\

Kamis, 09 Mei 2013

Hilangnya Sebuah Kepastian


Pagi itu penggemar Manchester United bangun dengan mewujudnya sebuah kekhawatiran, Sir Alex Ferguson mundur. Ada kesedihan, gelisah, galau, kelu dan bahkan lelaki dewasa dengan tak malu menangisi kepergiannya.

"Is only football (hanya sepakbola), no one died (tak ada orang meninggal)," seorang pemandu acara sebuah radio hampir berteriak saking jengkelnya. Memang. Tetapi si pemandu acara itu lupa betapa stasiun radionya bersama media lain (bukan saluran olahraga) telah bertindak sebaliknya. Pengunduran diri itu menjadi berita utama sepanjang hari. Program khusus dan eulogi ditayangkan layaknya mengiringi prosesi kematian. Bahkan menggeser pidato kenegaraan tahunan Sri Ratu.

Di era modern sepakbola belum pernah media massa secara bersamaan meluangkan sedemikian besar waktu dan halaman untuk membahas pengunduran diri seorang pelatih sepakbola. Hanya mengundurkan diri dan bukan meninggal. Bahkan yang meninggalkanpun tak pernah mendapat porsi sebesar ini.


Ada sejumput permakluman. Sir Alex Ferguson suka atau tidak adalah salah satu tokoh berpengaruh persepakbolaan Inggris dalam seperempat abad terakhir. Kesuksesan industri persepakbolaan Inggris banyak berutang budi padanya. Dan liputan "yang berlebihan" itu adalah bagian industri sepakbola yang turut ia bangun.

Tetapi Anda tahu, Sir Alex Ferguson bagi penggemar Man United bukan sekadar pelatih sepakbola yang sukses, bukan sekadar membangkitkan kejayaan Man United, bukan pula sekadar penggugah sekaligus tiang pancang kerajaan bisnis miliaran dollar. Lupakan itu semua. Bukan itu yang penting bagi mereka.

Manusia satu ini dipuja karena dianggap mampu menciptakan sebuah probabilitas menjadi sedemikian besar hingga mendekati kepastian. Mendekati janji yang tak pernah ingkar.

Ia mewujudkan probabilitas itu lewat lima atau enam tim yang ia bangun ketika bertakhta. Orang akan selalu mengingat tim yang memenangi Piala FA dan kompetisi Liga Primer tahun 1994 yang begitu seimbang di segenap lini, semangat tak pernah mati dari tim pemenang Treble tahun 1999, atau ketika trisula Wayne Rooney, Cristiano Ronaldo, dan Carlos Tevez menjadi tulang punggung tim untuk memenangi Liga Champions tahun 2008.

Musim semi disambut gembira pendukung Manchester United setiap tahunnya bukan karena kehangatan yang perlahan meresap mengganti dingin, tetapi kepastian memetik janji datangnya piala ke Old Trafford. Selama dua dekade terakhir ia, Alex Ferguson, hampir-hampir tak pernah lalai.

Mundurnya Sir Alex mencerabut kepastian. Itu yang ditangisi, digelisahkan, digalaukan oleh pendukung Man United. Setelah terjebak rutinitas kepastian selama lebih dua puluh tahun kini mereka, sama seperti pendukung klub lain, dihadapkan sebuah ketidakpastian.

Bagi pendukung Man United yang berusia 30 tahun ke bawah situasi ini lebih sulit lagi. Selama ini mereka hanya mengalami kejayaan. Mereka tidak mengerti dan merasakan betapa pahitnya masa 26 tahun, setelah begitu perkasa di tahun 1960-an, melompong prestasi. Tahun 1970-an dan 1980-an adalah masa kelam ketika mereka hanya memenangi tiga Piala FA. Bahkan sempat terdepak ke divisi dua.

Tidak mengherankan kalau yang menangis dalam wawancara radio adalah anak muda berusia 25 tahun.

"Memang hanya sepakbola. Tetapi ini menjadi bagian penting dalam hidupku. Sepakbola hingga saat ini memberiku kebahagiaan lebih dari yang lain," katanya. "Saya hanya tahu Sir Alex. Sekarang seperti ada lobang dalam hidupku. Seperti ada anggota keluarga yang meninggal."

Seperti halnya tokoh besar lainnya, Alex Ferguson memang memecah pendapat. Pribadi yang menarik dan sering kali kontroversial.

Sifat kompetitifnya misalnya, bisa muncul seperti monster yang menakutkan. Tak segan untuk mengeluarkan pernyataan yang membuat kuping panas bagi lawan.

"My greatest challenge was knocking Liverpool right off their f*cking perch. And you can print that –Tantangan utamaku adalah menendang Liverpool dari takhta mereka. Dan kamu bisa tulis itu," ucap Ferguson kasar suatu ketika mencerminkan panasnya persaingan antara Liverpool dan Man United.

Tetapi adalah Ferguson pula yang pertama kali menelpon Kenny Dalglish agar tabah dan menawarkan bantuan ketika Tragedi Hillsborough terjadi. Ia pula yang pertama kali menengok Gerard Houlier ketika pelatih asal Prancis itu menjalani operasi jantung. Dua-duanya dilakukan tanpa publikasi dan baru diketahui publik jauh sesudah peristiwa lewat. Baginya persaingan klub menjadi nomor dua dibanding persoalan kemanusiaan.

Di pinggir lapangan ia bisa saling bersitegang dengan manajer klub lawan hingga seperti mau berkelahi fisik. Tetapi kebiasaannya untuk santai membahas pertandingan bersama dengan lawan bersitegangnya di pintu tertutup sambil berbagi segelas dua gelas anggur sudah menjadi legenda. Ia juga dikenal ringan tangan memberi bantuan manajer-manajer muda setiap kali diminta. Tak heran kalau ia bersahabat dan dihormati manajer-manajer lain di seluruh Eropa.

Tidak akan ada habisnya kalau kita harus membahas pribadi Sir Alex Ferguson ini. Selama 26 tahun menjadi manajer Man United dan 12 tahun sebelumnya di Skotlandia, tak terelakkan ia pasti punya banyak lawan atau kawan. Satu saja yang sama, semua menghormatinya. Semuanya mempunyai kenangan sendiri-sendiri.

Bagi saya pribadi, kepergian Sir Alex Ferguson meninggalkan kenangan romantis. Berulang kali di musim semi saya mengantar istri, ia pendukung Man United, untuk menonton pertandingan (berpesta) di Old Trafford di akhir-akhir musim kompetisi. Menagih janji kepastian dari Sir Alex.

Berjalan dari stasiun Metro Old Trafford menyusuri Brian Statham Way lalu ke Warwick Road saya bisa merasakan degup jantungnya yang semakin keras. Ayunan langkahnya semakin cepat dan tak sabar. Begitu sampai ke Sir Matt Busby Way ketika lautan merah mulai mengarus padat menuju gerbang Old Trafford, genggaman tangannya tak ia sadari menguat.

Adalah lucu bahwa selanjutnya ia tidak pernah bisa mengingat secara rinci apa yang kemudian terjadi. Ia seperti trance dan ekstase ketika menonton pertandingan. Ia tak ingat lagi betapa suaranya serak karena terus menerus bersorak. Kegembiraan yang terlalu meluap. Janji-janji yang tuntas terpenuhi. Saya sendiri? Cukuplah saya bahagia dengan kegembiraan yang tergurat di wajah istri saya. Kenangan yang akan saya bawa selama hayat di kandung badan.

Terima kasih, Sir Alex.

Glory - Glory Man United

Tidak ada komentar:

Posting Komentar