\

Rabu, 23 Oktober 2013

Emas di Tengah Gulita Sepak Bola Indonesia

Pemain Indonesia berselebrasi setelah membobol gawang Korea Selatan pada pertandingan kualifikasi Piala Asia U-19 di Stadion Utama Gelora Bung Karno, Jakarta, Sabtu(12/10/2013). Indonesia lolos ke putaran final Piala Asia U-19 yang akan berlangsung di Myanmar tahun depan, setelah menang dengan skor 3-2.


GENERASI emas yang hilang itu telah datang kembali. Ibu Kota Jakarta bernyanyi-nyanyi, Indonesia kemudian tertawa sambil menari-nari. Begitu juga dengan hiruk pikuk suporter dan 22 anak bangsa yang larut dalam kesenangan di bawah atap Stadion Utama Gelora Bung Karno, Jakarta.

Di berbagai pelosok Indonesia, waktu seakan berputar kembali menuju puluhan tahun lalu. Gambar-gambar Evan Dimas dan kawan-kawan muncul di mana-mana. Wajah mereka kemudian terpampang di seluruh halaman depan surat kabar nasional. Sama seperti ketika Indonesia sukses menjelma menjadi Macan Asia yang fenomenal.

"Sekarang kalian semua bisa menikmati kemenangan ini." Begitu kata pelatih Indra Sjafri seusai membawa timnas U-19 mengalahkan juara bertahan Korea Selatan 3-2 dalam lanjutan kualifikasi Grup G Piala Asia U-19 di SUGBK pada Sabtu (12/10/2013).

Kemenangan itu membawa Indonesia kembali berkesempatan untuk mendulang prestasi yang telah lama mati suri. Setelah sukses meraih gelar Piala AFF U-19 2013, Indonesia lolos ke putaran final Piala Asia dengan status juara grup dan tidak terkalahkan dari tiga pertandingan yang dilakoninya.

Meskipun ketika itu lawannya adalah Korsel, yang berstatus salah satu raksasa Asia, timnas U-19 tidak gentar. Mereka tetap berusaha untuk berjuang sekuat tenaga dengan diiringi doa ratusan juta rakyat yang masih haus akan prestasi sepak bola. Di mata mereka, semua lawan sama. Di hati mereka, tertanam keinginan teguh untuk menghidupkan kembali gairah penikmat sepak bola Indonesia.
 
Emas

Pukul 19.15 malam, dengan hati berdebar, sorotan mata Evan Dimas dan kawan-kawan menatap tajam ke arah lapangan. Maklum, meski tuan rumah, Indonesia memang bukan lagi raksasa Asia. Namun, tapak kaki mereka satu per satu tetap melangkah gagah menyusuri lorong pemain dengan diiringi gegap gempita dukungan dari puluhan ribu suporter Indonesia yang sudah memadati SUGBK.

Dua tim kemudian berbaris di dalam lapangan. Lagu nasional Korsel menggema lebih dulu. Giliran Indonesia, seluruh suporter tampak bersemangat menyanyikan lagu "Indonesia Raya". Di tengah tribun, berkibar bendera Merah Putih raksasa. Para pemain pun dengan khidmat menyanyikan lagu sambil meletakkan tangan di dada.

Begitu peluit dibunyikan wasit Mohammad Amirul Izwan asal Malaysia, para pemain Indonesia seakan menunjukkan kemampuan tersembunyinya. Gebrakan para penggawa skuad Garuda Jaya membuat permainan Korsel sempat dilanda ketegangan, dan Indonesia terlihat sukses membuat sang juara bertahan turun satu kelas.

Menit ke-30, gol! Bukan ke gawang Indonesia, tapi kiper Lee Tae-hui-lah yang merana. Si pencetak gol, Evan Dimas, kemudian berlari gembira ke pojok lapangan sembari mengucapkan syukur di tengah derasnya hujan yang mengguyur Jakarta. Pertandingan semakin sengit di saat Korsel mampu menyamakan kedudukan lewat penalti Seol Tae-su satu menit setelahnya.

Guyuran hujan kemudian seakan membawa berkah bagi para pemain timnas U-19 ketika umpan tarik Maldini Pali diteruskan dengan aksi Evan Dimas yang menendang bola masuk ke gawang Korsel, 2-1 untuk Indonesia di menit ke-49. Euforia tercipta di 10 menit tersisa karena torehan ketiga Evan Dimas serta gol balasan dari Hu Meong-hwon membuat papan skor raksasa di SUGBK terpampang skor 3-2 untuk Indonesia.

Begitu peluit panjang wasit dibunyikan, para pemain Korsel terpana. Penggawa Garuda Jaya berpesta. Rasa haru pun pecah bersamaan dengan histeria puluhan ribu suporter dan jutaan penonton televisi nasional di seluruh pelosok negeri yang tumpah ruah setelah melihat perjuangan para talenta emas sepak bola Indonesia.

Gulita

Di malam itu, perjuangan timnas U-19 kembali membuktikan kepada kita bahwa jutaan anak bangsa dari Sabang hingga Merauke mempunyai potensi dan semangat besar dalam urusan mengangkat harkat martabat negara melalui sepak bola. Potensi yang selama ini terpendam karena berbagai masalah yang menerpa sepak bola Indonesia.

Pertanyaan besar kini, bagaimana nasib para pemain muda timnas U-19 setelah meraih kesuksesan itu? Jangan buru-buru terbuai jika pengurus sepak bola Indonesia berjanji untuk mengamankan talenta muda Indonesia. Sebelum menjawab pertanyaan itu, ada baiknya kita melihat sistem kompetisi di negeri ini dulu yang mencerminkan ulah orang yang seharusnya mengurus sepak bola.

Maklum, berbicara nasib para pemain muda sejatinya tidak pernah lepas dari langkah para pengurus sepak bola itu merancang sistem kompetisi yang sehat dan mumpuni. Selain ukiran prestasi timnas U-19, sudah banyak juga bukti negeri ini telah diberkahi anugerah oleh Tuhan dengan talenta-talenta sepak bola berlimpah.

Teranyar, lihat saja, bagaimana wakil Indonesia di Danone Cup 2013 sukses menduduki peringkat ke delapan dari total 32 peserta. Belum lagi melihat anak-anak muda berjuang mengharumkan nama bangsa di Gothia Cup 2013 yang sukses menempati posisi kedua di level usia U-14.

Masalahnya, mengapa bibit-bibit unggul itu selalu seperti tenggelam jika sudah meninggalkan status kelompok umur untuk beralih ke jenjang senior yang hingga kini masih miskin prestasi?

Sejenak, mari kita tengok kesuksesan para pemain muda Indonesia ketika mampu meraih Piala Asia Yunior pada 1962 serta kegemilangan mereka meraih tiga gelar Piala Pelajar Asia berturut-turut pada 1984, 1985, dan 1986.

Prestasi itu kemudian mampu berlanjut ke tingkat senior. Lihat saja bagaimana kehebatan Indonesia diakui oleh lawan-lawannya dalam turnamen Sea Games era 1980 hingga 1990-an. Medali emas turnamen terbesar se-Asia Tenggara itu pada 1987 dan 1991 pun berhasil digenggam tangan.

Sederet nama-nama besar seperti Ramang, Maulwi Saelan, Sutjipto Suntoro, Ronny Paslah, Iswadi Idris, Ronny Pattinasarany, Hery Kiswanto, Ricky Yacobi, dan sebagainya adalah bukti lainnya bahwa sepak bola Indonesia di level senior pernah ditakuti sejak 1950-an sampai awal 1990-an.

Namun, setelah emas terakhir di Manila, anomali prestasi terus menjamah kondisi sepak bola dalam negeri. Belum lagi, dengan adanya peleburan Perserikatan dan Galatama menjadi Liga Indonesia (Ligina) pada 1994 yang dianggap seperti jalan pintas, entah disadari atau tidak oleh para pengurus ketika itu, justru telah menimbulkan masalah besar bagi Indonesia.

Mau bukti? Tengoklah kondisi sepak bola Indonesia sejak digulirkannya liga tersebut. Bermula ketika klub-klub Galatama perlahan disingkirkan karena dianggap tidak profesional setelah dinilai gagal membangun basis suporter hingga ketergantungan klub-klub Perserikatan dengan APBD serta pemilihan pengurus-pengurus klub yang umumnya bersifat birokratis dan tidak profesional.

Setelah itu, kompetisi sepak bola Indonesia seakan bertransformasi menjadi ladang basah bagi pihak-pihak yang ingin mengincar keuntungan sesaat. Regulasi kompetisi diubah-ubah sedemikian rupa. Perencanaan keuangan menjadi tidak transparan. Sepak bola pun lebih sering menjadi komoditas politik untuk mendongkrak kepentingan para politisi ketimbang ajang pertarungan sehat di dalam lapangan demi secercah prestasi.

Alhasil, dari berbagai masalah tersebut, praktik pengaturan skor, pembinaan usia muda yang relatif tidak terjamah, pembangunan fasiltas sepak bola seadanya terus mencederai khitah olahraga yang dicintai oleh ratusan juta masyarakat Indonesia ini. Belum lagi, munculnya dugaan praktik korupsi para mafia sepak bola serta pengaruh kepentingan pengusaha-pengusaha besar dalam pusaran konflik para pengurus.

Aroma kepentingan non-sepak bola ini sebenarnya sudah tercium sejak lama. Ketika Indonesia masuk final Piala AFF 2010, misalnya, banyak pihak termasuk partai politik, saling mengklaim sebagai pihak yang berjasa. Ada yang mengundang tim makan bareng sebelum turnamen usai, entah dengan tujuan apa.

Di sisi lain, permasalahan kemudian tak jarang berimbas ke lapangan. Berkelahi, mengumpat wasit, hingga perkelahian antarsuporter adalah potret buram kondisi di kompetisi Indonesia. Secara tidak langsung hal itu pun pada akhirnya bermuara kepada mental para pesepak bola senior Indonesia, yang terkadang untuk latihan fisik saja sudah mengeluh dengan alasan yang mengada-ngada.

Doa

Melihat sejumlah fakta itu, rasanya pantas kita berpikir, di saat negara-negara Asia berlomba-lomba mengukir prestasi dengan kompetisi yang sehat dan mumpuni, Indonesia justru sempat mengalami sebuah kemunduran luar biasa karena ulah para pengurus sepak bola yang sudah mirip politisi ketimbang pamong olahraga sejati.

Prestasi sepak bola puluhan tahun lalu bisa berlanjut karena adanya kebesaran hati sejumlah pengurus yang mampu membangkitkan nasionalisme pemain yang juga membuat daya juang pemain meningkat. Pengurus rela hanya menerima honorarium selama pelatnas dan tidak menerima gaji tetap. Pengurus juga dapat merancang kompetisi sepak bola ke khitahnya sebagai tempat pengembangan sepak bola akar rumput.

Meskipun kini konflik antarpengurus sudah selesai. Itu belum berarti benang kusut sepak bola Indonesia sudah terurai. Perlu ada kebesaran hati dari para pengurus atau pemangku kepentingan sepak bola untuk membenahi sistem kompetisi yang dapat menjadi wadah para talenta-talenta muda Indonesia berkiprah. Kompetisi sehat yang tidak mengubah arti kata profesional menjadi salah kaprah.

Salah kaprah yang terjadi karena buruknya kualitas kompetisi. Salah kaprah yang tercermin dari masih banyaknya pemain dan pelatih yang tidak digaji. Salah kaprah karena tidak ada upaya memberantas adanya praktik mafia serta membenahi buruknya kinerja perangkat pertandingan PSSI.

Padahal, jika program pembinaan kompetisi mampu menyinergikan perbaikan sejumlah masalah itu dengan fasilitas memadai, pendidikan karakter, dan visi ke depan untuk membenahi level tingkat umur, kebangkitan sepak bola bisa terus diraih. Kebangkitan sejatinya dapat dicapai dengan pembinaan panjang usia muda, bukan dari strategi para pengurus untuk mencari keuntungan pribadi semata.

Kini, anggap saja kesuksesan Evan Dimas dan kawan-kawan adalah jawaban Tuhan atas doa ratusan juta masyarakat Indonesia yang sudah sangat lama merindukan prestasi sepak bola. Anggap saja kesuksesan itu juga berasal dari keikhlasan seorang Indra Sjafri yang rela blusukan mencari bakat-bakat terpendam di seluruh pelosok negeri meski terkadang harus merogoh kocek sendiri.

Seluruh pengurus dan pemangku kepentingan sepak bola di negeri ini harus sadar betul, sudah lama sekali rakyat Indonesia tidak merasakan kenikmatan menyaksikan permainan cantik timnas di lapangan. Sudah lama sekali masyarakat tidak merasakan bulu kuduk berdiri melihat anak negeri menegakkan kepala sembari mengibarkan Merah Putih di podium kemenangan sepak bola.

Kerinduan itu memang sudah sedikit terobati dengan hasil peluh keringat generasi emas sepak bola Indonesia yang jatuh dari setiap tubuh para pemain skuad Garuda Jaya. Akan tetapi, semoga saja jerih payah 22 anak bangsa itu dapat dihargai dengan semestinya sehingga kilauan talenta emas mereka tidak kembali meredup di tengah gelap gulitanya kompetisi sepak bola Indonesia.

"Berjayalah Garudaku"

Tidak ada komentar:

Posting Komentar