\

Selasa, 09 Juli 2013

Persipura Tetap Yang Terbaik Di LSI


Persipura Jayapura akhirnya harus menelan kekalahan perdana di musim ini. Setelah mengarungi 25 pertandingan tanpa terkalahkan. Persipura dikandaskan Barito Putra 1-0 di stadion Demang Lehman Martapura, Selasa (25/6) lalu. Otavio Dutra, bek Persipura, mencetak gol bunuh diri di menit 88 untuk memberi kemenangan pada klub kebanggaan warga Banjarmasin itu.

Lantas, apakah ini sinyal bahwa Persipura sudah mulai kelelahan dan bisa dijegal dalam persaingan memperebutkan gelar juara Liga Super Indonesia musim 2010/2013? Rasanya tidak. 

Kekalahan ini justru akan mempertebal motivasi pemain Persipura untuk bisa memperbaiki penampilannya. Kini, mereka akan sadar bahwa apa yang sudah mereka capai belum sempurna dan terlalu dini untuk mengklaim sudah juara karena liga belum usai dan masih menyisakan delapan pertandingan lagi.

Absennya Gerald Pangkali dan Lim Jun Sik dituding sebagai biang kekalahan Persipura. Immanuel Wanggai dan Zah Rahan kesulitan mengalirkan bola tanpa kehadiran Lim Jun Sik yang merupakan gelandang bertahan terbaik di LSI sejauh ini. Lim tercatat sebagai gelandang dengan tekel sukses per pertandingan terbanyak kedua (3,75 tekel per pertandingan) dan umpan sukses per pertandingan terbanyak di LSI dengan 56,43 umpan per pertandingan.

Ketidakhadiran Lim jelas membuat aliran bola tidak lancar dan juga tidak ada pemain yang handal menyaring serangan lawan sebelum memasuki jantung pertahanan.

Lini tengah akan jadi pekerjaan rumah utama untuk Jacksen F. Thiago. Kalau Gerald Pangkali dan Lim Jun Sik bisa bermain tidak jadi soal, tapi ketika mereka harus absen jelas Jacksen perlu memutar otak. Jacksen bisa mulai mencoba memberi latihan tambahan dan kesempatan bermain lebih untuk Alom, pemain muda Persipura, guna menjadi pelapis pemain utama sekaligus bisa mengurangi beban Immanuel Wanggai sebagai punggawa lini tengah Persipura. Soal membina pemain muda, Jacksen adalah salah satu yang terbaik di Indonesia.

Aktor Berpengaruh di Persipura  


Tidak bisa dipungkiri bahwa Jacksen merupakan aktor paling berpengaruh yang bisa membuat Persipura menjadi tim paling superior di LSI. Tidak hanya musim ini, tapi sejak LSI bergulir Persipura selalu berada dalam barisan depan untuk mengejar gelar LSI.

Jacksen mulai melatih Persipura sejak lima tahun lalu. Dia sudah hapal betul dengan karakter timnya serta pemainnya. Ini membantunya untuk membangun kedekatan dengan pemain. Persipura yang dihuni sebagian besar bakat Papua yang biasa dikenal “sulit diatur” bisa menjadi “anak baik” di bawah asuhannya. Pelatih asal Brasil ini tidak hanya bisa jadi sosok pelatih yang berwibawa tapi sekaligus sebagai ayah dan motivator ulung bagi timnya.

Pelatih yang pernah membela Persebaya Surabaya dan Petrokimia Gresik ini juga handal dalam meracik strategi. Jacksen lah yang mengubah secara perlahan gaya main Persipura yang akrab dengan pola 3-5-2 dan 4-4-2 ketika diasuh oleh Rahmad Darmawan menjadi skema lebih ofensif dalam pola 4-3-3 atau 3-4-3. Persipura bisa mendikte jalannya permainan dan bisa mencetak banyak gol. Di musim ini, selain memimpin klasemen, Persipura menjadi klub tersubur dengan 72 gol.

Jacksen tentu tidak bekerja sendirian, dia ditunjang oleh materi pemain mumpuni. Skuat Persipura rata-rata dihuni pemain dengan teknik di atas rata-rata pemain Indonesia. Tidak ada pemain jelek di tim inti Persipura. Mereka juga punya pemain cadangan yang punya kualitas setara. Di lini depan misalnya, mereka punya Boaz Solossa, Patrich Wanggai, Ferinando Pahabol, hingga Lukas Mandowen. Empat pemain depan yang punya standar kelayakan untuk memperkuat timnas. Pemain di tim ini mayoritas sudah bersama lebih dari satu musim sehingga kekompakan pun sudah terjalin.

Boaz Solossa yang kini sudah berusia 27 tahun semakin tajam dan dewasa. Bochi, sapaan akrab Boaz, kini menjadi pemain paling subur di klub maupun di LSI dengan 23 gol. Boaz seakan terlahir kembali setelah musim lalu absen panjang lantaran mengalami cedera parah di lutut kakinya.

Nama Boaz yang melejit pertama kali ketika dipanggil masuk timnas untuk Piala AFF 2004 oleh Peter White ini dua kali mengalami cedera parah. Dan hebatnya, kedua momen itu tak menghancurkan karir Boaz. Setelah sembuh, Bochi langsung memberi penampilan brilian.

Dialah pemain paling penting di skuat Persipura. Tidak hanya dalam mencetak gol, peran Boaz nyata dalam memimpin rekan-rekannya. Boaz mampu menjadi pemimpin dan motivator bagi rekan setimnya dengan ban kapten melingkar di lengan kirinya. Sejak ditinggal Eduard Ivakdalam tiga tahun lalu, Boaz memang pemain yang paling bisa menggantikan sosok pemimpin di Persipura. Wajar jika kemudian Boaz pun jadi kapten di timnas setelah Bambang Pamungkas mengundurkan diri.

Pemain Asing dengan Kualitas Terbaik


Mayoritas skuat Persipura merupakan anak-anak Papua. Mereka ini lantas dikombinasikan dengan pemain asing yang punya kualitas bagus. Ada lima pemain asing. Zah Rahan dan Lim Jun Sik di sektor tengah. Duet Octavio Dutra dan Bio Paulin di jantung pertahanan, serta kiper asal Korea Selatan, Yoo Jae-hoon. Mereka ini pemain asing dengan kualitas tidak diragukan lagi.

Zah Rahan merupakan anggota skuat timnas Liberia. Zah pun dipanggil untuk pertandingan kualifikasi Piala Dunia 2014. Tidak banyak pemain asing yang berlaga di Indonesia yang bisa menembus skuat timnas negaranya. Zah datang pertama kali di musim 2010/2011 dari Sriwijaya FC. Kontraknya mencapai angka Rp 1,2 miliar setiap musimnya. Zah memang didatangkan untuk mengisi bagian penting tim sebagai playmaker menggantikan peran Eduard Ivakdalam. Harga mahal memang layak untuknya yang mampu memberi umpan akurat sekaligus mengatur tempo permainan. Beberapa kali Zah juga jadi pemain yang bisa memecah kebuntuan Persipura. Kombinasinya dengan Lim Jun Sik jadi salah satu duet gelandang terbaik di Indonesia saat ini.

Trio pemain asing di lini belakang, Dutra, Bio Paulin, dan Yoo Jae-hoo, sudah tak perlu diragukan lagi perannya. Hanya kebobolan 17 gol dari 29 pertandingan membuat tim ini menjadi yang paling sedikit dibobol lawan. Hanya Arema yang bisa menyaingi dengan kebobolan 25 gol. Klub lain sudah kebobolan lebih dari 30 gol di musim ini.

Konsistensi permainan dan kerja keras dari seluruh elemen tim di musim ini jelas akan membawa Persipura menjadi juara LSI untuk keempat kalinya. Di sisi lain, klub pesaingnya juga mulai kedodoran. Arema yang berada di peringkat kedua baru mengoleksi 56 poin, 14 poin tertinggal (Persipura 70 poin). Persib dan Sriwijaya FC masing-masing 54 poin dan 52 poin.

Di dua pertandingan terakhir, Persipura menunjukkan superioritasnya dengan selalu menang dengan skor besar, mengalahkan Persidafon 8-1 dan menundukkan Persiram 3-0. Mungkin, hanya keajaiban yang bisa menggagalkan Persipura meraih gelar ketiganya di LSI (juara musim 2008/2009 dan 2010/2011, di tahun 2005 Persipura juara tetapi saat itu belum bernama LSI).

Selasa, 02 Juli 2013

The New Boss : David Moyes dan Era Baru Itu



Pagi 1 Juli 2013, kalimat dari lagu milik Semisonic itu mulai membentuk jadi kenyataan. "Closing Time.. Every new beginning comes from some other beginning's end."

Bait dari 'Closing Time' itu menyiratkan sebuah jalan hidup, sebuah alur; kadang yang lama memang harus berakhir untuk memberi jalan bagi sesuatu yang baru. Yang tua digantikan yang muda. Sir Alex Ferguson digantikan oleh David Moyes.

Hari terakhir Sir Alex memimpin Manchester United bertanding di Old Trafford adalah pesta perpisahan yang tampak seperti family gathering kantor, dan Anda boleh membawa keluarga Anda. Anda bisa berpose bersama pasangan dan anak, atau mungkin foto bareng dengan bos Anda yang akan segera pensiun. Lihat saja Alexander Buttner, yang membawa serta sang ayah, Christian, dan berpose bareng dengan Sir Alex.

Ada keriangan, ada pula kata-kata bijak. Salah satu kata bijak yang terlontar, dan tentu saja itu keluar dari kakek asal Skotlandia itu, adalah sebagai berikut: "I'd also like to remind you that when we had bad times here, the club stood by me, all my staff stood by me, the players stood by me. Your job now is to stand by our new manager."

Your job now is to stand by our new manager. Tugas kalian sekarang adalah mendukung manajer baru kita.

Sir Alex masih menggunakan kata "kita", menunjukkan bahwa apapun statusnya sekarang, meski sudah pensiun sekalipun, dia tetaplah bagian dari United. Memisahkan Sir Alex dengan United memang sulit. Ada anggapan bahwa United yang sekarang adalah perwujudan ego dari pria 71 tahun itu. Para pendukung United sebelumnya tidak bisa membayangkan klubnya tanpa dia, dan begitulah yang terjadi selama lebih dari 26 tahun terakhir.

Tapi bahkan Sir Alex tahu bahwa dia tidak punya seluruh waktu di dunia. Ada yang lebih besar dari sepakbola itu sendiri, yaitu keluarganya, istrinya, Cathy. Dia merasa berutang waktu kepada wanita yang sudah menemaninya puluhan tahun itu. Maka ditinggalkannya jabatan itu dan memberikan jalan pada alur waktu, yang akhirnya membawa Moyes ke Old Trafford.

Lewat ucapannya kepada para pendukung United itu, Sir Alex seperti mengatakan, "Percayalah, semuanya akan baik-baik saja dengan manajer baru kita." Dia tahu bahwa masa-masa sulit pasti ada dan, setelah tahun-tahun yang dilaluinya sebagai seorang manajer, Sir Alex tahu Moyes tidak akan selamanya enak. Sir Alex berharap Moyes diberikan kesempatan yang sama seperti dirinya. Diberikan waktu dan dibiarkan melalui proses. Sebab, untuk alasan itu jugalah Moyes diberikan kontrak relatif panjang: enam tahun.

Pertanyaannya, akankah Moyes mendapatkan toleransi andai dia kesulitan menghidupkan ekspektasi? Perlu diingat, Sir Alex telah membangun reputasi United menjadi sedemikian besar. Mereka adalah raja di era Premier League, pengoleksi terbanyak gelar juara Liga Inggris, dan tim asal Inggris yang paling sering menjuarai -- dan paling sering ke final -- Eropa dalam dua dekade terakhir. Mungkinkah, seandainya dia gagal, dia dimaafkan dengan dalih "masih proses"?

Hanya Moyes, dan lagi-lagi, alur waktu itu yang bakal menjawabnya. Sama-sama berasal dari Skotlandia, Moyes disebut-sebut merupakan pilihan langsung dari Sir Alex. Kita tidak tahu apa yang dilihat Sir Alex dari pria 50 tahun itu. Selama kariernya di Everton, orang-orang hanya melihatnya sebagai manajer menjanjikan, tapi tanpa hasil (baca: trofi) yang benar-benar nyata. Namun, begitu dia ditunjuk menjadi manajer baru United, maka orang-orang ramai memburu cerita mengenai seperti apa kepribadian Moyes, apa yang dia lakukan ketika melatih anak buahnya, bagaimana metode latihannya, dll.

Pada satu kesempatan, Phil Neville, mantan kapten Everton yang juga pernah jadi anak didik Sir Alex, membeberkan seperti apa Moyes. Dia bercerita bahwa pada suatu hari dirinya dan Mikel Arteta baru tiba dan langsung disuruh menggeber latihan fisik. Hasilnya, setelah latihan itu Neville kehabisan tenaga di ruang ganti. Dia mengutuk Moyes sebagai manajer terburuk yang pernah ada. Sementara, tak jauh dari dirinya, Arteta tergeletak tak berdaya di lantai.

"Metodenya adalah menekan Anda sampai batas pada saat latihan. Selanjutnya, pertandingan menjadi lebih mudah," kata Neville.

The Sun kemudian mempublikasikan sebuah foto dari kamp latihan Everton beberapa tahun silam. Tampak pada foto tersebut para pemain Everton --salah satunya adalah Marouane Fellaini, karena Anda bisa mengenalinya dari rambutnya-- sedang berdiri diam di tengah sungai yang tingginya sepaha orang dewasa. Katanya, mereka sedang melakukan pendinginan.

Entah apa yang akan dilakukan Moyes di United. Bisa jadi latihan fisik nan keras seperti itu bakal kembali diaplikasikannya. Tapi pekerjaan rumahnya bukanlah hanya menggodok fisik pemain semata. Ada masalah lain seperti halnya taktik hingga pemain yang minta hengkang seperti Wayne Rooney. Belum lagi menyoal ekspektasi sebagai suksesor Sir Alex itu sendiri.

Lini tengah United memang tidak istimewa dalam beberapa musim terakhir, kendatipun mereka sukses keluar sebagai juara musim lalu. Satu-satunya gelandang tengah mereka yang layak mendapatkan label istimewa hanyalah Michael Carrick. Sementara Tom Cleverley masih butuh untuk membuktikan diri lagi dan Anderson tampak makin kesulitan memenuhi potensi dirinya. Wajar kalau kemudian United gencar dikait-kaitkan dengan gelandang Barcelona, Thiago Alcantara.

Moyes yang sebelumnya dikenal pragmatis itu juga disuguhi tim yang benar-benar baru kini. Kalau dulu dia bermain pragmatis lantaran disebut-sebut skuatnya, kini dia punya penyerang dengan jumlah gol terbanyak selama dua musim terakhir di Premier League, seorang pemain Asia yang kata Sir Alex punya visi mumpuni, plus sejumlah pemain-pemain internasional lainnya. Menarik untuk dinantikan bagaimana Moyes meletakkan ide yang ada di benaknya kepada tim barunya ini.

Toh, di balik sosoknya yang terlihat kalem, Moyes bukannya berkepala kosong. Telegraph pernah melansir cerita di mana salah satu asisten Moyes, Alan Irvine, menyaksikan laga antara Juventus dan Chelsea. Pada laga itu, Fabio Quagliarella mencetak gol setelah berlari masuk melalui blind-side, yang berada di tengah-tengah pertahanan Chelsea. Irvine kemudian melaporkannya pada Moyes dan Moyes pun langsung menerapkannya pada sesi latihan, di mana Nikica Jelavic diminta berlari diagonal di antara dua bek tengah. Tak beberapa lama, Jelavic mencetak gol dengan cara yang nyaris sama seperti Quagliarella.

Ide di kepala Moyes-lah yang kemudian dinilai tinggi. Tanpa ide dan pengamatan detil akan lawan, mustahil dia bisa menerapkan taktik pragmatis. Mustahil juga musim kemarin dia beberapa kali mematikan Manchester City. Oleh mantan anak-anak asuhnya, Moyes disebut begitu perfeksionis dengan sesi latihan. Dia akan mempersiapkannya sama seperti apa yang akan dilakukan pada pertandingan sesungguhnya. Uniknya, ini pun mirip sepeti yang dilakukan oleh Sir Alex dan pelatih tim utamanya dulu, Rene Meulensteen.

"Saya suka cara Sir Alex dan Rene Meulensteen mempersiapkan kami untuk pertandingan. Mereka akan mendesain sesi latihan supaya cocok dengan tim dan pemain-pemain secara individu. Rasanya seperti menjadi musisi dalam sebuah orkestra. Kami seperti punya konduktor dan ketika setiap pemain melakukan tugasnya masing-masing dengan baik, maka hasilnya bakal fantastis," kata Robin van Persie.

Meulensteen kini sudah tidak berada di Old Trafford. Dia memilih untuk hengkang ke Anzhi Makhachkala, kendati Moyes disebut sudah menawarkan posisi asisten manajer padanya. Berkurang lagi satu keuntungan buat Moyes. Sebab, Meulensteen banyak mengetahui sisi-sisi terbaik United, sekaligus melatih dan mengangkut pemain muda ke tim utama. Cleverley dan Danny Welbeck adalah produk binaannya di akademi dulu.

Tapi, selalu ada sisi baik dari setiap kekurangan. Tanpa adanya orang-orang lama seperti Meulensteen, Moyes bakal diuji untuk mengaplikasikan egonya sepuas hati. Dan bukankah ego pula yang telah membawa Sir Alex sukses di klub tersebut?

"Tunjukkan pada saya satu saja pelatih yang tidak punya ego. Saya tidak percaya ada pelatih yang tidak punya ego. Itu hanya masalah bagaimana mereka menggunakannya. David memang pria yang rendah hati, tapi... yeah, dia juga punya ego," kata Jim Fleeting, direktur pembinaan federasi sepakbola Skotlandia, yang juga merupakan teman Moyes.

Pagi 1 Juli 2013, adalah pagi pertama David Moyes menginjakkan kaki di Carrington dengan status baru. Pada hari itu, dimulailah para pemain United memanggilnya dengan satu kata: Boss.

Glory - Glory Man United

Senin, 01 Juli 2013

Hidup Itu Laksana Bermain Bola


Judul Buku : GOL! Memahami Kesuksesan dari Kacamata Sepakbola
Penulis : Gheeto T Wicaksono
Penerbit : Bhuana Ilmu Populer, Jakarta
Cetakan : Pertama, 2013
Tebal : viii + 182 halaman
ISBN : 978-602-249-194-1

Hidup itu apa? Sudahkah Anda memiliki alat atau cara pandang terhadap hidup ini? Dua pertanyaan yang (terkadang) sulit dijawab. Karena, setiap orang sudah (atau belum) memiliki jawabnya masing-masing. Ada yang menjawab "urip iku mung mampir ngombe" -- hidup itu sekadar singgah minum, hidup adalah perjuangan, maupun hidup adalah perbuatan, dan jawaban lainnya.

Semua jawaban tadi benar. Tak pernah ada jawaban salah. Namun, ada satu jawaban unik: hidup itu "bermain" bola. Melalui buku GOL! Memahami Kesuksesan dari Kacamata Sepakbola, penulisnya mencoba membuat pembacanya memahami bahwa ternyata hidup itu memang "bermain" bola. Kita harus percaya diri dan konsisten mencetak gol (kehidupan) sebanyak mungkin untuk meraih "kemenangan".

Menurut Gheeto TW, sang penulis, sesungguhnya sepakbola adalah tentang hidup kita. Sepakbola bukan sekadar tentang "sepak" (kata kerja) atau "bola" (kata benda), melainkan tentang siapa yang menyepak bola, ke mana arahnya, bagaimana filosofinya, dan apa dampaknya bagi peradaban manusia. Bahkan lebih dari itu, melalui sepakbola kita dapat melihat yang meta [yang tak terlihat] oleh ribuan mata penonton di stadion maupun jutaan pasang mata pemirsa televisi.

Permainan sepakbola diciptakan oleh manusia. Namun, sadar atau tidak, prinsip-prinsip dalam permainan ini "meniru" cara Tuhan menciptakan dunia dan segala hukumnya, baik hukum alam, moral, maupun keteraturan seluruh jagat raya. Lapangan bola adalah miniatur kehidupan. Di sana ada kedaulatan wasit yang mengadili pertandingan sebagaimana Tuhan berdaulat penuh atas hidup manusia di atas lapangan kehidupan.

Attack

Ada hukum dan aturan yang berlaku serta pengawas pertandingan, sebagaimana pula ada hukum, aturan, dan pengawas dalam lapangan kehidupan manusia di dunia. Sehebat-hebatnya Pele, Messi, atau Ronaldo, mereka adalah insan yang sepenuhnya tunduk pada wasit. Kartu kuning atau merah, offside, maupun ukuran lapangan ditetapkan tanpa persetujuan mereka. Semua sudah jadi dan ada. Pemain hanya diberi kesempatan untuk menaatinya.

Begitu juga dengan hidup ini. Manusia ditempatkan di bumi yang sudah jadi. Mereka tidak dapat menentukan siang, malam, tumbuhan maupun hewan yang hidup di bumi. Bahkan, manusia tidak diberi kebebasan untuk menentukan posisi hidung, mata, telinga di tubuhnya sendiri. Semuanya sudah ada dan manusia hanya wajib menjalani hidup sesuai aturan pengadil lapangan kehidupan yaitu: Tuhan.

Kedaulatan Tuhan telah merancang hidup ini seperti kompetisi panjang yang harus dijalani sejak kickoff (lahir) hingga peluit panjang tanda "pertandingan" berakhir (kematian atau kiamat). Dalam pertandingan di lapangan kehidupan ini, perlu strategi mantap untuk memenangkan pertandingan. Ada goal (tujuan) yang harus dituju, ada passion yang harus dipenuhi, dan ada team serve.

Sebagaimana di lapangan hijau, hidup ini penuh dengan jebakan offside, sering terjadi pelanggaran, berisiko cedera, terkadang kecolongan hingga beroleh penalti. Bahkan, terkadang mendapat peringatan atau sanksi berupa kartu kuning (sakit) maupun merah (mati). Karenanya, selain defence, dalam hidup ini kita juga harus attack. Kita harus menjalaninya dengan confidence, konsisten hingga saat injury time, dan memaksimalkan potensi untuk menggapai kemenangan (hidup) (hlm. 175).


Penautpaksaan

Layaknya menit pertandingan sepakbola, buku ini berisi 90 renungan pendek yang menautkan sepakbola lapangan hijau dengan kenyataan di lapangan kehidupan. Terbagi dalam sembilan bab, buku ini menyeruakkan limpahan inspirasi hidup dari lapangan hijau yang selama ini belum kita ketahui. Sekalipun banyak membahas tentang sepakbola, prinsip-prinsipnya dapat diterapkan dalam berbagai bidang kehidupan yang kita jalani.

Dengan memadukan pendekatan sains, psikologi, bisnis, sejarah, kepemimpinan, budaya, bahkan filsafat, karya penulis Kick n' Goal (2006) dan The Mou Way (2012) ini mengajak kita menikmati kehidupan melalui sepakbola. Menyaksikan 90 menit pertandingan sepakbola tak ubahnya berada di dalam ruang kelas maupun laboratorium. Makanya, jangan sampai 90 menit (bahkan lebih) itu terbuang sia-sia dalam irasionalitas fanatisme buta, tanpa pernah belajar apa pun dari pertandingan sepakbola.

Namun, ada beberapa hal yang luput dari karya ini. Pertama, di beberapa esai (23 dan 26) terdapat penautpaksaan -- semacam kawin-paksa -- antara sepakbola dengan kehidupan, sehingga terkesan membelokkan secara mendadak alur pemahaman dan irama baca yang sudah terbangun. Kedua, tiada esai injury time maupun jeda di antara esai 45 dan 46, layaknya 45 menit pertama dalam pertandingan sepakbola. Ketiga, adanya kesalahan penulisan. Misalnya, penulisan Piala Dunia 1989 yang seharusnya 1998 (hlm. 33).

Terlepas dari kekurangannya, buku ini bisa menjadi referensi dalam memandang hidup bagi siapa pun. Terlebih, bagi pelaku sepakbola agar dapat memaknai dan menjiwai sepakbola (yang sangat kita gandrungi ini) untuk humanisasi kehidupan. Mari melihat -- yang kasat mata maupun meta -- sekaligus belajar dari 90 menit pertandingan sepakbola di stadion maupun televisi.


Glory - Glory Man United

Mimpi Sang Manager


David Moyes melangkah dengan kepala tegak ke ruang bosnya. Itu adalah hari pertama dia menghadap para petinggi klub setelah ditunjuk menjadi manajer baru Manchester United.

Dia kemudian mengetuk pintu dan dipersilakan masuk. Moyes menyangka pertemuan itu tidak akan lama. Toh yang dibicarakan hanya sebatas seberapa besar dia akan mendapatkan dana transfer musim ini.

"Dengar, David. Kami tahu kamu bisa memanfaatkan dana transfer dengan sangat baik. Tapi kami tidak mau setengah-setengah."

"Saya tahu. Sudah ada rencana di kepala saya.. Ini tidak akan mengecewakan," sahut Moyes. Dia bisa mendengar kegugupan dari nada bicaranya.

"Well, kami senang mendengarnya. Sekarang dengarkan, kami berikan 50 juta poundsterling untuk dana transfer. Jumlahnya bisa lebih besar, tergantung pemasukan dari penjualan pemain."

"Wow, itu fantastis. Tapi, maaf, bukankah jumlahnya terlalu besar untuk waktu enam tahun?" jawab Moyes lagi, kali ini dia agak sedikit tercekat.

"Enam tahun? David, ini untuk musim ini."

Jawaban dari sang bos membuat David Moyes pingsan di tempat.

***

Cerita di atas --tentu saja-- hanya karangan. Sebuah lelucon yang dikarang-karang oleh pendukung Manchester United begitu Moyes ditunjuk menjadi suksesor Sir Alex Ferguson dan menandatangani kontrak selama enam tahun. Saya tak sengaja menemukan cerita itu ketika sedang iseng jalan-jalan di media sosial, dan tentu saja tertawa sekaligus merasa lelucon itu tepat sasaran.

Jumlah 50 juta poundsterling adalah jumlah yang dikabarkan oleh media-media Inggris menyoal berapa dana transfer yang akan didapat Moyes. Jumlah itu luar biasa, bahkan untuk Moyes sekalipun. Selama 11 tahun kariernya menangani Everton, belum pernah dia mendapatkan dana sebanyak itu. Sebesar-besarnya Moyes mengeluarkan uang untuk belanja pemain jumlahnya tidak pernah lebih dari kisaran 20 juta poundsterling.

Everton memang tidak pernah punya dana yang teramat besar. Bahkan soal dana transfer pun pernah jadi isu yang diperbincangkan jelang habisnya kontrak Moyes musim panas ini. Pria asal Skotlandia itu disebut-sebut Telegraph pikir-pikir dulu untuk memperpanjang kontraknya, tergantung berapa banyak nilai transfer yang akan dia terima nantinya. Bukan apa-apa, setelah sekian lama berstatus "tim relatif bagus, tapi tak pernah mendapatkan hasil", Moyes ingin mencapai hasil yang signifikan. Dia ingin memperkuat skuatnya dan setidaknya lolos ke Eropa musim depan.

"Saya sudah membicarakan soal dana transfer ini bersama chairman selama tiga atau empat bulan terakhir. Semuanya sedang berjalan sekarang," ucap Moyes ketika itu. Ketika dia sedang mempersiapkan segalanya, termasuk menyoal persiapan pramusim The Toffees, dia tidak tahu bahwa jarum takdir tengah menunjuknya ke arah lain. Semua kemudian tahu cerita lanjutannya dan Moyes tidak jadi melaksanakan segala rencananya itu bersama Everton.

Kini Moyes harus mengubah semuanya dan menaruh apa yang sudah direncanakan di benaknya kepada United. Bergerak di bursa transfer adalah salah satunya. Ada pendapat yang menyebut bahwa penilaian pertama untuk Moyes adalah tergantung dari siapa yang akan didatangkannya. Mendapatkan satu saja pemain bintang, maka nilainya di mata para pendukung bakal naik.

Dengan dana yang dikabarkan bakal didapatnya, Moyes setidaknya bisa memenuhi keinginannya dengan membeli pemain yang dia inginkan. Jika di Everton dia harus harap-harap cemas menunggu kepastian soal budget, maka di United dana itu langsung diguyur ke depan mukanya. Bagi pria berusia 50 tahun itu, ini seperti mimpi basah yang jadi kenyataan.

***

Dana transfer memang bukan satu-satunya faktor untuk membangun sebuah tim yang hebat, atau setidaknya faktor tersebut sungguh bisa diperdebatkan. Tapi, dengan melihat pada kenyataan, tidak bisa dibantah bahwa itu kadang jadi cara tersingkat untuk membangun kejayaan. Mimpi apa Manchester City dengan cepat bisa mendapatkan trofi Premier League. Mimpi apa AS Monaco bisa mendapatkan Falcao yang katanya diperebutkan klub-klub besar itu.

Di sisi lain, dana transfer juga menjadi pemercik rumor-rumor yang bermunculan selama jeda musim. Biasanya begitu musim habis, maka media-media pun jadi tak ubahnya ajang infotainment yang menggosipkan bahwa si fulan sedang digosipkan dekat dengan si anu. Pemain yang sebelumnya tidak dikenal jadi mencuat ke permukaan. Harga mereka melambung tidak masuk akal. Para agen pun bermain dengan umbar komentar di koran-koran atau situs berita.

Namun, di balik segala rumor, selalu menarik untuk menyaksikan bursa transfer, terutama oleh tim-tim yang ditukangi manajer baru. Menilik siapa saja pemain yang mereka incar, mengasyikkan membayangkan kira-kira seperti apa tim yang akan mereka bangun nantinya. Singkat cerita, sedikit banyak bursa transfer bisa menjadi petunjuk kecil bagaimana manajer itu mengaplikasikan ide mereka pada formasi dan taktik.

Bursa transfer jugalah yang bisa membuat seorang manajer mewujudkan mimpi terliarnya. Beberapa pekan silam, La Gazzetta dello Sport pernah melansir sebuah tim yang kira-kira akan dibangun oleh Rafael Benitez di Napoli. Tim itu berisikan Thomas Vermaelen, Lucas Leiva, hingga Edin Dzeko. Benitez adalah manajer yang doyan belanja --bahkan sempat didepak oleh Massimo Morratti karena ribut soal belanja pemain-- dan tim itu tak ubahnya sebuah mimpi basah yang ingin dia wujudkan.

Kewenangan manajer untuk membangun tim itu jugalah yang membuat Real Madrid menunda masuk bursa transfer. Mereka tidak mau membeli atau menjual sebelum ada manajer yang mengisi pos yang ditinggal Jose Mourinho. Maka, begitu Carlo Ancelotti resmi diperkenalkan, mereka mulai bergerak. Isco pun berhasil digaet.

Ancelotti ditinggalkan sebuah tim yang (katanya) sedang tidak harmonis. Maka, pekerjaan rumahnya tidak sekadar memperkuat tim itu, tetapi juga memperbaiki dan memugar kondisi di dalamnya. Sebagai seorang pelatih, Ancelotti disebut punya karakter yang easy going, berbeda dengan Mourinho yang tampak begitu ketus. Ini membuatnya dinilai bisa dengan mudah mencairkan suasana di ruang ganti.

Bagaimana Ancelotti bakal membangun formasi juga menarik, kini dengan adanya Isco di dalam tim. Beberapa pemain, seperti Jose Callejon dan Angel Di Maria, dikabarkan bakal terdepak. Sementara Gonzalo Higuain sudah lama disebutkan bakal dijual.

Dalam disertasi yang pernah dibuatnya, Il Futuro del Calcio: Piu Dinamicita (The Future of Football: More Dynamic), dan juga dalam pengaplikasian di lapangan seperti yang pernah kita lihat, Ancelotti cenderung menggunakan formasi 4-3-2-1. Tapi, di Madrid siapa yang tahu. Mungkin saja Kaka kini sedang tersenyum sembari berharap sesuatu yang magis dari atas terjadi.

Ketika Penikmat Sepakbola Jadi Cenayang


Ketika liga-liga Eropa libur dan acara pada Sabtu malam tidak ada yang menarik, Piala Eropa U-21 pun seperti jadi penyelamat. Di sinilah para penikmat sepakbola mencoba jadi 'cenayang'.

Utamanya, tugas cenayang seperti itu dilakukan oleh para pencari bakat klub. Saya tidak tahu ada berapa banyak pencari bakat yang sedang berada di Israel sana saat ini. Tapi, saya menduga bahwa para pecari bakat itu -- kalau mereka hadir di sana -- tak henti-hentinya mengirimkan daftar atau laporan ke klub masing-masing. Kelak, jika si pemain yang dipantau kemudian dibeli dan bersinar di klub, sang pemandu bakat layak berbangga hati.

Tapi, sebagai penonton netral, atau fans klub tertentu, tidak ada salahnya juga bersikap seolah-olah pemandu bakat betulan. Biarpun modalnya cuma menonton dari televisi, tidak bisa disangkal bahwa melihat bakat-bakat muda tersebut bermain di lapangan adalah sesuatu yang mengasyikkan. Anggap saja Anda sedang bermain game Football Manager dan sedang mencari-cari pemain muda bagus yang akan mencuat menjadi bintang di masa depan. Siapa tahu juga harganya murah.

Jika Anda menemukan satu pemain yang bagus, Anda mungkin bisa berharap klub Anda punya penilaian yang sama. Selanjutnya, Anda mungkin bisa mengirimkan pesan lewat media sosial yang isinya tidak jauh-jauh dari kalimat semodel: "Sign him up! Sign him up!"

Hal lainnya adalah, ajang seperti Piala Eropa U-21 seperti ini adalah kesempatan untuk melihat pemain yang sedang diincar oleh klub kesayangan Anda atau sudah dibeli, namun Anda belum pernah melihatnya. Bagi para penggemar Manchester United, dan tidak mengikuti jalannya divisi Championship, ini adalah kesempatan untuk sedikit melihat seperti apa permainan Wilfried Zaha.

Tak pelak, ketika industri sepakbola meluas dan sudah dibahas dari berbagai macam sudut -- entah ekonomi atau perkembangan secara taktik dan strategi -- turnamen level junior semisal Piala Eropa U-21 ini pun ikut jadi perhatian. Satu sampai dua dekade lalu, mungkin tidak terbayangkan bahwa turnamen level junior jadi perbincangan hangat di media sosial atau bahan obrolan santai di sudut-sudut kafe.

Anda bisa jadi mengatakan bahwa Si Pemain A akan jadi bintang masa depan. Siapa tahu penilaian Anda benar. Mungkin juga, Anda akan menilai bahwa sebuah tim nasional bakal jadi besar di masa depan, hanya karena begitu banyaknya bakat melimpah di tim junior mereka. Siapa tahu penilaian Anda benar lagi.

Toh, memang banyak pemain-pemain tenar berangkat dari turnamen-turnamen level junior seperti ini -- dan memang sudah semestinya demikian. Tahun 2011, David De Gea begitu kokoh mengawal gawang Spanyol dan lihat dirinya sekarang. Jauh sebelum itu, Piala Eropa U-21 juga pernah diisi oleh nama-nama semisal Mesut Oezil, Mats Hummels, Iker Casillas hingga Andrea Pirlo dan Luis Figo mengawali langkah mereka di level internasional pada turnamen ini.

Bek andalan Manchester City, Pablo Zabaleta, pernah bermain di Piala Dunia U-20 pada 2003 dan 2005. Sementara Erik Lamela, yang kini jadi bintang AS Roma, adalah mantan anggota skuat 'Tim Tango' di Piala Dunia U-20 tahun 2011. Mereka yang disebutkan di sini tentunya hanyalah sebagian kecil saja.

Sedangkan pada perhelatan Piala Eropa U-21 kali ini, Anda bisa pura-pura menjadi cenayang dengan memprediksi siapa di antara nama-nama berikut ini yang akan jadi bintang di masa depan. Mulai dari Alessandro Florenzi, Riccardo Saponara, Giulio Donati, dan Nicola Leali di Italia, hingga Havard Nordveit di Norwegia. Atau mungkin mau mengagumi Lewis Holtby, yang beberapa hari lalu mencetak gol bagus -- di mana dia menerima lemparan ke dalam di sisi sayap, mengitari separuh kotak penalti, sebelum akhirnya melepaskan tembakan terarah -- ke gawang Belanda.



Di sisi lain, turnamen seperti ini membuat Anda bisa menilai sebagus apa sumber daya sebuah tim (negara). Spanyol misalnya, masih membuat nama-nama seperti De Gea dan Thiago Alcantara harus bermain di level U-21 lantaran tidak kebagian tempat di tim senior. Sementara Belanda menunjukkan, meski Eredivisie tidak ada di posisi lima besar teratas liga Eropa, mereka tidak kehabisan talenta.

Cor Pot memanggil nama-nama seperti Ricardo Van Rhijn, Stefan de Vrij, Bruno Martins Indi, Daley Blind, Jordi Clasie, Ola John, Adam Maher, hingga Giorginio Wijnaldum dan Kevin Strootman. Di antara nama-nama itu, hanya Strootman, Wijnaldum, dan Blind yang berusia di atas 21. Hebatnya, mereka sudah menjadi andalan di tim masing-masing dan sudah beberapa kali diseleksi (atau dipanggil) oleh tim senior.

"Ketika saya ditunjuk menjadi pelatih, saya memang diminta untuk memberikan lebih banyak kesempatan untuk pemain-pemain muda," ujar pelatih timnas senior Belanda, Louis van Gaal, di Jakarta beberapa hari lalu. Media-media Belanda pun lebih antusias untuk membahas kiprah tim U-21 ketimbang timnas senior mereka yang sedang melakukan tur ke Indonesia dan China.

Bagaimana dengan Inggris? Layaknya timnas senior mereka, The Three Lions adalah yang paling keteteran. Dua kekalahan, dari Italia dan Norwegia, membuat mereka tersingkir cepat di Piala Eropa U-21 kali ini. Lain halnya dengan Spanyol, Belanda, dan Italia yang seperti kelebihan pemain muda bagus, Inggris justru kesulitan. Minimnya jam terbang untuk pemain-pemain muda lokal di level klub pun disinyalir jadi sebab.

Sementara pendapat lain mengatakan bahwa talenta-talenta Inggris sebenarnya tidak buruk-buruk amat. Nama-nama seperti Zaha, Tom Ince, Jack Butland, hingga Steven Caulker, dan Craig Dawson sebenarnya relatif bagus. Hanya saja, Stuart Pearce dituding tidak bisa meracik taktik yang oke. Permainan Inggris dinilai monoton.

Oleh karenanya, jangan heran jika sehabis kekalahan dari Norwegia membuat orang-orang Inggris di media sosial misuh-misuh pada Pearce. Jangan heran pula jika beberapa tahun silam wajah Pearce sempat jadi bahan olok-olok di kolom "The Gallery" dari media Guardian.

Indonesia vs Belanda Di Lapangan Hijau


Dulu, saat mengalami masa kejayaannya, hubungan timnas Indonesia dengan Belanda tidak sebersahabat seperti saat ini. Soekarno sering mengutarakan retorika yang menguatkan kebencian kepada Belanda.

Terkadang sepakbola menjadi pelampiasan kebencian itu. Jika tahu hanya gara-gara urusan jersey saja timnas mengalah kepada Belanda, Soekarno mungkin akan marah betul. Wajar saja, kala itu stereotype bangsa yang pandir dan inlander goblok ingin berusaha dikikis oleh Soekarno melalui sepakbola.

"Kau Gareng, lawan si Belanda itu. Dan Tunjukkan bahwa bangsa Indonesia itu bangsa yang besar. Tunjukkan bahwa kita bukan bangsa tempe!" cetus Bung Karno dengan memakai celana piyama biru, kaos oblong dan tanpa kopiah kepada kapten timnas, Soetjipto 'Gareng' Soentoro, di Istana Negara, pada suatu hari di tahun 1965.

Ucapan Bung Karno itu ditanggapi semua pemain dengan manggut-manggut. "Bayangkan Bung, para pejuang kemerdekaan itu berjuang mempertaruhkan darah dan nyawa, kita cuma keringat dan air mata," ucap Gareng kepada teman-temannya menanggapi kata-kata Soekarno [dari buku Cardiyan HS. berjudul 'Gareng Menggiring Bola'.]

Adegan di atas terjadi saat seluruh anggota timnas diajak Maulwi Saelan menemui Bung Karno sesaat sebelum mereka terbang ke Eropa. Kepergian mereka guna lawatan ujicoba melawan tim-tim kuat Eropa sebagai persiapan menghadapai Ganefo dan Asian Games tahun 1966.

Selama berbulan-bulan, timnas berkeliling ke berbagai negara Eropa. Negeri yang pertama dikunjungi adalah bekas penjajah kita yaitu Belanda. Hari Rabu 9 Juni 1965, timnas harus berjibaku dengan juara Liga Belanda musim kompetisi 1964/1965, Feyenoord.

Saat menghadapi Indonesia, Feyenoord tahu betul siapa lawan yang mereka hadapi. Malu rasanya kalah dari negeri bekas jajahan. Karenanya tak tanggung-tanggung, Feyenoord menurunkan semua pemain intinya. Sayangnya, Belanda tetap sombong. Dipimpin oleh sang kapten Guus Haak -- meluruskan informasi yang banyak beredar kalau saat itu kaptennya adalah Guus Hiddink --, Feyenoord tak bermain serius di awal babak pertama.

Intruksi Bung Karno untuk menghajar Belanda dilakukan betul oleh para pemain kita. Para pemain bermain kesetanan. Baru dua menit pertandingan berjalan 'Si Gareng' berhasil mencetak gol cantik dengan melewati tiga bek Feyenoord sekaligus. Londo itu terkaget. Tak ayal Indonesia pun digempur habis-habisan di babak pertama. Performa ciamik Yudo Hadianto yang mengawal gawang timnas berhasil membuat sor 1-0 dapat dipertahankan hingga akhir babak pertama.

Sayangnya, di babak dua Indonesia dijahili habis-habisan oleh wasit. Dua gol penalti di awal babak kedua membuat mereka down. Tak ayal, dalam waktu beberapa menit, Yudo terpaksa memungut bola di gawangnya sebanyak empat kali. Alhasil selama 90 menit waktu berjalan, timnas kebobolan 6 gol, yang membuat pertandingan berkesudahan 6-1 bagi Londo-londo itu. (Majalah Aneka edisi Juli 1965)

Tak terima, kekalahan ini bagi Gareng lebih disebabkan faktor wasit yang berat sebelah akibat adanya tekanan unsur politis. Dua hukuman penalti bagi Indonesia adalah buktinya. "Dua kali pelanggaran tak berbahaya, dua kali dihukum penalti. Ini kemenangan politik yang dipaksakan," keluhnya.

Unsur politik memang terasa betul di pertandingan tersebut. Konflik antara pemerintah Belanda dan Indonesia merembet hingga sepakbola. Belum lepas ingatan orang akan perebutan Irian Barat. Tahun 1960-1963, saat itu dua negara harus rebutan pemain sepakbola yaitu pemain Irian Barat yang bernama Dominggus.

Dominggus mampu mencuri hati publik sepakbola Belanda. Saat melawan Feyenoord, decak kagum penonton diberikan kepada pemain yang berposisi sebagai winger ini. Akan tetapi, kekalutan tim terjadi sesudah laga itu. Dominggus tak pulang ke hotel, banyak orang menyangka dia diculik. Intelejen pun mulai dipekerjakan untuk mencari Dominggus.

Pencarian Dominggus diserahkan kepada kedutaan besar, karena tim harus bertolak ke Jerman Barat, Dominggus pun ditinggal. "Ia sekamar dengan saya waktu di Belanda. Dia pergi malam-malam dan tak pernah kembali. Tasnya pun ditinggal di hotel," kata Max Timisela rekan satu tim Dominggus, dalam interview dengan Pandit Football beberapa waktu lalu.

Beberapa hari kemudian, berita mengejutkan datang kepada tim yang ada di Bremen. Dominggus dinyatakan membelot, menolak pulang ke Indonesia. Dia ditawari oleh pelatihnya yang orang Belanda untuk tinggal dan menjadi warga negara Belanda. Diiming-imingi oleh janji setinggi langit dari pemerintah Belanda, Dominggus memilih melupakan Indonesia.

Kejadian ini membuat kekesalan terjadi di Jakarta. Demonstrasi besar-besaran terjadi kepada pemerintah Belanda akibat aksinya yang membuat Dominggus membelot. Belum lama luka atas Irian Barat, Belanda kembali menuai genderang perang melalui sepakbola. Soekarno pun geram dan melayangkan surat protes, mengecam kerajaan Belanda. Tapi respons yang didapat ya begitu saja: Belanda hanya mangut-mangut. Masuk telinga kanan, keluar telinga kiri.

Saat bertemu Gareng di tahun 1978, Dominggus ternyata tak jadi pesepakbola ternama. Ia hanya diperkerjakan sebagai buruh di perusahaan Phillips. Tapi beruntung nian dia. Dominggus mendapatkan istri wanita Belanda. Kala itu dia sudah memiliki tiga anak. Kepada Gareng ia pun bangga dengan keputusannya kala itu. Gara-gara Belanda, pemain sayap ini enggan balik lagi ke tanah leluhurnya.

Soekarno tahu betul bahwa suatu bangsa bisa naik harkat derajatnya dengan olahraga. Karenanya ia menanamkan paham betul-betul itu di dalam dada semua pemain,yaitu semangat kebangsaan. Ia tegaskan bahwa berjuang lewat olahraga adalah suatu hal yang tak kalah hebatnya dengan berjuang menenteng senjata. Karenanya ia kesal melihat tingkah Belanda yang belagu kala itu.

"Bahwa kami bukanlah lagi penduduk kelas kambing yang berjalan menyuruk-nyuruk dengan memakai sarung dan ikat-kepala, merangkak-rangkak seperti yang dikehendaki oleh majikan-majikan kolonial di masa yang silam," katanya.

Semangatnya itu membuat para pemain tampil habis-habisan di setiap laganya. Tak hanya saat di Belanda. Di Jerman, Yugoslavia dan Cekoslovakia pun timnas tampil cukup memuaskan. Selain pengalaman, fisik dan ilmu yang didapat. Pemain pun berhasil mengenalkan Indonesia ke masyarakat Eropa melalui "sepakbola". Semangat mau berkorban, mau berjuang dan mau bersabar tak bisa dibebankan kepada pemain saja. Seluruh elemen baik itu penguasa yang berkuasa, pengurus PSSI, bahkan suporter sendiri harus memiliki etos tersebut.

Apakah hasil yang didapat setelah pulang dari Eropa zaman itu? Hasilnya cukup lumayan. Selama kurun beberapa tahun Indonesia kembali disegani di Asia. Tercatat Indonesia menjadi semifinalis Asian Games 1966, Juara Aga Khan Goldcup 1966 dan 1968, Juara Merdeka Games 1969 dan Juara Kings Cup 1968. Di masanya kejuaraan-kejuaraan itu adalah turnamen bergengsi yang selalu diikuti negara-negara kuat Asia.

Sekarang?