Ryan Giggs telah menginjak usianya yang ke-40 minggu ini. Meski demikian, winger yang dahulu dikenal dengan kecepatannya itu ternyata masih enggan untuk menyatakan pensiun. Bahkan, di partai Manchester United versus Leverkusen dini hari tadi, ia masih ikut bermain.
Performanya pun masih dianggap cukup baik untuk seorang pesepakbola yang sudah memasuki usia kepala empat. David Moyes mengakui hal itu, bahkan menyebut Giggs masih bisa tampil lebih baik lagi.
Lawan pun tak kalah takjub dengan kelihaian Giggs di usia tua. Wayne Rooney mengaku bahwa ada pemain Leverkusen yang sempat mendekatinya saat laga semalam dan menanyakan, bagaimana Giggsy masih bisa beraksi di usianya yang setua itu.
Nah, sebagai kado Bolanet atas hari jadi Giggs yang ke-40, kali ini tim sudah menyusun 9 alasan yang membuat Giggs pantas untuk dinobatkan menjadi pemain terbaik Premier League sepanjang masa.
Penasaran? Mari kita simak satu persatu.
1. Dedikasi
Tidak ada banyak pemain yang mampu bertahan di kompetisi level tinggi di Inggris untuk jangka waktu yang lama. Giggs adalah salah satunya. Selama karirnya di Manchester United, sang pemain juga kerap dihadapkan pada persaingan dengan pemain lain untuk memperebutkan posisi inti.
Di usianya yang sudah setua saat ini, mudah saja baginya untuk menyerah dan menggantung sepatu, lalu kemudian memilih jalan karir yang lain atau berpindah klub yang lebih kecil. Nama besar dan skill Giggs sudah hampir pasti masih akan jadi magnet yang menarik untuk klub divisi Championship atau League One.
Namun alih-alih memilih jalan yang mudah, Giggs lebih memilih untuk bertahan di Manchester United, salah satu tim terbaik di Eropa. Sudah pasti tidak mudah untuk menembus jajaran tim inti di Old Trafford, apalagi usia Giggs tidak lagi muda.
Sikap seperti itulah yang menunjukkan betapa Giggs amat mencintai sepakbola. Antusiasme seperti itulah yang sudah jarang kita lihat di kalangan pesepakbola profesional belakangan ini. Kebanyakan dari mereka hanya memikirkan siapa yang bisa membayar paling banyak untuk jasa mereka.
Mayoritas fans Giggs mungkin sudah sempat memiliki pemikiran bahwa idola mereka akan menerima kontrak bergaji besar dari klub antah-berantah di Amerika atau jazirah Arab di penghujung karirnya, seperti eks rekan setimnya, David Beckham.
2. Konsistensi
Salah satu faktor mengapa Giggs bisa begitu lama bertahan di kerasnya belantara Premier League adalah karena ia mampu menunjukkan penampilan yang konsisten. Tampaknya pemain yang satu ini tidak pernah kehabisan teknik untuk melewati lawan dan membuat pelatih terkesan.
Ketika dirinya mulai memasuki usia 30, banyak orang menduga Giggs akan kehilangan kecepatan yang menjadi ciri khasnya selama ini, secara drastis. Apakah itu benar-benar terjadi? Well, untuk periode awal, mungkin ya. Pada fase yang sama, rekan setim Giggs, Paul Scholes, sudah tak lagi memiliki kemampuan yang membuatnya hebat di masa jaya Manchester United dahulu.
Namun bagi Giggs, ia tak perlu lama-lama menunggu untuk menemukan second wind-nya. Semenjak kedatangan Cristiano Ronaldo di tahun 2006, Giggs justru makin matang. Tekniknya makin terasah. Kini ia tak lagi sering mengandalkan kcepatan, namun lebih tenang dalam membaca gerakan lawan dan permainan secara keseluruhan.
3. Loyalitas
Real Madrid nampaknya selalu menjadi klub yang terlihat amat bersinar bagi sebagian besar bintang MU. Ruud van Nistelroy akhirnya memutuskan untuk pindah ke Madrid di penghujung karirnya. Hal yang sama terjadi pada David Beckham. Tak jauh beda dengan dua seniornya, Cristiano Ronaldo juga melakukan hal yang sama dua musim lalu.
Lantas apakah hal itu terjadi pada Giggs? Tidak. Semenjak ia memulai karirnya di usia 14 tahun, Giggs tidak pernah berpindah klub. Padahal tak sang pemain sempat juga diisukan diminati oleh dua klub raksasa Eropa lainnya, AC Milan dan Real Madrid. Apakah Giggs kemudian tergoda untuk menerima tawaran itu? Well, buktinya ia tetap menjadi penggawa Old Trafford hingga saat ini.
4. Utamakan Tim
Alih-alih menuntut peran lebih di klubnya dengan bermodalkan status pemain senior, Giggs lebih suka untuk menyokong para pemain muda. Di bawah bimbingannya, baik di dalam maupun luar lapangan, banyak pemain muda United yang sukses diorbitkan ke tim utama.
Sebut saja Ashley Young, Danny Welbeck, dan yang teranyar, Adnan Januzaj. Meski belum lama diangkat menjadi staf pelatih United, Giggs acapkali memberikan nasihat dan saran penting untuk para pemain muda, agar mereka bisa megembangkan tekniknya lebih baik lagi.
Kesimpulannya, Giggs tidak keberatan untuk terus berada di belakang layar dan memberikan kesempatan pada sosok lain untuk memainkan peran yang lebih besar. Namun jika diminta, maka ia akan siap untuk memberikan segalanya untuk Manchester United.
5. Taklukkan Laga Besar
Giggs selalu mampu mengeluarkan kemampuan terbaiknya saat bermain di laga-laga penting untuk Manchester United. Kebanyakan pemain biasanya mengalami tekanan mental berlebihan ketika memasuki fase penting seperti semifinal atau final dari sebuah kompetisi.
Namun tidak dengan Giggs. Ia sudah melewati dua final Liga Champions dengan sukses, menjalani pekan-pekan krusial di Premier League secara sempurna, dan acapkali mencetak gol penting di saat tim amat membutuhkannya.
Gol Giggs di semifinal Piala FA 1999 menjadi bukti tak terbantahkan. Kala itu tim membutuhkan kemenangan untuk lolos ke babak berikutnya, namun semua pemain seolah sudah hilang akal untuk menjebol gawang David Seaman. Lalu datang Giggs, yang secara luar biasa mendribel bola melewati lima bek The Gunners sebelum akhirnya menceploskan bola ke dalam gawang.
6. Contoh Yang Baik
Perilaku Giggs yang berselingkuh dengan adik iparnya sendiri memang tidak patut untuk ditiru. Namun sebagai seorang pesepakbola, Giggs adalah panutan yang sempurna.
Ia memiliki rekor kedisiplinan yang hampir tak ternoda. Giggs akan jadi contoh bagus untuk pemain muda yang mungkin sulit tunduk pada aturan. Dalam hal ini kita bisa menggunakan contoh dua rekan Giggs lainnya, Roy Keane dan Paul Scholes.
Selain itu, Giggs juga disiplin dalam menjaga kebugarannya sepanjang waktu. Meski ia jarang diturunkan oleh pelatih, latihan menjadi kegiatan yang tak pernah lepas dari kesehariannya. Sehingga ketika dibutuhkan oleh tim, Giggs masih bisa mengeluarkan magic andalannya.
Cukup disayangkan kedisiplinan Giggs itu tidak menular pada kehidupan sosialnya.
7. Pengambil Keputusan
Beberapa tahun belakangan, kita selalu melihat tipe pemain yang kurang lebih sama. Mereka hampir selalu ingin maju ke daerah pertahanan lawan dan melakukan semua tugas dengan mengandalkan kemampuan sendiri.
Meski tak jarang dari pemain dengan tipe seperti itu meraih kesuksesan, untuk waktu yang singkat, mereka akan sulit untuk melepaskan label sebagai pemain egois.
Hal berbeda ditunjukkan oleh Giggs. Menyusul kemantangannya dalam berpikir, ia tahu kapan waktunya untuk melakukan akselerasi penuh atau melepaskan operan sederhana ke lini tengah.
Bukan berarti pemain yang kerap memanfaatkan kecepatan dan menunjukkan skill itu salah, namun pemain seperti Nani misalnya - yang sangat berbakat - tidak mungkin pernah bisa mencapai level yang sama seperti Giggs.
Giggs adalah tipe pemain yang selalu mampu membaca situasi dan tetap tenang sebelum mengambil keputusan. Alih-alih menggunakan insting, ia akan memanfaatkan kecerdasan berpikirnya dalam menentukan ritme permainan. Skill seperti ini hanya dimiliki oleh pemain yang bertipe gelandang kiri / kanan sejati, bukan winger, seperti Xavi dan Scholes.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar