Agak lucu saat menyadari apa yang terjadi di kancah persepakbolaan nasional belakangan. Tentang segala caci maki, amarah dan kekecewaan yang seketika berubah menjadi puja-puji, air mata haru dan kebahagiaan saat barisan pemuda yang umurnya tak lebih dari sembilan belas tahun itu memberikan jalan bagi negara ini untuk merasakan kembali nikmatnya menyandang gelar juara.
Ah, sudah sejak berapa bulan yang lalu cerita ini terdengar? Tapi rasanya memang tak pernah bosan. Mengulang cerita yang sama, tenggelam dalam kebahagiaan dan kebanggaan sama yang tak surut sampai hari ini.
Lain mereka, lain pula pemuda-pemuda yang seharusnya menjadi senior. Mengenakan seragam yang sama, membela negara yang sama namun tak disokong oleh dukungan dengan porsi yang sama. Daripada kepercayaan, lebih kepada dominasi keragu-raguan. Dibandingkan menikmati manisnya dukungan, lebih banyak mengecap pedasnya sindiran.
Sepakbola ini alam rimba. Yang lemah akan terkapar, mati dan dilupakan. Yang kuat akan berdiri tegak, hidup dan disanjung. Mungkin tak akan ada makna harafiah sajak Yunani tentang betapa beruntungnya seseorang saat ia mati sebagai orang muda.
Sikap sinis dan keraguan yang ditujukan untuk mereka bukannya tak beralasan apalagi tak bersandar pada logika. Wajar saat dihadapkan dengan fakta nihilnya prestasi. Semakin berang karena sesaat setelah adik-adik mereka menuai prestasi, mereka justru menyuguhkan performa semenjana. Sepakbola mungkin memang kejam. Tapi hidup pun tak pernah ramah terhadap mereka yang kerap tertinggal jauh.
Sea Games 2013 ini giliran mereka yang unjuk gigi. Aku rasa Rachmad Darmawan cukup serius, ia tak menganggap ajang ini sebagai perhelatan kacangan belaka tanpa makna. Buktinya dalam pertandingan pembuka pun ia berbekalkan skuad yang hampir selalu menjadistarterdi setiap pertandingan pada klub masing-masing.Mau tidak mau, sadar tidak sadar – epos yang berkutat tentang kegagahan dan kegigihan tim nasional U-19 tadi memberikan dampak –yang dari sudut pandangku– terciptanya golongan populer dan tidak populer. Gairah tim nasional U-19 memang begitu menyihir setiap penggila sepakbola tanah air yang sangat merindukan sepakbola Indonesia yang layak. Tak heran jika mereka menjadi begitu populer. Seandainya waktu itu mereka takluk di partai final pun, mungkin kita masih rela untuk mengelu-elukan mereka. Sementara tim nasional U-23 yang saat ini bertanding di Myanmar, masuk kepada golongan tidak populer tadi. Lihat saja keraguan-keraguan yang muncul di sepanjang laga.
Mereka memang tidak populer, namun pada kenyataannya mereka pulalah yang berhasil melaju ke partai final. Siapa yang menyangka? Aku pun tak pernah menyangka. Entah ini berlebihan atau tidak, tapi aku jadi berpikir tentang ketidakpopuleran tadi.Mungkin perjuangan tim nasional U-23 di ajang Sea Games kali ini tidak sedramatis itu. Tidak sampai harus bertaruh nyawa secara harafiah. Namun aku sendiri melihat bahwa mereka berjuang dalam ketidakpopuleran. Ketidakpopuleran yang terbentuk dari sebuah pola yang mendikte bahwa sepakbola Indonesia itu harus seperti sepakbola ala anak-anak asuh Indra Sjafri. Bukannya aku mencemooh perjuangan Indra Sjafri, bukan. Karena pada dasarnya pun, ia telah melewati masa-masa berjuang dalam ketidakpopuleran.
Rahmad Darmawan dan anak-anak asuhnya memang berjuang dalam arena yang begitu populer. Arena yang bernama sepakbola. Popularitas sepakbola memang begitu hebat. Sangat hebat, sampai-sampai kita menutup mata pada raihan prestasi di cabang olahraga yang lain. Wushu, renang, dayung, bulu tangkis, gulat, lari, karate – mereka boleh kalah populer jika diadu dengan sepakbola, namun mereka pulalah yang terlebih dulu mendulang emas bagi negara ini. Lihat apa yang bisa dilakukan oleh orang-orang yang tidak populer?
Namun jika melihat kepada lapisan berikutnya, Rahmad Darmawan beserta anak-anak asuhnya kalah populer dibandingkan sepakbola yang ditukangi oleh Indra Sjafri. Bagi kita, Indra Sjafri bagaikan tukang pos yang menjelma menjadi juruselamat.
Tapi di atas segalanya, berbahagialah orang-orang yang tidak populer. Manusia manapun, tanpa terkecuali, memiliki potensi untuk menjadi unsur yang membentuk sebuah pola. Soe Hok Gie pernah menganalogikan ini dengan pion catur. Katanya, siapapun kita adalah pion-pion yang mengisi sejarah dunia. Dimainkan ke sana ke mari, menjadi obyek dan bukan menjadi subyek.
Mungkin Indra Sjafri sadar betul dengan hal ini, popularitas sering kali menjadi awal dari kejatuhan. Nikmatnya memang luar biasa, tapi sering kali menjadi mematikan. Makanya, aku tak heran dengannya yang bersikukuh untuk menutup akses anak-anak asuhnya untuk bersentuhan langsung dengan popularitas.
Jadi, di atas segala ketidakpopuleran yang sering kali dianggap menjadi penghalang – yang sering kali berwujudkan minimnya dukungan dan tingginya keragu-raguan, aku rasa Rahmad Darmawan dan anak-anak asuhnya harus tetap berbahagia. Karena tetap ada kemerdekaan untuk mereka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar