KETEGANGAN hubungan Indonesia-Australia tidak sebatas penyadapan terhadap komunikasi telepon Presiden Susilo Bambang Yudhoyono serta sejumlah menteri, tapi sudah merambat ke dunia maya (cyber). Para peretas kedua negara adu kekuatan. Perang cyber dimulai?
Kisahnya bermula dari pemberitaan koran Sydney Morning Herald pada akhir Oktober lalu yang mengungkap tentang aksi mata-mata Australia melalui penyadapan komunikasi telepon pejabat Indonesia. Bukan hanya pemerintah Indonesia yang marah, tapi juga para peretas.
Mulailah Anonymous Indonesia, identitas sekelompok peretas asal negeri ini menyerang sejumlah situs di Australia yang diambil secara acak. Bukan situs besar. Tapi hingga terakhir, jumlahnya dikabarkan mencapai 170 situs. Pesan yang ditempelkan pada halaman muka hasil bajakan jelas. Di antaranya: "Don’t touch my country INDONESIA; Stop Spying On Indonesian".
Para peretas Australia tidak tinggal diam. Melalui video yang diunggah ke Youtube, mereka ikut menebar ancaman.
Beberapa situs disebut bakal diserang, di antaranya situs milik KPK dan pemerintah Indonesia. Bahkan belakangan, situs Garuda Indonesia dan BRI sempat down, diduga akibat serangan para peretas Australia.
Menanggapi situasi ini, ahli telematika Dr Agung Harsoyo mengatakan ketegangan yang terjadi antara peretas Indonesia dan Australia itu belum bisa dikategorikan sebagai perang cyber atau Cyber War. Kata dia, aksi tersebut hanyalah bersifat sporadis, sehingga tidak terlalu masif dampaknya.
"Buat saya, dilihat dari dampaknya, belum ada yang terlihat masif," ujar alumni Institut Teknologi Bandung ini, yang diwawancarai Plasadana.com untuk Yahoo Indonesia. "Tidak seperti yang terjadi di Estonia pada 2007 lalu yang benar-benar lumpuh total akibat serangan cyber yang diduga dilakukan oleh Rusia."
Doktor dari Université de Bretagne Sud, Paris, Prancis tersebut mengatakan, serangan oleh sekelompok peretas Indonesia merupakan reaksi spontan. Bukan dilandaskan semangat nasionalisme sebagaimana yang diungkapkan oleh Anonymous Indonesia.
"Mungkin sekalian belajar dan coba-coba melakukan hacking," ungkapnya sambil tertawa.
Selain itu Kepala Laboratorium Sistem Kendali dan Komputer, Sekolah Teknik Elektro dan Informatika (STEI) ITB itu juga mengungkapkan bahwa dalam dunia peretasan, kemungkinan bersatunya para peretas sangat mungkin terjadi. Walaupun mereka berada di dunia virtual alias tidak pernah bertemu langsung, biasanya mempunyai komunitas tersendiri.
"Seperti hacker Cina yang pernaha bersatu dan bersama-sama menyerang situs-situs milik Jepang," ungkap Agung.
Oleh karena itu, ia mengimbau agar para pemilik situs baik itu pemerintah, perusahaan, organisasi ataupun pribadi sebaiknya memiliki sistem keamanan yang baik agar tidak rentan oleh serangan peretas. Setidaknya meminimalisasi dampak dari serangan tersebut.
Lebih jauh, ia mengungkapkan bahwa aksi saling retas antara hacker Indonesia dan Australia yang terjadi beberapa waktu kemarin tidak akan sampai berlarut-larut apalagi sampai bisa dikategorikan sebagai cyber war. Karena, menurut Agung kejadian kemarin hanyalah serangan sporadis dan reaksi spontan saja.
"tidak akan berlarut-larut karena kejadian kemarin kan hanya reaksi spontan saja. Lagian saya kira Indonesia sangat strategis bagi Australia, jadi tidak mungkin Australia mau lama-lama bersitegang dengan kita," jelas Agung.
Terkait dengan pemicu aksi peretas berupa penyadapan, mantan saksi ahli dalam persidangan Antasari Azhar tersebut menilai, sebenarnya aksi spionase sebuah negara terhadap negara lain hal yang wajar. Itu merupakan kerja intelijen yang seharusnya bisa diantisipasi dengan melakukan kontra intelijen.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar