\

Selasa, 20 Agustus 2013

Agroindustri Telur Puyuh Yang Stabil



Agroindustri telur puyuh di Indonesia mulai tumbuh tahun 1970an, bersamaan dengan tumbuhnya agroindustri ayam ras petelur. Namun konsumen telur puyuh lebih terbatas dibanding konsumen telur ayam ras. Sebab bobot telur puyuh yang hanya 10 gram per butir (1/5 sd. 1/6 bobot telur ayam ras yang 50 sd. 60 gram per butir), tidak memungkinkannya untuk didadar atau diceplok (dibuat telur mata sapi). Telur puyuh juga tidak mungkin masuk ke industri roti, kue, telur asin dan pedagang martabak telur, yang selama ini lebih banyak memanfaatkan telur itik. Pemanfaatan telur puyuh, terbanyak  adalah untuk sup, campuran aneka sayur dan untuk disate. Kulit telur puyuh juga sangat lemah, hingga tidak memungkinkan pengemasan dan pengangkutan berskala massal dalam kondisi mentah. Untuk mengatasinya, peternak puyuh akan melakukan perebusan telur sebelum mengemas dan menyalurkannya ke pedagang atau konsumen. Kondisi inilah antara lain yang menyebabkan pertumbuhan agroindustri telur puyuh tidak mengalami kemajuan sepesat agroindustri telur ayam maupun itik.

Disamping kelemahan-kelemahan tersebut, puyuh juga memiliki kelebihan dibanding ayam dan itik petelur. Pertama, agroindustri puyuh sangat hemat tempat. Ruang 20 m2 (4 X 5 m) misalnya, mampu menampung sampai 2.000 ekor puyuh. Investasi kandang dan benih juga sangat rendah. Biaya investasi kandang kapasitas 1.000 ekor hanya sekitar Rp 600.000,- dengan masa penyusutan 1 tahun (Rp 50.000,- per bulan). Investasi puyuh siap telur Rp 4.000,- per ekor atau Rp 4.000.000,- untuk 1.000 ekor, dengan masa penyusutan 1 tahun. Puyuh afkir masih punya nilai jual Rp 1.500,- per ekor. Hingga beban investasi benih Rp 210.000,- per bulan. Total beban investasi agroindustri puyuh menjadi Rp Rp 4.600.000,-  dengan beban penyusutan Rp 260.000,- per bulan. Beban pakan per hari @ 0,015 kg. X 1.000 X Rp 2.500,- = Rp 37.500,- ditambah hijauan dan obat/vitamin Rp 5.000,- = Rp 42.500,- per hari atau Rp 1.275.000,-per bulan. Total beban biaya per bulan menjadi Rp 1.535.000,- Untuk skala usaha 1.000 sd. 5.000 ekor, agroindustri puyuh masih bisa ditangani oleh anggota keluarga. Hingga beban tenaga kerja tidak perlu dihitung. Kalau saja mau dihitung, maka biaya tenaga kerja untuk skala 1.000 ekor hanyalah sekitar Rp 100.000,- per bulan (2 jam kerja per hari).

Dengan pakan dan perawatan yang benar, 1.000 ekor puyuh akan mampu menghasilkan 750 butir telur per hari (75%). Hasil telur per bulan 22.500 butir. Harga telur di tingkat peternak Rp 80,- per butir. Hingga pendapatan kotor peternak dari telur, Rp 1.800.000,- per bulan. Dari 1.000 ekor puyuh itu, tiap harinya juga akan dihasilkan kotoran sebanyak 5 kg. Tiap 6 hari sekali, kotoran yang dihasilkan akan mencapai 1 karung @ 30 kg, yang akan laku dijual seharga Rp 10.000,- Hingga dalam satu bulan, peternak masih akan memperoleh tambahan pendapatan dari kotoran puyuh sebesar Rp 50.000,- Hingga total pendapatan kotor  peternak per bulan Rp 1.850.000,- Dengan beban biaya per bulan Rp 1.535.000,- pendapatan bersih dari 1.000 ekor puyuh adalah Rp 315.000,- Hingga apabila seorang peternak ingin berpendapatan Rp 1.500.000,- per bulan, maka ia harus memelihara sebanyak 5.000 ekor puyuh. Populasi sebanyak itu, masih mungkin ditangani oleh anggota keluarga sendiri.

Dari angka-angka tersebut, tampak bahwa komponen biaya terbesar dalam agroindustri puyuh adalah pakan. Biaya pakan yang  Rp 1.275.000,- adalah 83% dari total biaya yang 1.535.000,- atau 78% apabila beban tenaga kerja yang Rp 100.000,- diperhitungkan. Perhitungan ini berdasarkan asumsi harga pakan Rp 2.500,- per kg. Apabila harga pakan mencapai Rp 3.000,- per kg. dan harga telur tidak mengalami kenaikan, maka peternak akan merugi. Selama ini harga telur yang Rp 100,- per butir di tingkat konsumen, sudah lebih tinggi dibanding harga telur ayam ras maupun itik. Sebab dengan berat 10 gram, maka harga telur puyuh di tingkat konsumen sudah mencapai Rp 10.000,- per kg. Sementara harga telur ayam ras hanya berkisar Rp 7.000,- per kg. Keuntungan akan bisa ditingkatkan, apabila peternak bersedia meramu pakan sendiri. Agar produksi telur tidak menurun, maka kandungan protein dalam pakan, minimal 24 %. Komponen pakan tersebut bisa diperoleh berdasarkan campuran jagung kuning giling 30%, dedak halus (katul) 20%, bungkil 20% tepung ikan 15% kedelai giling 10%, tepung tulang/tepung kerang 3%, vitamin dan mineral 2%. Dengan membeli bahan-bahan sendiri dan mencampurnya, maka biaya pakan bisa ditekan menjadi Rp 2.000,- per kg. atau Rp 900.000,- per bulan (58,6% dari total biaya).

Kendala utama beternak puyuh di lingkungan pemukiman adalah bau kotoran yang sangat menyengat. Untuk menghindarinya, ke dalam minuman puyuh, tiap harinya dicampurkan rimpang kunyit yang telah diblender atau diparut. Selain itu, tiap hari ke atas kotoran ditaburkan kapur tohor (kapur bangunan), atau biang bakteri (semacam EM 4). Dengan perlakuan seperti ini, bau kotoran puyuh dalam kandang akan hilang. Konstruksi kandang puyuh selalu dibuat dengan lantai kawat ram, hingga kotoran akan jatuh keluar kandang. Di bawah lantai tiap petak kandang, dipasang triplek atau seng yang bisa ditarik serta didorong masuk. Kotoran yang jatuh akan tertampung dalam triplek atau seng ini, dan tiap hari harus diambil serta dibersihkan. Kotoran yang terkumpul dalam karung juga harus diberi biang bakteri, agar tidak memunculkan bau busuk. Kotoran yang ditimbun dalam karung, biasanya akan segera ditumbuhi belatung. Belatung ini bisa dimanfaatkan untuk pakan anak ikan, burung atau dimasukkan kembali ke dalam pakan puyuh. Namun dengan sanitasi yang baik, belatung yang sebenarnya larva lalat itu tidak akan muncul.

Meskipun sudah diberi pakan dengan gizi cukup, puyuh akan saling kanibal. Biasanya yang menjadi korban adalah individu yang paling lemah. Bagian punggung di atas ekor serta bagian pantat, paling sering diserang untuk dimakan bulu-bulu mudanya. Apabila bagian ini luka dan berdarah, serangan akan semakin sering hingga bisa mengakibatkan luka parah atau kematian. Untuk mencegahnya, selain diberi pakan butiran, puyuh juga perlu diberi sayuran. Namun sayuran seperti kangkung atau daun singkong juga akan segera habis dikerubuti puyuh. Hingga masih diperlukan pemberian   bahan pakan yang keras dan awet untuk mengalihkan perhatian. Misalnya bonggol atau potongan batang pisang, nangka/pepaya muda, singkong, ubi jalar dan lain-lain bahan yang keras agar tidak segera habis termakan. Dengan cara demikian, puyuh akan disibukkan mematuk-matuk bahan tersebut, hingga tidak terjadi saling kanibal. Selain untuk mengalihkan perhatian dari sifat kanibalnya, bahan-bahan tambahan ini juga akan memberikan serat kasar, mineral serta vitamin bagi puyuh. Hingga kebutuhan pakannya akan semakin tercukupi.

Para peternak puyuh yang serius, biasanya tidak akan puas hanya sekadar memproduksi telur konsumsi. Mereka juga akan melakukan pembenihan sendiri. Sebab dengan cara ini, nilai tambah yang diperoleh akan meningkat. Peralatan yang diperlukan untuk usaha breeding adalah satu unit mesin tetas dengan tiga box pembesaran. Investasi mesin tetas kapasitas 300 butir telur puyuh (60 butir telur ayam kampung), sekitar Rp 1.000.000,-  Nilai tiga buah box pembesaran, juga sekitar Rp 1.000.000,-. Dengan masa penyusutan 3 tahun, maka beban penyusutan per masa penetasan Rp 18.500,- Dengan produksi 240 anak puyuh, beban per ekor Rp 77,- Beban box pembesaran adalah Rp 45.700,- maka beban penyusutan per ekor adalah Rp 190,- Masa tetas telur puyuh hanya 17 hari. Beda dengan ayam yang 21 hari dan itik yang 28 hari. Beban listrik dan tenaga selama penetasan dan pembesaran Rp 200.000,- per periode atau Rp 833,- per ekor. Telur yang akan ditetaskan dipilih yang berukuran seragam, berbentuk sempurna dengan warna kerabang yang cukup cerah. Induk penghasil telur harus diberi pejantan cukup hingga telur bisa fertil (terbuahi). Nilai telur tetas ini lebih tinggi dari telur konsumsi, yakni sekitar Rp 120,- per butir.

Daya tetas normal pembenihan puyuh adalah 80%. Hingga dari 300 butir telur yang ditetaskan, akan diperoleh 240 anak puyuh. Dari jumlah itu, 120 berkelamin jantan dan 120 betina. Puyuh jantan akan digemukkan dengan pakan starter dan grower sampai umur 50 hari dan dijual sebagai puyuh potong dengan nilai Rp 1.500,- per ekor. Anak puyuh betina dibesarkan untuk menjadi puyuh petelur, juga selama 50 hari. Nilai pakan untuk 120 ekor puyuh tersebut adalah 0,015 X 120 X Rp 2500,- X 50 = Rp 225.000,- Dengan sayuran dan vitamin nilainya Rp 250.000,- atau beban per ekor Rp 1.042,- Hingga harga pokok anak puyuh (jantan maupun betina) adalah Rp 77,- (penyusutan mesin tetas) + Rp 190,- (penyusutan box) + Rp 833,- (listrik dan tenaga) + Rp 120,- (harga telur) + Rp 1.042,- (pakan) = Rp 2.262,- Pendapatan dari puyuh jantan adalah Rp 1.500,- X 120 = Rp 180.000,- Dari puyuh betina siap telur Rp 4.000,- X 120 = Rp 480.000,- atau total Rp 660.000,- atau per ekor  Rp 2.760,- Hingga margin yang diperoleh peternak Rp 488,- per ekor.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar