\

Selasa, 19 Maret 2013

Sepakbola Tidak Pulang Ke Rumahnya


"Football Come Home" kata Inggris ketika mereka menghelat Piala Eropa pada 1996 silam. Jika mengiyakan dan mengangguk setuju pada slogan tersebut, maka bisa dikatakan sepakbola tidak pulang ke rumahnya musim ini.

Satu bulan penuh kegembiraan, demikian salah satu kalimat dalam artikel di BBC menggambarkan keriuhan perhelatan Piala Eropa 17 tahun lalu itu. Inggris yang menyebut diri mereka sebagai penemu dan ibu dari sepakbola dengan berani menyematkan slogan tersebut. Padahal tidak ada trofi pernah mampir ke tangan mereka lagi setelah Piala Dunia 1966 --yang juga dihelat di rumah sendiri.

Alan Shearer menggambarkan Piala Eropa 1996 sebagai turnamen terbaik yang pernah ia jalani dalam delapan tahun karier internasionalnya. Atmosfernya menakjubkan, demikian dia bilang. Kendati pun Inggris gagal jadi juara, Shearer mengungkapkan betapa bersenang-senangnya (publik) Inggris sepanjang tim nasional mereka melaju.

The Three Lions hanya melaju sampai semifinal dan dihentikan hantu yang sudah lama menunggui mereka: adu penalti. Mereka tidak (atau belum) pernah lagi melaju sampai atau lebih jauh dari itu di turnamen-turnamen internasional berikutnya.

Ada teori beragam mengapa Inggris yang mengaku-ngaku sebagai ibunya sepakbola itu selalu keteteran di turnamen internasional. Salah satu teori yang beredar di medio 90-an adalah tiadanya pemain-pemain Inggris yang berani bermain di luar negaranya sehingga membuat Paul Gascoigne dan Paul Ince seperti barang langka. Ada juga yang melontarkan pendapat pemain-pemain Inggris tidak cukup bagus. Sementara, teori lain mengatakan bahwa taktik dan strategi Inggris sudah kelewat usang. Mereka pun tidak mampu bersaing dengan tim-tim Eropa daratan.

Teori yang terakhir itu bahkan menjalar ke level klub. Ambil contoh Manchester United, sebagai klub Inggris yang paling jauh melangkah di kompetisi antarklub Eropa pada zaman itu. United boleh begitu dominan di kancah domestik, tapi begitu bertemu Juventus yang bermaterikan Zinedine Zidane, Vladimir Jugovic, Didier Deschamps, hingga Alessandro Del Piero dan Alen Boksic bakal lain ceritanya. United boleh jadi raja di Inggris, tapi beda ceritanya ketika bertemu Borussia Dortmund yang berisikan Matthias Sammer, Andy Moeller, Paulo Sousa hingga Stephane Chapuisat dan Karl-Heinz Riedle. Pernah dalam suatu wawancara, Alex Ferguson yang belum bergelar Sir, menyebut bahwa Liga Champions adalah gunung yang begitu tinggi untuk didaki.

Inggris kaku dan mati terhadap sepakbola interkontinental. Hal ini bak menegaskan sifat dan asal-usul mereka yang kolot dan naif dalam memainkan sepakbola. Bukan rahasia apabila gaya lama kick and rush kerap kerepotan ketika harus bertemu tim-tim raksasa lainnya di Eropa. Kendati Inggris 1966 adalah pengcualian.

Ketika tak ada satu pun klub Inggris yang lolos ke babak perempatfinal Liga Champions musim ini, bayang-bayang mengenai kenaifan dan kekolotan itu muncul lagi. Jangan-jangan sepakbola Inggris mundur lagi? Bisakah demikian? Yang jelas, Arsene Wenger sudah menyebutnya sebagai alarm tanda bahaya.

Mungkin klub-klub Inggris tidak sekolot itu. Toh, mereka sudah tidak main kick and rush yang asal tendang jauh-jauh dan lari sekencang-kencangnya. Tapi naif, bisa jadi iya. Soal yang satu ini Manchester City bisa jadi penggambaran. City, si juara liga yang tergabung satu grup bersama juara liga lainnya, tidak mampu lolos dan bahkan jadi juru kunci. Okelah, ketika mereka harus kerepotan kala berjumpa Real Madrid dan Dortmund, namun bagaimana dengan Ajax Amsterdam?

Ajax adalah mantan juara Eropa yang kini tengah membangun diri dari kepingan masa lalunya. Meski untuk berdiri mereka harus susah-payah dan menerima nasib sebagai feeder club untuk raksasa-raksasa lainnya. City, yang diisi oleh pemain-pemain istimewa (saya jelas tidak bisa bilang David Silva, Carlos Tevez, Sergio Aguero, dan Yaya Toure biasa-biasa saja), tidak satu kali pun bisa menundukkan Ajax.

Ketika para pendukung Ajax menyebut laga melawan City sebagai perlawanan terhadap sepakbola modern, saya menyebutnya sebagai laga antara tim yang dibangun berdasarkan kemampuan individu pemainnya melawan tim yang taktik sepakbolanya sudah mengakar kuat. City, mungkin dengan naifnya, berpikir bahwa untuk menguasai sepakbola Eropa beli saja pemain-pemain terbaik. Pasang taktik bagaimanapun tidak masalah. Tapi, teori itu terbukti salah di hadapan Ajax.

Roberto Mancini dengan teledornya memasang tiga orang bek pada pertemuan di Amsterdam ArenA. Padahal, Ajax adalah tim yang sedari level junior sudah memakemkan dan memaku gaya pada formasi 4-3-3. Ya, dengan tiga orang penyerang.

City menanggung akibatnya. Mereka takluk 1-3 di pertandingan itu. Taktik tiga bek tersebut dikritisi oleh Micah Richards, sementara Mancini mengakui kesalahannya dalam memasang formasi. Pada kesempatan lain di kompetisi domestik, Mancini biasa mengubah formasi tiga bek menjadi empat bek di tengah laga. Namun, tidak pada laga melawan Ajax itu. Dia pun mendapatkan pelajarannya.

Yang juga setali tiga uang dalam soal kenaifan itu adalah rival sekota City, United. Bukan rahasia apabila United, selepas 2009, kerap repot ketika harus bertemu dengan tim-tim dengan taktik mumpuni dan disesaki pemain dengan teknik bagus. Final Liga Champions 2011 bisa dikatakan demikian. Dan itu terjadi lagi ketika mereka bersua Real Madrid di perempatfinal musim ini.

United bingung ketika harus menjaga yang mana di antara salah satu nama berikut ini: Mesut Oezil, Cristiano Ronaldo, Angel Di Maria, Sami Khedira, Xabi Alonso, hingga Karim Benzema. Di Santiago Bernabeu, hanya Benzema yang relatif mati, sementara yang lainnya bebas bergerak bertukar posisi. Hanya saja, mereka sukses mencuri hasil 1-1 pada laga tersebut.

Di Old Trafford, satu kartu merah Nani membuyarkan segalanya. Tapi, benarkah demikian? Setelah kartu merah Nani, United yang sudah unggul 1-0 itu memang lebih banyak bertahan, mengumpulkan diri mereka di depan boks penalti. Hanya saja, mereka naif ketika tidak menyadari ada cara lain untuk membobol tembok di depan boks itu: tendangan jarak jauh. Cara ini kemudian dilakukan dengan apik oleh Luka Modric. Melihat gol Modric, saya pun teringat gol Lionel Messi dan David Villa di final Liga Champions 2011.

Satu gol itu bak meruntuhkan mental United. Mereka pun kebobolan satu gol lagi lewat Cristiano Ronaldo dan akhirnya tersingkir. Jika pertandingan itu berjalan 11 lawan 11 bisa jadi ceritanya lain, namun United sendiri kebobolan gol yang mungkin bisa terjadi ketika laga berjalan 11 lawan 11. "mungkin"?

Chelsea dan Arsenal tidak jauh berbeda. The Blues kerepotan ketika bertemu Juventus di fase grup, sementara The Gunners tidak mampu berbuat banyak di hadapan Bayern Munich --meski usaha mereka mengejar pada leg II di Allianz Arena patut diapresiasi. Namun, seperti yang dikatakan Wenger, mereka harus membayar mahal permainan mereka di leg pertama.

Alhasil, ketika babak perempatfinal diundi di Nyon pekan lalu, yang ada hanyalah tiga tim Spanyol, dua tim Jerman, satu tim Italia, satu tim Prancis, dan satu tim Turki. Padahal, final akan diadakan di London, di Wembley, rumah dari mereka yang mengaku sebagai asal-usulnya sepakbola. Getir.

Ada pesta di rumahmu, tapi kamu sendiri tidak diundang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar