Pada hakikatnya setiap individu pastilah mendambakan keadilan yang merata pada segala sisi kehidupannya. Baik untuk lingkungan disekitar, ataupun mengutamakan keadilan untuk diri sendiri si individu tersebut. Hal yang sangat manusiawi dan sangat mendasar bagi sebagian besar kalangan pastinya. Namun untuk dapat merasakan keadilan yang benar – benar memadai bagi segelintir orang, tidaklah semudah menyampaikan teori maupun penjabaran dari kata “KEADILAN“ itu sendiri. Banyak hal yang bisa menjadi ganjalan bagi seseorang untuk mendapatkan perlakuan adil, bahkan atas dasar kepentingan pihak yang kuat sebuah keadilan bisa saja diperjual belikan. Mungkin terlalu berat jika saya menyampaikan sebuah contoh penyimpangan keadilan dari beberapa hot issues tentang mafia hukum atau mafia peradilan misalnya. Disini saya hanya coba memberi contoh kecil tentang mahalnya sebuah keadilan dimulai dari ruang lingkup yang lebih sederhana. Entah hal ini membuat miris atau justru menggelikan, semua boleh menilai dari sudut pandang masing – masing. Sebenarnya hal kecil yang mungkin tidak terlalu booming di media masa namun ternyata terjadi secara berkala dan cenderung seperti budaya yang dianggap lumrah. Betapa tidak, mungkin sebagian besar masih ingat dengan jelas perhelatan Sea Games di Jakarta dan Palembang yang ditutup beberapa pekan lalu. Disaat banyak orang hanya meributkan kisruh kinerja PSSI, atau “dendam” bangsa kita tercinta kepada negeri jiran Malaysia. Saat semua melihat timnas sepakbola senior yang kehilangan asa namun kembali optimis melihat garuda muda yang bermain lebih impresif. Tapi siapa yang peduli andai saya berteriak “ Saya beli tiket juga Pak, kenapa tidak boleh masuk ? ”. Bayangkan saja, saya sendiri bingung ingin menyalahkan siapa hingga hal ini bisa terjadi. Saat harus membeli tiket di calo karena tidak ada loket yang terbuka, tentunya dengan harga empat kali lipat. “ Alhamdulillah yach sesuatu ” ( Syahrini mode-on, anak alay bilang ), lalu saya harus melalui lagi perjuangan panjang menuju gerbang masuk. Disitu pun sudah ratusan kepala mengantri untuk masuk. Entah apa yang saya rasakan saat harus merangsek diantara gerombolan pendukung tim merah putih. Semangat ingin menyaksikan dan memberi dukungan para pejuang bangsa, tapi tidak dipungkiri bercampur ketakutan luar biasa sebenarnya. Perjuangan yang belakangan saya ketahui ternyata menelan beberapa korban jiwa. Alangkah konyol, kesempatan pertama masuk ke GBK, harus membuat saya lecet misalnya. Amit - amit,.. Jangan sampai deh....Lucu, saat saya bergelut dengan kerumunan suporter merah putih, ada pertanyaan yang membuat saya sedikit terbelalak mendengarnya. " Mas, memang beli tiket ya ? ", ujar beberapa orang disekiling saya. Lho ternyata dari sekian banyak orang ini, ternyata hanya sebagian kecil toh yang memiliki tiket. Lalu pertanyaan paling besar dibenak saya bertanya, dimana keadilan yang diidamkan setiap orang ? Bukan saya merendahkan mereka yang tidak memiliki tiket, tapi kenapa seolah jadi saya orang anehnya ? Jadi saya dibuat berdesak - desakan seperti ini, dilarang masuk dan dipaksa mendengar galaknya pak polisi yang super "ramah" itu, ternyata karena saya diperlakukan sama seperti mereka - mereka yang tidak mau membeli tiket ?Dimana keadilan itu ? Kemana perginya ? Sedang sibuk apa dia ?Bukan ingin diperlakukan beda, terlalu muluk juga jika saya menuntut sebuah perlakuan spesial. Tapi kenapa saya harus merasakan berhimpitan sekian lama, dipersulit untuk masuk dan seperti mengemis - ngemis untuk bisa menuju tempat yang sebenarnya sudah menjadi hak saya dari membeli tiket itu sendiri. Diluar bahasan tentang sistem kooordinasi yang ada, saya sekedar menilik sedikit sisi keadilan yang katanya sepatutnya didapatkan tiap individu.Bukan hal besar yang harus diributkan sebenarnya. Tapi hal - hal kecil seperti ini yang berbahaya jika akhirnya dijadikan sebuah budaya. Dianggap wajar, bisa dimaklumi dan akhirnya justru berlebihan jika ada yang mengeluhkan keadaan tidak sehat seperti ini. Haruskah hanya yang membayar jutaan rupiah baru bisa merasakan rasa adil dan perlakuan sepatutunya ? Bukankah saya juga salah satu penonton yang baik, yang merasa wajib membeli tiket untuk menonton. Saat kewajiban sudah saya lakukan lalu ternyata saya hanya diperlakukan sama seperti yang tidak melalukan kewajibannya ? Adilkah itu ? Salahkah saya bila merasa diperlakukan tidak adil ?Ini hal kecil yang telah terjadi, beruntungnya saya sempat merasakan, hingga bisa cukup paham bagaimana rasanya diperlakukan tidak adil. Kata “KEADILAN“ yang tidak terjadi di Pengadilan, kata “KEADILAN“ yang tidak menyangkut kepada hukum secara langsung, dan ternyata hanya sebuah “KEADILAN“ yang hampir tidak terlihat di mata semua orang namun sangat riskan bila akhirnya terlupakan begitu saja. Bila itu ternyata memang terjadi dan tidak mengenakkan di hati saya, bukankah itu manusiawi ?Semoga saja bangsa kita bisa sama - sama belajar, sebelum berteriak - teriak tentang “KEADILAN“ dari sebuah cerita Gayus Tambunan, Bank Century, atau hal besar lain, mari kita lihat sekeliling kita. Banyak hal kecil yang bisa kita mulai perbaiki agar benar - benar terwujud makna sesungguhnya dari sebuah kata "ADIL".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar