Minggu, 13 Oktober 2013
Timnas U-19 Sebagai Investasi Sepakbola Indonesia
Ketika yang senior tak kunjung berprestasi, maka ketika sekumpulan remaja ini mempertontonkan permainan dan semangat bertarung yang menawan, mimpi dan harapan itu pun dipindahkan ke timnas U-19.
Sampai bulan lalu, tak banyak orang yang tidak tahu siapa itu Evan Dimas, Ilham Udin Armiyn, Maldini Pali, dan nama-nama lain di timnas U-19 itu. Tentu saja, karena mereka tidak beredar di kompetisi lokal yang mengusung cap profesional, yang lumrahnya mendapatkan ekspos besar dari media, dan dari mana pemain-pemain timnas diserap.
Anak-anak muda itu --mereka baru beberapa tahun melepas statusnya sebagai ABG (Anak Baru Gede)-- adalah anak-anak SSB, pemain-pemain amatir, berasal dari berbagai daerah, serta jauh dari gambaran bahwa pemain sepakbola adalah profesi yang mapan secara ekonomi.
Evan sang kapten, misalnya, ayahnya bekerja sebagai satpam sebuah pusat perbelanjaan; atau Muhammad Factur Rohman yang bapaknya berjualan pakaian; atau Maldini Pali yang orangtuanya "cuma" PNS; atau kiper Ravi Murdianto yang bapaknya bekerja sebagai sopir mobil box sales alat tulis.
Latar belakang keluarga selalu menjadi cerita menarik untuk diketahui, walaupun sejatinya bukan itu yang dicari oleh masyarakat Indonesia penggila sepakbola. Yang mereka tahu, sampai bulan lalu, anak-anak muda itu ternyata memperlihatkan sesuatu yang menjanjikan, yang selama ini entah terbang ke mana dari dunia sepakbola di tanah air: prestasi.
U-19 tentu saja bukan level yang prestisius, bahkan sampai U-21 sekalipun. Tapi sepakbola di level usia ini penting karena merupakan sebuah ukuran proses pembinaan dan perkembangan seorang pemain bola. Khusus buat Indonesia, yang mana istilah "pembinaan usia muda" dinilai jalan di tempat, keberhasilan "Garuda Muda" menjuarai Piala AFF U-19 membuka mata bahwa harapan itu selalu ada. Malahan itu menguatkan sebuah tesis bahwa dalam hal bakat, Indonesia memiliki bibit-bibit yang bisa bersaing dengan negara-negara lain. Dalam banyak turnamen yunior, rekam jejak anak-anak "Merah Putih" sesungguhnya terbilang bagus. Contoh paling akhir adalah, selain Piala AFF U-19, wakil Indonesia di Danone Nations Cup, yang disebut-sebut sebagai Piala Dunia-nya untuk anak-anak usia 10-12 tahun, berhasil menduduki peringkat kedelapan dari 32 negara.
Mengutip Coach Timo Scheunemann, Indonesia memang punya bibit-bibit yang unggul. Masalahnya, ceritanya bisa lain ketika para pemain itu mulai menapak ke jenjang yang lebih tinggi. Sistem pembinaan, yang disusul kemudian oleh kultur, iklim dan juga sistem yang dirancang dan dikelola oleh mereka-mereka yang memiliki otoritas membangun sepakbola di negeri ini, bisa menjadi sebuah pertaruhan di masa depan.
Timnas U-19 ini harus diakui memang sangat menjanjikan. Kalangan pengamat maupun masyarakat awam bersepakat bahwa tim ini bisa bermain, baik secara fisik maupun taktik. Pelatih Indra Sjafri, yang dikenal gemar blusukan ke pelosok-pelosok untuk mencari pemain-pemain muda berbakat, layak diberi credit point dalam hal ini.
Yang paling kentara adalah, euforia yang seketika terbentuk setelah tim ini menjuarai Piala AFF bulan lalu, mencerminkan betapa masyarakat kita haus dan dahaga pada prestasi. Kemenangan dan menjadi juara sudah lama menjadi mimpi besar bangsa ini di dunia sepakbola, setelah terakhir kali meraihnya 22 tahun silam. So so long ago.
Harus diakui, kecintaan masyarakat Indonesia pada timnasnya sungguh luar biasa, dan sering kali bikin geleng-geleng kepala. Pada sebagian orang, harapan untuk melihat timnas jadi juara tak pernah padam, betapapun berkali-kali itu pula mereka mesti kecewa. Maka timnas U-19 ini seperti oasis di gurun pasir, laksana matahari jam setengah enam pagi, yang datang untuk menyirnakan kegelapan malam.
Timnas U-19 ibarat superhero dalam komik-komik, yang kemunculannya selalu dinanti-nantikan publik di saat kejahatan merajalela. Ketika mereka datang, penonton bertepuk tangan, bernafas lega. Di ranah sepakbola Indonesia, miskin prestasi sudah seperti sebuah "kejahatan" yang harus dibasmi, supaya kelangsungan hidup sepakbola itu sendiri bisa berjalan dengan lebih baik. Dan timnas U-19 adalah superhero itu. Timnas U-23, yang punya peluang bergabung dengan mereka untuk membasmi kejahatan itu, sayangnya gagal. Mereka tak mampu menjadi juara di kandang sendiri di turnamen Islamic Solidarity Games di Palembang beberapa waktu lalu.
Lalu kualifikasi Piala Asia U-19 datang, panggilan tugas lagi untuk sang "pencerah", timnas U-19. Sejauh ini, performa mereka juga cukup bagus: menang 4-0 atas Laos, lalu menang juga 2-0 atas Filipina.
Malam ini (12/10) mereka akan memainkan partai paling krusial untuk memastikan apakah Indonesia bisa mengikuti Piala Asia U-19 tahun depan di Myanmar. Boleh jadi, baru kali ini sebuah pertandingan usia muda akan ditonton langsung oleh puluhan ribu suporter di Stadion Gelora Bung Karno. Ini bukan semata-mata karena lawannya adalah Korea Selatan, sang juara bertahan, raksasa dari Asia, sehingga para pemain memerlukan pemain ke-12 terbaiknya di dalam stadion. Namun, ini sekali lagi mengindikasikan betapa masyarakat ingin memiliki timnas yang bisa berprestasi, biarpun itu levelnya tidak "prestisius".
Tentu saja kita berharap nanti malam ada sebuah kenikmatan luar biasa setelah peluit panjang wasit berbunyi, bahwa Indonesia bisa menembus ke level Asia (di Piala Asia U-19 tahun depan).
Tapi saya juga yakin, kalaupun hasil lain yang berbicara, timnas muda ini akan tetap disayang. Toh mereka sudah memberi kesenangan tersendiri, yang mungkin belum bisa diberikan oleh kakak-kakaknya: ketulusan bermain, determinasi, dan permainan yang sudah taktis. Lagipula, harap dicatat, tim muda dibangun bukan untuk mengumpulkan piala-piala, melainkan sebagai investasi di masa depan.
Semoga kita bisa memelihara dengan baik calon-calon masa depan itu.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar