manajemen di belakang layar ataupun kebijakan transfer pemain. Baru-baru ini Bleacher Report memuat sebuah tulisan yang menggambarkan banyak transfer Liverpool yang tidak berhasil dalam satu dekade terakhir. Pemain-pemain kerap dibeli melebihi nilainya hanya untuk bertahan satu atau dua musim, dan ini tidak hanya terjadi satu atau dua kali saja.

United, di sisi lain, justru berjalan sebaliknya. Penciptaan sejarah dan kelas itu, bagi mereka, mulai tertulis ketika Matt Busby datang. United kemudian sempat meredup, hingga akhirnya datang Alex Ferguson menuliskan ulang apa yang pernah dibuat oleh Busby. Ferguson tahu apa yang ingin dibuat dan dibangunnya. Sejak awal datang ke Old Trafford, ia sudah memulai pencarian akan sebuah bentuk tim yang solid, dan kalau perlu bertahan lama.

Ferguson-lah yang meletakkan dasar kebesaran United di era 90-an sampai bisa seperti sekarang. Ferguson adalah United dan begitu sebaliknya. Dia harus menunggu lama untuk bisa merasakan trofi juara liga pertamanya, tapi setelahnya semua seperti tidak terhentikan. Ferguson butuh Eric Cantona untuk melengkapi skuatnya dulu, sama seperti butuhnya dia akan Robin van Persie sekarang. Tak heran kalau keduanya disebut Ferguson sebagai kepingan puzzle terakhir yang dicari-carinya.

Atas nama kebesaran dan kelas itu jugalah laga antara United dan Liverpool selalu punya tensi. Mereka adalah rival. Klaim sebagai kebanggaan Inggris atau klub terbaik di Inggris kerap didengungkan sampai hari ini. Tema akan kebanggaan diri ini bahkan sampai diangkat sebagai pesan oleh Chevrolet dalam iklan terbaru mereka yang dibuat jelang pertemuan kedua klub.

Dalam iklan tersebut, wajah beberapa penggawa United dan Liverpool digambarkan bersebelahan sembari mengucapkan kalimat yang sama, kalimat yang berisikan kehebatan klub masing-masing, proses terbentuknya klub selama lebih dari 100 tahun, sejarah yang dimiliki selama rentang waktu itu, hingga klaim klub terbaik dan dukungan fanatik dari para suporter. Ryan Giggs, Joe Allen, Rio Ferdinand, Jordan Henderson, Paul Scholes, hingga Glen Johnson dan Robin van Persie mengucapkan hal-hal itu. Siapa sangka, sejarah yang kerap dicibir itu laku jadi bahan jualan.

Menoleh ke belakang pun, United punya hubungan yang bisa dibilang erat dan unik dengan Liverpool. Menurut Kenny Dalglish, Ferguson adalah salah seorang pertama yang menawarkan bantuan ketika tragedi Hillsborough terjadi. Lebih jauh lagi, pada Februari 1910, Liverpool jugalah yang menjadi lawan pertama mereka pada pembukaan Old Trafford. Presiden John Henry Davies sendiri yang mengundang Liverpool. Pada laga itu, Sandy Turnbull mencetak gol pertama untuk United, tapi Liverpool menang 4-3.

Percayalah, di mana pun posisi Liverpool di klasemen, mereka akan tetap menjadi rival United. Pertemuan keduanya akan tetap menjadi laga besar tersendiri.



----

*Foto: Undangan Manchester United kepada Liverpool untuk menjadi lawan pada pembukaan stadion anyar mereka, Old Trafford. (Manchester United The Official History: 1872-2002)


Glory - Glory Man. United

Selasa, 19 Maret 2013

Sepakbola Tidak Pulang Ke Rumahnya


"Football Come Home" kata Inggris ketika mereka menghelat Piala Eropa pada 1996 silam. Jika mengiyakan dan mengangguk setuju pada slogan tersebut, maka bisa dikatakan sepakbola tidak pulang ke rumahnya musim ini.

Satu bulan penuh kegembiraan, demikian salah satu kalimat dalam artikel di BBC menggambarkan keriuhan perhelatan Piala Eropa 17 tahun lalu itu. Inggris yang menyebut diri mereka sebagai penemu dan ibu dari sepakbola dengan berani menyematkan slogan tersebut. Padahal tidak ada trofi pernah mampir ke tangan mereka lagi setelah Piala Dunia 1966 --yang juga dihelat di rumah sendiri.

Alan Shearer menggambarkan Piala Eropa 1996 sebagai turnamen terbaik yang pernah ia jalani dalam delapan tahun karier internasionalnya. Atmosfernya menakjubkan, demikian dia bilang. Kendati pun Inggris gagal jadi juara, Shearer mengungkapkan betapa bersenang-senangnya (publik) Inggris sepanjang tim nasional mereka melaju.

The Three Lions hanya melaju sampai semifinal dan dihentikan hantu yang sudah lama menunggui mereka: adu penalti. Mereka tidak (atau belum) pernah lagi melaju sampai atau lebih jauh dari itu di turnamen-turnamen internasional berikutnya.

Ada teori beragam mengapa Inggris yang mengaku-ngaku sebagai ibunya sepakbola itu selalu keteteran di turnamen internasional. Salah satu teori yang beredar di medio 90-an adalah tiadanya pemain-pemain Inggris yang berani bermain di luar negaranya sehingga membuat Paul Gascoigne dan Paul Ince seperti barang langka. Ada juga yang melontarkan pendapat pemain-pemain Inggris tidak cukup bagus. Sementara, teori lain mengatakan bahwa taktik dan strategi Inggris sudah kelewat usang. Mereka pun tidak mampu bersaing dengan tim-tim Eropa daratan.

Teori yang terakhir itu bahkan menjalar ke level klub. Ambil contoh Manchester United, sebagai klub Inggris yang paling jauh melangkah di kompetisi antarklub Eropa pada zaman itu. United boleh begitu dominan di kancah domestik, tapi begitu bertemu Juventus yang bermaterikan Zinedine Zidane, Vladimir Jugovic, Didier Deschamps, hingga Alessandro Del Piero dan Alen Boksic bakal lain ceritanya. United boleh jadi raja di Inggris, tapi beda ceritanya ketika bertemu Borussia Dortmund yang berisikan Matthias Sammer, Andy Moeller, Paulo Sousa hingga Stephane Chapuisat dan Karl-Heinz Riedle. Pernah dalam suatu wawancara, Alex Ferguson yang belum bergelar Sir, menyebut bahwa Liga Champions adalah gunung yang begitu tinggi untuk didaki.

Inggris kaku dan mati terhadap sepakbola interkontinental. Hal ini bak menegaskan sifat dan asal-usul mereka yang kolot dan naif dalam memainkan sepakbola. Bukan rahasia apabila gaya lama kick and rush kerap kerepotan ketika harus bertemu tim-tim raksasa lainnya di Eropa. Kendati Inggris 1966 adalah pengcualian.

Ketika tak ada satu pun klub Inggris yang lolos ke babak perempatfinal Liga Champions musim ini, bayang-bayang mengenai kenaifan dan kekolotan itu muncul lagi. Jangan-jangan sepakbola Inggris mundur lagi? Bisakah demikian? Yang jelas, Arsene Wenger sudah menyebutnya sebagai alarm tanda bahaya.

Mungkin klub-klub Inggris tidak sekolot itu. Toh, mereka sudah tidak main kick and rush yang asal tendang jauh-jauh dan lari sekencang-kencangnya. Tapi naif, bisa jadi iya. Soal yang satu ini Manchester City bisa jadi penggambaran. City, si juara liga yang tergabung satu grup bersama juara liga lainnya, tidak mampu lolos dan bahkan jadi juru kunci. Okelah, ketika mereka harus kerepotan kala berjumpa Real Madrid dan Dortmund, namun bagaimana dengan Ajax Amsterdam?

Ajax adalah mantan juara Eropa yang kini tengah membangun diri dari kepingan masa lalunya. Meski untuk berdiri mereka harus susah-payah dan menerima nasib sebagai feeder club untuk raksasa-raksasa lainnya. City, yang diisi oleh pemain-pemain istimewa (saya jelas tidak bisa bilang David Silva, Carlos Tevez, Sergio Aguero, dan Yaya Toure biasa-biasa saja), tidak satu kali pun bisa menundukkan Ajax.

Ketika para pendukung Ajax menyebut laga melawan City sebagai perlawanan terhadap sepakbola modern, saya menyebutnya sebagai laga antara tim yang dibangun berdasarkan kemampuan individu pemainnya melawan tim yang taktik sepakbolanya sudah mengakar kuat. City, mungkin dengan naifnya, berpikir bahwa untuk menguasai sepakbola Eropa beli saja pemain-pemain terbaik. Pasang taktik bagaimanapun tidak masalah. Tapi, teori itu terbukti salah di hadapan Ajax.

Roberto Mancini dengan teledornya memasang tiga orang bek pada pertemuan di Amsterdam ArenA. Padahal, Ajax adalah tim yang sedari level junior sudah memakemkan dan memaku gaya pada formasi 4-3-3. Ya, dengan tiga orang penyerang.

City menanggung akibatnya. Mereka takluk 1-3 di pertandingan itu. Taktik tiga bek tersebut dikritisi oleh Micah Richards, sementara Mancini mengakui kesalahannya dalam memasang formasi. Pada kesempatan lain di kompetisi domestik, Mancini biasa mengubah formasi tiga bek menjadi empat bek di tengah laga. Namun, tidak pada laga melawan Ajax itu. Dia pun mendapatkan pelajarannya.

Yang juga setali tiga uang dalam soal kenaifan itu adalah rival sekota City, United. Bukan rahasia apabila United, selepas 2009, kerap repot ketika harus bertemu dengan tim-tim dengan taktik mumpuni dan disesaki pemain dengan teknik bagus. Final Liga Champions 2011 bisa dikatakan demikian. Dan itu terjadi lagi ketika mereka bersua Real Madrid di perempatfinal musim ini.

United bingung ketika harus menjaga yang mana di antara salah satu nama berikut ini: Mesut Oezil, Cristiano Ronaldo, Angel Di Maria, Sami Khedira, Xabi Alonso, hingga Karim Benzema. Di Santiago Bernabeu, hanya Benzema yang relatif mati, sementara yang lainnya bebas bergerak bertukar posisi. Hanya saja, mereka sukses mencuri hasil 1-1 pada laga tersebut.

Di Old Trafford, satu kartu merah Nani membuyarkan segalanya. Tapi, benarkah demikian? Setelah kartu merah Nani, United yang sudah unggul 1-0 itu memang lebih banyak bertahan, mengumpulkan diri mereka di depan boks penalti. Hanya saja, mereka naif ketika tidak menyadari ada cara lain untuk membobol tembok di depan boks itu: tendangan jarak jauh. Cara ini kemudian dilakukan dengan apik oleh Luka Modric. Melihat gol Modric, saya pun teringat gol Lionel Messi dan David Villa di final Liga Champions 2011.

Satu gol itu bak meruntuhkan mental United. Mereka pun kebobolan satu gol lagi lewat Cristiano Ronaldo dan akhirnya tersingkir. Jika pertandingan itu berjalan 11 lawan 11 bisa jadi ceritanya lain, namun United sendiri kebobolan gol yang mungkin bisa terjadi ketika laga berjalan 11 lawan 11. "mungkin"?

Chelsea dan Arsenal tidak jauh berbeda. The Blues kerepotan ketika bertemu Juventus di fase grup, sementara The Gunners tidak mampu berbuat banyak di hadapan Bayern Munich --meski usaha mereka mengejar pada leg II di Allianz Arena patut diapresiasi. Namun, seperti yang dikatakan Wenger, mereka harus membayar mahal permainan mereka di leg pertama.

Alhasil, ketika babak perempatfinal diundi di Nyon pekan lalu, yang ada hanyalah tiga tim Spanyol, dua tim Jerman, satu tim Italia, satu tim Prancis, dan satu tim Turki. Padahal, final akan diadakan di London, di Wembley, rumah dari mereka yang mengaku sebagai asal-usulnya sepakbola. Getir.

Ada pesta di rumahmu, tapi kamu sendiri tidak diundang.

Senin, 18 Maret 2013

Ada Apa Dengan Cinta ( Sepakbola Indonesia )


Cinta sejatinya adalah unsur yang paling kuat di alam semesta ini. Dia setara bahkan lebih kuat dibandingkan dengan hukum ketertarikan. Cinta itu adalah unsur ilahiah, ketuhanan. Di dalam agama saya, Islam, kami mengenal Allah itu Maha Pengasih dan Maha Penyayang (ar Rahman ar Rahim), sebuah kalimat cinta yang memulai semua surat di dalam kitab suci kami, Al Quran.

Cinta adalah kekuatan yang bisa menghilangkan kebencian. Cinta juga adalah kekuatan yang bisa mengikatkan dua orang yang berbeda. Bagi saya, cinta adalah sebuah kekuatan yang harus dimiliki untuk membangun pondasi peradaban menjadi lebih baik.

Kita semua melihat dan mengetahui, kebencian hanya akan mengantar siapapun kepada kehancuran. Lihatlah Nero yang membakar Roma, atau ingatlah pada Hitler yang memenuhi tangannya dengan darah Eropa. Tidak ada satupun peradaban di dunia ini yang dapat bertahan jika dibangun dengan nilai dan pondasi kebencian. Saya yakin betul itu.

Sepakbola di negeri kami -- Indonesia --, sepertinya hampir kehilangan rasa cinta pasca gerakan perubahan di tahun 2011. Sangat sulit hari ini saya mencerna rangkaian dan untaian kata yang meluncur dari insan sepakbola kita (terutama dari sebuah kelompok yang mengaku sebagai penyelamat), yang berisi kalimat dan kata cinta. Saya lebih sering menemukan kebencian, arogansi, caci maki, keinginan menjatuhkan dan hawa kental haus kekuasaan.

Mengapa begitu sulit menemukan makna cinta di sepakbola kami? Bukankah sepakbola mestinya membawa dan memberikan kegembiraan, kebahagiaan. Mengapa hari ini sepakbola kami lebih layak ditangisi (atau malah mungkin tidak layak).

Ada apa dengan cinta (sepakbola Indonesia)?

Sepakbola kami sudah lebih dari satu dasawarsa berada di dalam cengkraman segemoni politik. Sepakbola kami disusun menjadi bagian dari sebuah struktur politik, dalam sebuah kepentingan politik dan dibesarkan di dalam iklim politisasi. Tidak ada ideologi cinta dalam politik yang kami kenal di negara kami ini. Politik negeri kami hanya mengenal ideologi kepentingan, ideologi kekuasaan. Oleh karenanya tidak mengherankan apabila kami hampir tidak menemukan lagi saripati cinta di sepakbola kami.

Lihatlah bagaimana pendekatan dan cara politik digunakan untuk membangun sebuah kekuatan tawar-menawar di dalam sepakbola kami. Himpun kekuatan, minta back-up sana sini, bila perlu kendalikan media untuk membangun dan menguatkan isu dan opini, beri sentuhan dengan melibatkan unsur parlemen dan penguasa negeri kami. Komplet sudah sepakbola kami dipenjara atas nama politik. Hancurkan dari dalam dengan membuat intrik, panaskan suhu dengan memelihara kebencian antarsuporter. Bila perlu, lakukan cara politik ‘belah bambu’.

Ada apa dengan cinta (sepakbola Indonesia)?

Atas nama apakah kalian mengatakan saudara kalian sebagai saudara yang 'haram' di dalam sepakbola kami? Pasti bukan atas nama cinta. Karena Cinta akan mengajarkan kepada kita tentang pentingnya menghargai dan pentingnya memberi ruang. Begitu sulitkah memberi tempat kepada klub yang telah memilih berjuang di masa awal pergerakan perubahan ini? Apakah karena mereka telah menggangu kepentingan kalian sehingga begitu bencinya kalian kepada mereka?

Lalu mengapa kalian tidak mau menerima saudara kalian yang baru selesai berjuang untuk kembali diterima di rumah sepakbola kita ini? Bahkan kalian dengan mudahnya memberikan mereka label 'haram' ? Itukah cinta kalian?

Sebelum mereka keluar rumah untuk berjuang, bukankah mereka tinggal satu kamar dengan kalian, menjadi bagian dari sejarah yang juga dibuat bersama-sama?

Ada apa dengan cinta (sepakbola Indonesia)?

Begitu sulitkah buat kalian untuk kembali ke rumah sepakbola kita? Padahal rumah ini menyediakan cinta yang banyak untuk kalian. Pemilik rumah ini tidak pernah mengusir kalian walaupun kalian gagal memenuhi verifikasi profesional menurut AFC, karena ada cinta di sana. Pemilik rumah ini juga tidak pernah menghukum kalian sampai kalian terbukti bersalah. Bandingkan dengan pemilik rumah yang lama. Walaupun kalian nakal, keras kepala, melawan, bahkan menebar kebencian, pemilik rumah ini tetap mengakui kalian sebagai anaknya, tetap meminta kalian kembali ke rumah sepakbola kita. Masihkah kalian tidak melihat cinta di sana ?

Ketika kalian menemukan rumah "baru" yang lebih gemuruh, kalian membiarkan saja rumah sepakbola kami dirusak dan dimarginalkan. Seolah kalian menikmati sekali proses itu. Ketika rumah sepakbola kami sibuk berbenah membangun kembali pondasi masa depan yang sudah dirusak, dirubuhkan dan dikotori oleh penghuni lama, kalian masih saja asyik melempar kata-kata yang jauh dari makna cinta.

Ketika kami membangun harapan masa depan anak-anak muda bangsa, kalian malah berdoa dan berharap harapan anak-anak muda ini hancur luluh. Apakah itu cinta kawan? Kalian bilang cinta Indonesia, tapi kalian membenci siapapun yang saat ini berjuang untuk membangun sepakbola Indonesia menjadi lebih baik.

Ada apa dengan cinta (sepakbola Indonesia)

Kami mungkin tidak berdaya karena kami tidak memiliki kekuatan politik yang mendukung kami. Kami juga tidak berdaya untuk bisa berbicara di TV dan media maintream. Kami juga mungkin tidak berdaya karena kami tidak memiliki kekuatan uang seperti kalian, tapi kami punya kekuatan yang tidak dimiliki kalian, CINTA. Kami akan MELAWAN LUPA dengan cinta. Kami akan tetap menulis, berkata dan berteriak.

Bagi kami, cinta datang kepada orang yang masih mempunyai harapan walaupun mereka telah dikecewakan. Kepada mereka yang masih percaya, walaupun mereka telah dikhianati. Kepada mereka yang masih ingin mencintai, walaupun mereka telah disakiti sebelumnya, dan kepada mereka yang mempunyai keberanian dan keyakinan untuk membangunkan kembali kepercayaan.

Kembalilah ke rumah sepakbola ini, Kawan. Masih ada cinta di sini. Kami akan tetap mencintai kalian, karena kalian adalah saudara kami. Tidak layak kalian dibenci, tidak layak juga kami menyakiti kalian. Kami tidak berharap dicintai oleh kalian, tapi ijinkan kami tetap memberikan cinta kepada kalian.

Buya Hamka pernah mengatakan cinta itu adalah perasaan yang mesti ada pada setiap diri manusia. Ia laksana setetes embun yang turun dari langit, bersih dan suci. Hanya tanah di bumilah yang berlainan menerimanya. Jika ia jatuh ke tanah yang tandus, tumbuhlah oleh karenanya kedurjanaan, kedustaan, penipu, langkah serong dan perkara tercela lainnya. Tetapi jika ia jatuh ke tanah yang subur, di sana akan tumbuh kesucian hati, keikhlasan berbagi, kesetiaan budi pekerti dan lahirlah perangai yang terpuji.

Oh sepakbola Indonesia. Sepakbola kami tidak perlu lari ke hutan belok ke pantai, tidak perlu juga memecahkan gelas supaya ramai, sepakbola kami hanya memerlukan cinta, dan bagi kami cukuplah sudah!

Ini bukan Cinta Satu Malam yang akan hilang ketika rembulan meninggalkan malam. Ini juga bukan Cinta Setengah Hati yang bertepuk sebelah tangan. Bukan juga cinta Terlarang yang harus main belakang. Ini soal Ketulusan Cinta --- memberi, menerima, menjaga dan membela sepakbola Indonesia dengan sepenuh jiwa, bukan untuk kami bukan juga untuk kalian, tapi untuk masa depan sepakbola kita yang jauh lebih baik, bersahaja dan penuh Cinta.

Jangan sesekali mengucapkan selamat tinggal jika kamu masih mau mencoba. Jangan sesekali menyerah jika kamu masih merasa sanggup. Jangan sesekali mengatakan kamu tidak mencintainya lagi jika kamu masih tidak dapat melupakannya.

Kembalilah kawan, we still always love you. Kita bangun masa depan sepakbola negeri ini dengan cinta. Bisa?

Kongres PSSI dan Timnas Kita


Jangan pesimistis, kawan. Jangan patah arang. Berpikirlah positif. Badai pasti berlalu. Sepertinya jalan lurus mulai terlihat.

Pak Djohar juga sudah duduk bareng dengan Pak La Nyalla. Mereka sudah pasang senyum saat foto bareng Pak menpora.

Lihatlah, timnas juga sudah mulai bersatu. Pemain klub-klub ISL sekarang sudah berdatangan untuk ikut training camp. Keren. Kita pasti bisa mengalahkan Arab Saudi.

Optimisme-optimisme di atas masih saya dengar dan baca sampai beberapa hari lalu. Optimisme harus dihargai karena optimisme memelihara harapan, dan harapanlah yang menjaga semangat untuk "move on".

Kalau tidak salah hitung, sejak tahun 2011 besok adalah kali ke-11 diadakan "kongres" para "manajer" sepakbola di Indonesia. Hitungan itu dimulai dari kongres PSSI di Bali pada Januari 2011, lalu kongres di Bandung, Pekanbaru, kongres oleh Komite Normalisasi di Jakarta, kongres Solo, pra kongres KPSI di Jakarta, KLB versi KPSI di Ancol, kongres Palangkaraya, serta dua terakhir pada pertengahan Desember tahun lalu: di Palangkaraya (PSSI) dan di Hotel The Sultan, Jakarta (KPSI).

Hasilnya? Ya tidak ada. Kalau ada, tentu saja tidak mungkin ada kongres sebanyak itu. Bayangkan: 10 kongres dalam dua tahun! Bayangkan berapa puluh miliar uang yang telah dihabiskan secara cuma-cuma -- karena kongres sebanyak itu tidak juga menghentikan kekisruhan ini. Ironisnya, selama itu para pemain megap-megap tak gajian berbulan-bulan, bahkan sampai ada yang mati. Timnas pun harus disumbang oleh warga karena federasi tak punya uang yang cukup untuk berangkat ke Malaysia untuk mengikuti Piala AFF 2012.

Babak selanjutnya adalah setelah Roy Suryo ditunjuk sebagai menpora baru, menggantikan Andi Mallarangeng. Walaupun tidak ada background terkait, apa yang dilakukan Roy harus diapresiasi. Ia tampak begitu bersemangat dengan ranah barunya ini, dengan kisruh tak berkepanjangan ini. Ia seperti tertantang untuk menjadi "finisher". Sekali lagi, itu perlu dihormati karena itulah salah satu tugasnya sebagai pemerintah yang mengurusi hajat hidup masyarakat (olahraga/sepakbola).

Roy segera melakukan pendekatan langsung ke AFC dan FIFA, baik bertemu langsung maupun berkorespondensi melalui surat elektronik (email). Hanya saja cara itu sama sekali tidak progresif karena biasa dilakukan oleh PSSI era Nurdin Halid, Ketua KOI Rita Subowo, dan Djohar Arifin. Tetapi, karena FIFA adalah "hukum universal" di belantika sepakbola, bahkan kadang-kadang dianggap lebih powerful ketimbang negara yang bersangkutan, upaya seperti itu sangat lazim dilakukan.

Sayangnya, selama ini pula FIFA terlalu sulit disimpulkan sikapnya. Mengutip ucapan seorang teman, buat FIFA Indonesia "terlalu sayang untuk disanksi (karena potensi marketing), tapi terlalu berisik jika dibiarkan begitu terus". Nyatanya, dari dulu respons FIFA "begitu-begitu saja": mengiyakan, mendukung yang menyurati, menyuruh kongres, mengancam akan menjatuhkan skorsing, menyuruh kongres lagi, lalu menunda ancaman skorsing, dan menyuruh kongres lagi.

Perubahan besar yang paling mencolok dalam kacamata saya adalah soal Djohar Arifin yang "berbalik arah". Ketika menjadi pemenang di kongres Solo, bahkan nama Djohar pun muncul belakangan. Kubu Arifin Panigoro -- setelah ia dan George Toisutta dicekal untuk pemilihan, bersama Nurdin Halid dan Nirwan Bakrie --, memilih Djohar untuk bertarung -- dan menang.

Setahun memimpin PSSI, Djohar (dan timnya) saya nilai gagal. Pekerjaan PSSI menjadi tidak jelas dan tanggung. Djohar dan tim tidak fokus karena terus "bernafsu" meladeni perlawanan KPSI, namun tanpa strategi cemerlang yang berlapis-lapis. Saya tidak tahu, apa yang nyata-nyata sudah diperbaiki PSSI. Pembinaan usia dini tak kelihatan, public relation tidak bagus, sampai-sampai manajemen timnas pun buruk.

Tim Djohar juga membuat beberapa blunder yang celakanya sudah terlanjur menjadi sebuah "fobia" dalam masyarakat, ketika melibatkan politisi untuk mengurus sepakbola, dari mulai Ramadan Pohan, Habil Marati, dan terakhir pejabat publik aktif, bupati Sarmi, Mesak Manibor, sebagai manajer timnas. Hal-hal di atas terus terakumulasi, sedangkan pertarungannya melawan pihak KPSI terus berlangsung. Mengutip pengamat dan wartawan senior Budiarto Sambazy, "leadership Djohar lemah".

Ketika kepemimpinan Djohar dirasakan lemah, Halim Mahfudz -- yang menggantikan Tri Goestoro setelah ia ditengarai bermain di "dua kaki" -- mencoba mengambil peran lebih "besar". Sesuai background-nya yang memang di bidang komuniasi, Halim mencoba memperbaiki komunikasi federasi ke publik. Ia begitu aktif menjadi seorang "humas" PSSI, setelah fungsi itu dilakukan oleh banyak orang yang tidak kompeten.

Namun, sekali lagi, PSSI tak punya banyak rencana gemilang ketika plan A tak jalan, atau plan B mentok. Halim memang konsisten dalam mensosialisasikan aturan-aturan, statuta. Sebagai landasan dan payung hukum [yang oleh rezim sebelumnya telah dipermainkan], upaya itu tentu saja sangat penting. Hanya saja, menurut hemat saya, kampanye normatif menjadi kurang strategis ketika level pertarungan sudah sedemikian "politis". Timing Halim dan timnya kerap telat dan tak cantik.

Berikutnya, Djohar yang sudah dipinggirkan oleh interen PSSI, mengejutkan banyak orang. Djohar tahu-tahu mendukung pembentukan Badan Tim Nasional (BTN) yang diketuai Isran Noor, bupati Kutai Timur yang juga pimpinan sebuah partai politik di daerah Kalimantan Timur. Kemunculan BTN menjadi kontroversial karena tidak mendapat persetujuan Komite Eksekutif, dan kemudian dengan "seenaknya" memecat Nil Maizar sebagai pelatih timnas, dan menunjuk seorang Argentina bernama Luis Manuel Blanco, sebagai pelatih baru. (Saat tulisan ini dibuat, deskripi profil Blanco di situs Wikipedia cuma dua kalimat pendek: Luis Manuel Blanco is an Argentine football manager. He is currently manager of the Indonesia national football team).

Menurut saya, Djohar dan BTN telah bertindak tidak pantas saat mendepak Nil. Bukan soal pemecatannya, tapi proses dan etika. Pelatih di manapun di dunia ini pasti tahu bahwa mereka bisa dipecat sewaktu-waktu, dan mereka sudah menyadari itu sejak menandatangani kontrak saat direkrut. Tapi Djohar dan BTN seperti lupa betapa Nil adalah salah satu "tameng" federasi ketika menghadapi cercaan sebagian masyarakat. Nil tak pernah mengeluh, tak pernah menjelek-jelekkan timnya kepada publik. Bahkan ia nyaris tak pernah membuka aib keburukan manajemen timnas dan federasi melalui pers. Nil selalu fokus pada pekerjaannya, dan rela dicap gagal oleh sebagian suporter, yang --apa boleh buat-- tidak bisa menerima fakta lain bahwa materi pemain pasukan Nil memang terbatas, dan ia berada di waktu yang salah di masa konflik.

Djohar kembali mengejutkan orang ketika ia berdamai dengan pihak La Nyalla. Dari luar, pemandangan ini mungkin terlihat bagus, karena awalnya masyarakat ingin melihat kedua kubu (PSSI dan KPSI) bersatu. Tapi ternyata, sikap Djohar itu melahirkan kekecewaan pada kelompok lain di PSSI yang telah ia tinggalkan. Djohar dan La Nyalla pun memecat Halim. Di luar soal apakah pemecatan itu sudah sesuai aturan atau tidak, Halim menjadi "seorang diri". Ia seperti tidak mendapat dukungan maksimal dari "konstituennya".

Sejauh ini saya menilai kubu La Nyalla "menang". KPSI berhasil menggandeng Djohar dan masuk ke BTN. Harbiansyah menjadi pengurus teras BTN, dan dengan mudah ia menginstruksikan supaya klub-klub ISL melepas pemain-pemainnya ke timnas. Yang dimaui semua orang seolah-olah langsung terwujud: pemain-pemain terbaik Indonesia bergabung ke timnas. PT. Liga Indonesia pun sampai memberi jeda khusus supaya pemain-pemain mereka segera memenuhi ekspektasi masyarakat itu.

Sayangnya, kejadian hari Jumat (15/3) kemarin sangatlah disayangkan. Sejumlah pemain mengeluh capek dengan kebijakan latihan Blanco. Padahal Irfan Bachdim pun baru tiba dari Thailand, tapi dia mengeluh apa-apa. Blanco tak suka dan mencoret mereka. Harbiansyah membela para pemain. Hamka Hamzah yang notabene pemain senior, di depan banyak orang melontarkan kalimat yang tidak sepantasnya diucapkan oleh seorang pemain profesional, mengenai teman-teman seprofesinya sendiri -- alih-alih merasa senasib-sepenanggungan. Di pinggir lapangan, sebagian suporter masih saja menyebut "timnas IPL atau timnas ISL". Duh. (Berita terkait baca di sini)

Bayangkan, pertandingan melawan Arab Saudi tinggal satu minggu, tapi training camp masih penuh gembar-gembor. Bahkan memanggil sampai 58 pemain untuk pelatnas dua minggu pun sesuatu yang … entah apa manfaatnya (buat tim pelatih). Ditambah dengan kejadian kemarin, lalu kapan si pelatih baru itu bisa mulai fokus menentukan tim dan menyiapkan strategi untuk pertandingan pekan depan? Lalu kita masih berharap timnas bisa mengalahkan Arab Saudi? Daripada dibilang tidak nasionalis, lebih baik saya menjawab, "mudah-mudahan bisa". Kalau perlu dengan sedikit memaksa, "ya harus bisa, harus optimistis."

Besok pagi (17/3) kongres akan dilakukan. Apakah sudah tidak ada riak-riak menuju ke Hotel Borobudur? Jangan bercanda. Urusan voter pun belum selesai sampai malam ini. Terakhir, sebanyak 18 caretaker pengprov menyatakan akan tetap datang ke kongres walaupun belum menerima undangan. Belum lagi "selingan" lain, seperti berita Djohar akan dilaporkan ke Komite Etik karena diduga menerima gratifikasi dan melakukan pelanggaran etika (Kompas.com, 15 Maret 2013). Laporan yang dirilis oleh Direktur Lembaga Kajian dan Pengembangan Olahraga Indonesia (Lemkapoin) itu tentu saja harus dibuktikan kebenarannya. Lain-lainnya, saya percaya masyarakat sudah lebih mudah mendapatkan informasi-informasi seputar ini semua.

Hal-hal di atas menandakan bahwa selama tidak ada motif yang tulus untuk menyelesaikan pertikaian dari para elite yang terlibat, bahwa kongres cuma dilakukan untuk mengggugurkan kewajiban dari FIFA -- atau bahkan sekadar mengalahkan kubu musuh, saya sungguh tidak tahu apa yang akan terjadi pada kongres besok. Dan jika ini diartikan sebagai sikap yang pesimistis, saya akan lebih senang dimaki-maki pembaca karena tulisan panjang-lebar ini salah dan jadi keranjang sampah -- ketimbang diamini seumpama pandangan saya ini berkenan.

Namun, apabila kongres masih tidak menyelesaikan pertarungan para elite itu, izinkan saya menyatakan sebuah sikap lain. Di sisi pengurus PSSI yang sah, mereka tidak perform dan gagal membuat perubahan bahkan di interen federasi sendiri. Di pihak lain, ada utang yang hingga kini belum dijelaskan dan dipenuhi pada masyarakat, terkait praktek-praktek match-fixing di masa lalu.

Jika slogan "selamatkan sepakbola Indonesia" adalah perjuangan pada nilai-nilai, dan bukannya membela kelompok-kelompok, dan juga apabila kita merasa tak punya banyak waktu lagi untuk segera berbenah, mungkin inilah saatnya untuk melibatkan saja orang-orang yang baru.