Pelantikan “kabinet kerja” Presiden Jokowi (tanda kutip = masih harus dibuktikan) memantik diskusi ramai di media sosial tentang salah satu menterinya, Susi Pudjiastuti. Selain kontroversi soal gaya dan sikap pribadi Menteri Kelautan dan Perikanan yang baru ini, orang juga banyak membicarakan soal latar belakang pendidikannya. Susi diberitakan hanya lulusan SMP – strata ijazah yang jauh sekali dari puncak karir akademis yang diimpikan banyak orangtua bagi anak mereka.
Sebagian orang mengapresiasi Susi dengan berkata: hebat ya, walaupun cuma lulusan SMP tapi bisa jadi pengusaha skala nasional, bahkan naik ke tampuk menteri! Sebagian lain protes: mengekspos berita orang macam ini bisa membuat banyak anak kepengen putus sekolah, karena toh nggak punya ijazah tinggi pun bisa sukses! Kalangan homeschoolers banyak masuk ke kubu pertama, sementara kalangan pro sekolah formal banyak di kubu kedua.
Saya di-tag di salah satu thread status teman yang seru berdiskusi soal Susi ini. “Memang ada beberapa orang yang putus sekolah namun bisa sukses dan kaya seperti Steve Jobs dan Marc Zuckerberg, tapi yang sukses berkat pendidikan sebenarnya lebih banyak,” kata teman saya itu. Satu orang menimpali, “Ambil statistik aja, berapa orang dari berapa juta putus sekolah yang begitu, hitung probabilitas dan modusnya.”
Jadi, pertanyaan utamanya adalah: sebetulnya sekolah (tinggi) itu penting atau tidak penting sebagai faktor kesuksesan?
Untuk menjawabnya, istilah yang perlu kita jernihkan lebih dahulu adalah “sukses itu apa?”. Benarkah Steve Jobs itu sukses? Benarkah Marc Zuckerberg itu sukses? Benarkah Susi Pudjiastuti itu sukses? Apakah sukses itu berarti kaya – dan “kaya” itu ukurannya apa: penghasilan sekian M per bulan, rumah megah, pesawat pribadi, atau yang lain? Apakah sukses itu berarti bisa duduk di posisi tinggi dalam pemerintahan? Apakah sukses itu berarti bisa masuk koran dan media massa setiap hari? Dikagumi banyak orang? Jadi guru besar? Memenangkan banyak medali Olimpiade?
Bagi kebanyakan orang, pencapaian materiil-ekonomik paling gampang dipakai untuk mengukur sukses. Jumlah uang, nilai properti, skala ketenaran, tinggi-rendah jabatan atau peringkat dalam kompetisi. Tentu saja ukuran ini sangat bisa diperdebatkan. Punya banyak uang tapi keluarga berantakan, tenar sedunia tapi mati overdosis atau bunuh diri, menduduki jabatan tinggi tapi lalu ditangkap KPK karena ketahuan korupsi – saya yakin kita tidak akan lagi mengklasifikasikan orang-orang itu sebagai role model pribadi yang sukses.
Namun katakanlah kita akan pakai kaya, tenar, dan berkuasa itu sebagai ukuran sukses – karena sepertinya tiga hal itulah yang diimpi-impikan sebagian besar orang. Kembali ke pertanyaan utama. Apakah sekolah tinggi-tinggi adalah jaminan untuk meraihnya? Apakah makin tinggi strata ijazah seseorang, penghasilannya pasti makin besar?
Kalau jaminan dan kepastian, sepertinya tidak. Adanya sosok-sosok seperti Susi dan para putus sekolah lain yang bisa kaya, tenar, dan berkuasa adalah bukti nyata bahwa memang ijazah pendidikan tinggi bukan faktor esensial sukses. Yang saya maksud faktor esensial adalah syarat yang tak bisa tidak harus ada, sehingga orang tak mungkin bisa kaya, tenar, atau berkuasa tanpa ijazah tingkat tinggi. Realitasnya, banyak juga orang punya ijazah tingkat tinggi dan tidak kaya, atau kalah tenar dan berkuasa dari orang yang jenjang sekolahnya lebih rendah. Makin tinggi ijazah tidak otomatis berkorelasi dengan makin tingginya tingkat penghasilan, ketenaran, atau kekuasaan.
Ini bukan berarti orang yang berpendidikan rendah selalu akan lebih sukses ketimbang mereka yang berpendidikan tinggi. Sama-sama tidak ada jaminan juga bahwa yang tidak/putus sekolah pasti akan lebih kaya ketimbang yang doktor. Faktanya, di tengah masyarakat, dunia kerja, dan sistem birokrasi yang relatif masih memuja gelar, tentu orang-orang yang tak punya ijazah tinggi bakal menghadapi lebih banyak tantangan dibanding yang punya. Bidang kerja mereka lebih terbatas – tak mungkin terjun di profesi-profesi yang menuntut gelar akademis. Gaji awal mereka lebih kecil. Kepercayaan orang pada mereka lebih rendah.
Tapi toh di tengah berbagai tantangan berat itu, ada saja anak putus sekolah yang bisa kaya, tenar, dan berkuasa! Berarti esensi sukses memang bukan terletak pada ijazah seseorang, tapi pada sesuatu yang lain. Apakah itu?
Dari buku-buku kisah orang sukses, sepertinya ada dua faktor penting yang selalu mereka sebutkan sebagai syarat kesuksesan: karakter dan kompetensi. John Wooden, pelatih tim basket UCLA yang berhasil mengantar timnya meraih 10 kali piala kejuaraan nasional dalam 12 tahun, menyebutkan banyak aspek karakter yang wajib dimiliki orang sukses: mau kerja keras, antusias, fokus, selalu memberikan yang terbaik, bisa bekerja sama dengan tim, menjunjung prinsip, percaya diri, pandai bergaul, bisa mengendalikan emosi, pembelajar seumur hidup, sabar menapaki proses, kaya inisiatif, tidak takut gagal, dan seterusnya. Karakter ini adalah fondasi penting bagi optimalnya kompetensi – penguasaan keterampilan-keterampilan spesifik yang membuat seseorang mahir mengerjakan sesuatu, begitu mahir sehingga orang lain mau bayar mahal agar dia melakukannya.
Jika kita setuju bahwa karakter dan kompetensi adalah dua faktor esensial sukses, maka pertanyaan utama tadi bisa dijawab dengan mudah. Sekolah akan menjadi jalan sukses, apabila sekolah bisa menempa siswanya memiliki karakter positif dan kompetensi tinggi. Tapi kalau suatu sekolah menjalankan fungsinya secara asal-asalan, tidak punya visi dan program yang jelas, tidak punya guru-guru dan sistem yang berdedikasi kepada visi dan program tersebut, ya tak mungkin sekolah itu mengantar para siswanya pada kesuksesan.
Di sisi lain, anak yang putus sekolah atau memilih jalur homeschool, kalau ternyata di luar sekolah dia bertemu dengan ‘guru kehidupan’ yang menginspirasi dan menempanya sehingga matang dalam karakter dan kompetensi, terbuka pula kesempatannya untuk menjadi sukses. Tak kalah dari para lulusan sekolah formal, bahkan bisa jadi melampaui mereka.
Jadi, sekolah itu penting atau tidak supaya anak sukses? Tinggal selidiki sekolahnya – adakah visi, idealisme, filosofi pendidikan yang jernih di sana? Adakah kurikulum yang meluhurkan karakter, dan menggembleng kompetensi? Adakah guru-guru yang mendidik dengan hati, bukan sekadar menggugurkan kewajiban dan mengejar target birokrasi – dan tahu persis cara memfasilitasi tiap anak agar visi ideal pendidikan tercapai?
Karena yang esensial bukan status bersekolahnya, tapi proses pendidikannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar