\

Senin, 01 Juli 2013

Ketika Penikmat Sepakbola Jadi Cenayang


Ketika liga-liga Eropa libur dan acara pada Sabtu malam tidak ada yang menarik, Piala Eropa U-21 pun seperti jadi penyelamat. Di sinilah para penikmat sepakbola mencoba jadi 'cenayang'.

Utamanya, tugas cenayang seperti itu dilakukan oleh para pencari bakat klub. Saya tidak tahu ada berapa banyak pencari bakat yang sedang berada di Israel sana saat ini. Tapi, saya menduga bahwa para pecari bakat itu -- kalau mereka hadir di sana -- tak henti-hentinya mengirimkan daftar atau laporan ke klub masing-masing. Kelak, jika si pemain yang dipantau kemudian dibeli dan bersinar di klub, sang pemandu bakat layak berbangga hati.

Tapi, sebagai penonton netral, atau fans klub tertentu, tidak ada salahnya juga bersikap seolah-olah pemandu bakat betulan. Biarpun modalnya cuma menonton dari televisi, tidak bisa disangkal bahwa melihat bakat-bakat muda tersebut bermain di lapangan adalah sesuatu yang mengasyikkan. Anggap saja Anda sedang bermain game Football Manager dan sedang mencari-cari pemain muda bagus yang akan mencuat menjadi bintang di masa depan. Siapa tahu juga harganya murah.

Jika Anda menemukan satu pemain yang bagus, Anda mungkin bisa berharap klub Anda punya penilaian yang sama. Selanjutnya, Anda mungkin bisa mengirimkan pesan lewat media sosial yang isinya tidak jauh-jauh dari kalimat semodel: "Sign him up! Sign him up!"

Hal lainnya adalah, ajang seperti Piala Eropa U-21 seperti ini adalah kesempatan untuk melihat pemain yang sedang diincar oleh klub kesayangan Anda atau sudah dibeli, namun Anda belum pernah melihatnya. Bagi para penggemar Manchester United, dan tidak mengikuti jalannya divisi Championship, ini adalah kesempatan untuk sedikit melihat seperti apa permainan Wilfried Zaha.

Tak pelak, ketika industri sepakbola meluas dan sudah dibahas dari berbagai macam sudut -- entah ekonomi atau perkembangan secara taktik dan strategi -- turnamen level junior semisal Piala Eropa U-21 ini pun ikut jadi perhatian. Satu sampai dua dekade lalu, mungkin tidak terbayangkan bahwa turnamen level junior jadi perbincangan hangat di media sosial atau bahan obrolan santai di sudut-sudut kafe.

Anda bisa jadi mengatakan bahwa Si Pemain A akan jadi bintang masa depan. Siapa tahu penilaian Anda benar. Mungkin juga, Anda akan menilai bahwa sebuah tim nasional bakal jadi besar di masa depan, hanya karena begitu banyaknya bakat melimpah di tim junior mereka. Siapa tahu penilaian Anda benar lagi.

Toh, memang banyak pemain-pemain tenar berangkat dari turnamen-turnamen level junior seperti ini -- dan memang sudah semestinya demikian. Tahun 2011, David De Gea begitu kokoh mengawal gawang Spanyol dan lihat dirinya sekarang. Jauh sebelum itu, Piala Eropa U-21 juga pernah diisi oleh nama-nama semisal Mesut Oezil, Mats Hummels, Iker Casillas hingga Andrea Pirlo dan Luis Figo mengawali langkah mereka di level internasional pada turnamen ini.

Bek andalan Manchester City, Pablo Zabaleta, pernah bermain di Piala Dunia U-20 pada 2003 dan 2005. Sementara Erik Lamela, yang kini jadi bintang AS Roma, adalah mantan anggota skuat 'Tim Tango' di Piala Dunia U-20 tahun 2011. Mereka yang disebutkan di sini tentunya hanyalah sebagian kecil saja.

Sedangkan pada perhelatan Piala Eropa U-21 kali ini, Anda bisa pura-pura menjadi cenayang dengan memprediksi siapa di antara nama-nama berikut ini yang akan jadi bintang di masa depan. Mulai dari Alessandro Florenzi, Riccardo Saponara, Giulio Donati, dan Nicola Leali di Italia, hingga Havard Nordveit di Norwegia. Atau mungkin mau mengagumi Lewis Holtby, yang beberapa hari lalu mencetak gol bagus -- di mana dia menerima lemparan ke dalam di sisi sayap, mengitari separuh kotak penalti, sebelum akhirnya melepaskan tembakan terarah -- ke gawang Belanda.



Di sisi lain, turnamen seperti ini membuat Anda bisa menilai sebagus apa sumber daya sebuah tim (negara). Spanyol misalnya, masih membuat nama-nama seperti De Gea dan Thiago Alcantara harus bermain di level U-21 lantaran tidak kebagian tempat di tim senior. Sementara Belanda menunjukkan, meski Eredivisie tidak ada di posisi lima besar teratas liga Eropa, mereka tidak kehabisan talenta.

Cor Pot memanggil nama-nama seperti Ricardo Van Rhijn, Stefan de Vrij, Bruno Martins Indi, Daley Blind, Jordi Clasie, Ola John, Adam Maher, hingga Giorginio Wijnaldum dan Kevin Strootman. Di antara nama-nama itu, hanya Strootman, Wijnaldum, dan Blind yang berusia di atas 21. Hebatnya, mereka sudah menjadi andalan di tim masing-masing dan sudah beberapa kali diseleksi (atau dipanggil) oleh tim senior.

"Ketika saya ditunjuk menjadi pelatih, saya memang diminta untuk memberikan lebih banyak kesempatan untuk pemain-pemain muda," ujar pelatih timnas senior Belanda, Louis van Gaal, di Jakarta beberapa hari lalu. Media-media Belanda pun lebih antusias untuk membahas kiprah tim U-21 ketimbang timnas senior mereka yang sedang melakukan tur ke Indonesia dan China.

Bagaimana dengan Inggris? Layaknya timnas senior mereka, The Three Lions adalah yang paling keteteran. Dua kekalahan, dari Italia dan Norwegia, membuat mereka tersingkir cepat di Piala Eropa U-21 kali ini. Lain halnya dengan Spanyol, Belanda, dan Italia yang seperti kelebihan pemain muda bagus, Inggris justru kesulitan. Minimnya jam terbang untuk pemain-pemain muda lokal di level klub pun disinyalir jadi sebab.

Sementara pendapat lain mengatakan bahwa talenta-talenta Inggris sebenarnya tidak buruk-buruk amat. Nama-nama seperti Zaha, Tom Ince, Jack Butland, hingga Steven Caulker, dan Craig Dawson sebenarnya relatif bagus. Hanya saja, Stuart Pearce dituding tidak bisa meracik taktik yang oke. Permainan Inggris dinilai monoton.

Oleh karenanya, jangan heran jika sehabis kekalahan dari Norwegia membuat orang-orang Inggris di media sosial misuh-misuh pada Pearce. Jangan heran pula jika beberapa tahun silam wajah Pearce sempat jadi bahan olok-olok di kolom "The Gallery" dari media Guardian.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar