Pelantikan “kabinet kerja” Presiden Jokowi (tanda kutip = masih harus dibuktikan) memantik diskusi ramai di media sosial tentang salah satu menterinya, Susi Pudjiastuti. Selain kontroversi soal gaya dan sikap pribadi Menteri Kelautan dan Perikanan yang baru ini, orang juga banyak membicarakan soal latar belakang pendidikannya. Susi diberitakan hanya lulusan SMP – strata ijazah yang jauh sekali dari puncak karir akademis yang diimpikan banyak orangtua bagi anak mereka.
Sebagian orang mengapresiasi Susi dengan berkata: hebat ya, walaupun cuma lulusan SMP tapi bisa jadi pengusaha skala nasional, bahkan naik ke tampuk menteri! Sebagian lain protes: mengekspos berita orang macam ini bisa membuat banyak anak kepengen putus sekolah, karena toh nggak punya ijazah tinggi pun bisa sukses! Kalangan homeschoolers banyak masuk ke kubu pertama, sementara kalangan pro sekolah formal banyak di kubu kedua.
Saya di-tag di salah satu thread status teman yang seru berdiskusi soal Susi ini. “Memang ada beberapa orang yang putus sekolah namun bisa sukses dan kaya seperti Steve Jobs dan Marc Zuckerberg, tapi yang sukses berkat pendidikan sebenarnya lebih banyak,” kata teman saya itu. Satu orang menimpali, “Ambil statistik aja, berapa orang dari berapa juta putus sekolah yang begitu, hitung probabilitas dan modusnya.”
Jadi, pertanyaan utamanya adalah: sebetulnya sekolah (tinggi) itu penting atau tidak penting sebagai faktor kesuksesan?
Untuk menjawabnya, istilah yang perlu kita jernihkan lebih dahulu adalah “sukses itu apa?”. Benarkah Steve Jobs itu sukses? Benarkah Marc Zuckerberg itu sukses? Benarkah Susi Pudjiastuti itu sukses? Apakah sukses itu berarti kaya – dan “kaya” itu ukurannya apa: penghasilan sekian M per bulan, rumah megah, pesawat pribadi, atau yang lain? Apakah sukses itu berarti bisa duduk di posisi tinggi dalam pemerintahan? Apakah sukses itu berarti bisa masuk koran dan media massa setiap hari? Dikagumi banyak orang? Jadi guru besar? Memenangkan banyak medali Olimpiade?
Bagi kebanyakan orang, pencapaian materiil-ekonomik paling gampang dipakai untuk mengukur sukses. Jumlah uang, nilai properti, skala ketenaran, tinggi-rendah jabatan atau peringkat dalam kompetisi. Tentu saja ukuran ini sangat bisa diperdebatkan. Punya banyak uang tapi keluarga berantakan, tenar sedunia tapi mati overdosis atau bunuh diri, menduduki jabatan tinggi tapi lalu ditangkap KPK karena ketahuan korupsi – saya yakin kita tidak akan lagi mengklasifikasikan orang-orang itu sebagai role model pribadi yang sukses.
Namun katakanlah kita akan pakai kaya, tenar, dan berkuasa itu sebagai ukuran sukses – karena sepertinya tiga hal itulah yang diimpi-impikan sebagian besar orang. Kembali ke pertanyaan utama. Apakah sekolah tinggi-tinggi adalah jaminan untuk meraihnya? Apakah makin tinggi strata ijazah seseorang, penghasilannya pasti makin besar?
Kalau jaminan dan kepastian, sepertinya tidak. Adanya sosok-sosok seperti Susi dan para putus sekolah lain yang bisa kaya, tenar, dan berkuasa adalah bukti nyata bahwa memang ijazah pendidikan tinggi bukan faktor esensial sukses. Yang saya maksud faktor esensial adalah syarat yang tak bisa tidak harus ada, sehingga orang tak mungkin bisa kaya, tenar, atau berkuasa tanpa ijazah tingkat tinggi. Realitasnya, banyak juga orang punya ijazah tingkat tinggi dan tidak kaya, atau kalah tenar dan berkuasa dari orang yang jenjang sekolahnya lebih rendah. Makin tinggi ijazah tidak otomatis berkorelasi dengan makin tingginya tingkat penghasilan, ketenaran, atau kekuasaan.
Ini bukan berarti orang yang berpendidikan rendah selalu akan lebih sukses ketimbang mereka yang berpendidikan tinggi. Sama-sama tidak ada jaminan juga bahwa yang tidak/putus sekolah pasti akan lebih kaya ketimbang yang doktor. Faktanya, di tengah masyarakat, dunia kerja, dan sistem birokrasi yang relatif masih memuja gelar, tentu orang-orang yang tak punya ijazah tinggi bakal menghadapi lebih banyak tantangan dibanding yang punya. Bidang kerja mereka lebih terbatas – tak mungkin terjun di profesi-profesi yang menuntut gelar akademis. Gaji awal mereka lebih kecil. Kepercayaan orang pada mereka lebih rendah.
Tapi toh di tengah berbagai tantangan berat itu, ada saja anak putus sekolah yang bisa kaya, tenar, dan berkuasa! Berarti esensi sukses memang bukan terletak pada ijazah seseorang, tapi pada sesuatu yang lain. Apakah itu?
Dari buku-buku kisah orang sukses, sepertinya ada dua faktor penting yang selalu mereka sebutkan sebagai syarat kesuksesan: karakter dan kompetensi. John Wooden, pelatih tim basket UCLA yang berhasil mengantar timnya meraih 10 kali piala kejuaraan nasional dalam 12 tahun, menyebutkan banyak aspek karakter yang wajib dimiliki orang sukses: mau kerja keras, antusias, fokus, selalu memberikan yang terbaik, bisa bekerja sama dengan tim, menjunjung prinsip, percaya diri, pandai bergaul, bisa mengendalikan emosi, pembelajar seumur hidup, sabar menapaki proses, kaya inisiatif, tidak takut gagal, dan seterusnya. Karakter ini adalah fondasi penting bagi optimalnya kompetensi – penguasaan keterampilan-keterampilan spesifik yang membuat seseorang mahir mengerjakan sesuatu, begitu mahir sehingga orang lain mau bayar mahal agar dia melakukannya.
Jika kita setuju bahwa karakter dan kompetensi adalah dua faktor esensial sukses, maka pertanyaan utama tadi bisa dijawab dengan mudah. Sekolah akan menjadi jalan sukses, apabila sekolah bisa menempa siswanya memiliki karakter positif dan kompetensi tinggi. Tapi kalau suatu sekolah menjalankan fungsinya secara asal-asalan, tidak punya visi dan program yang jelas, tidak punya guru-guru dan sistem yang berdedikasi kepada visi dan program tersebut, ya tak mungkin sekolah itu mengantar para siswanya pada kesuksesan.
Di sisi lain, anak yang putus sekolah atau memilih jalur homeschool, kalau ternyata di luar sekolah dia bertemu dengan ‘guru kehidupan’ yang menginspirasi dan menempanya sehingga matang dalam karakter dan kompetensi, terbuka pula kesempatannya untuk menjadi sukses. Tak kalah dari para lulusan sekolah formal, bahkan bisa jadi melampaui mereka.
Jadi, sekolah itu penting atau tidak supaya anak sukses? Tinggal selidiki sekolahnya – adakah visi, idealisme, filosofi pendidikan yang jernih di sana? Adakah kurikulum yang meluhurkan karakter, dan menggembleng kompetensi? Adakah guru-guru yang mendidik dengan hati, bukan sekadar menggugurkan kewajiban dan mengejar target birokrasi – dan tahu persis cara memfasilitasi tiap anak agar visi ideal pendidikan tercapai?
Karena yang esensial bukan status bersekolahnya, tapi proses pendidikannya.
Selasa, 28 Oktober 2014
Kamis, 16 Oktober 2014
Etika Bisnis Astro Group
Sepanjang
sejarah, kegiatan bisnis tidak pernah luput dari sorotan etika, bahkan
akhir-ahir ini semakin banyak perbincangan hangat tentang pentingnya etika
bisnis. Memasuki era pasar bebas, untuk memenangkan kompetisi dan memperoleh keuntungan
yang sebesar-besarnya perusahaan sering melakukan pelanggaran etika bahkan
melakukan pelanggaran terhadap peraturan-peraturan hukum yang berlaku.
Dalam
perkembangannya, bisnis tidak lagi hanya berorientasi pada produk dan konsumen,
tetapi mulai berkembang pada kompetisi atau persaingan. Etika bisnis tidak lagi
diperhatikan oleh pelaku usaha, hal ini menyebabkan pelaku usaha sering
melakukan praktek-praktek bisnis yang tidak etis. Salah satu bentuk praktek
bisnis yang tidak etis adalah praktek monopoli.
Terkait
praktek monopoli, terjadi tarik menarik pendapat antara para ahli ekonomi dan
ahli hukum dalam menilai boleh atau tidaknya praktek monopoli. Salah satu
contoh kasus monopoli yang terjadi di Indonesia adalah kasus monopoli siaran
Liga Inggris yang dilakukan oleh Astro Group. Monopoli siaran Liga Inggris yang
dilakukan oleh Astro Group telah menciptakan kesenjangan sosial pada masyarakat
Indonesia, karena hanya sebagian masyarakat yang mampu berlangganan Astro TV
saja yang dapat menikmati siaran Liga Inggris. Menurut pendapat sebagaian besar
masyarakat Indonesia, siaran Liga Inggris merupakan siaran paling kompetitif
dan aktraktif di dunia. Hal ini tentu saja menciptakan kecemburuan sosial bagi
penggemar yang tidak mampu berlangganan Astro TV, karena mereka hanya bisa
membaca atau mendengar cuplikan beritanya.
Dalam
kasus monopoli siaran Liga Inggris yang dilakukan oleh Astro Group, konsumen
sangat dirugikan dengan tarif berlangganan yang tinggi. Selain itu, lembaga
penyiaran pesaing Astro TV juga kehilangan salah satu acara unggulan yang
diminati oleh penonton, sehingga mereka mengalami kerugian karena mereka
kehilangan pelanggan. Tindakan Astro Group ini tentu saja merupakan salah satu
bentuk persaingan usaha tidak sehat.
Untuk
mencegah dan menyelesaikan kasus-kasus yang merugikan konsumen maupun
perusahaan pesaing sebagaimana yang terjadi pada kasus monopoli siaran Liga
Inggris oleh Astro Group, maka pelaku usaha perlu menyadari bahwa selain aspek
ekonomi, pelaku usaha juga perlu memperhatikan aspek moral dan aspek legal
dalam melakukan usaha bisnisnya. Berdasarkan uraian diatas, maka saya sangat
tertarik untuk mengkaji praktek monopoli siaran Liga Inggris yang dilakukan
oleh Astro Group dalam perspektif etika bisnis.
Analisis :
Kasus
Monopoli Liga Inggris yang dilakukan oleh Astro Group sebenarnya telah menjadi
perhatian publik sejak dilaporkannya PT Direct Vision, Astro All Asia
Networks., Plc, ESPN STAR Sports, dan ALL Asia Multimedia Network, oleh
Indovision, Telkomvision, dan IndosatM2, serta beberapa kelompok masyarakat
terhadap dugaan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat kepada KPPU.
Pada
awalnya, Liga Inggris disiarkan melalui Free to Air (FTA) TV pada tahun 1991.
Pada musim 2004-2007 selain disiarkan melalui FTA TV, Liga Inggris juga
disiarkan melalui seluruh televisi berbayar yang ada di Indonesia. Untuk musim
2007-2010, siaran Liga Inggris secara eksklusif ditayangkan pada televisi
berbayar Astro yang berpusat di Malaysia. All Asia Multimedia Networks,
merupakan anak perusahaan Astro All Asia Networks, Plc yang memegang lisensi
penyiaran Liga Inggris di kawasan Asia. Astro All Asia Networks, Plc bisa
menayangkan Liga Inggris di Indonesia hanya jika menggandeng investor lokal.
Oleh karena itu, All Asia Multimedia Networks menggandeng PT Ayunda Prima untuk
membentuk PT Direct Vision. PT Ayunda Prima Mitra adalah sebuah perusahaan yang
seluruh sahamnya dikuasai oleh PT First Media, sebuah perusahaan yang
terafiliasi dengan Grup Lippo.
Dalam
kasus dugaan praktek monopoli tersebut, Majelis Pemeriksa pada tanggal 28
Agustus 2008, memutuskan bahwa dugaan praktek monopoli siaran Liga Inggris yang
dilakukan oleh Astro Group tidaklah terbukti. Dalam putusannya, KPPU menyatakan
Astro All Asia Networks, Plc, All Asia Multimedia Networks, dan PT Direct
Vision tidak menggunakan kekuatan monopolinya di Malaysia guna menekan ESPN
STAR Sports (ESS) untuk menyerahkan hak siar Liga Inggris wilayah Indonesia.
Hal ini ditunjukkan dengan tidak ditemukannya bukti-bukti yang menunjukkan
penggunaan kekuatan monopoli oleh Astro Group, baik selama proses negosiasi
antara Astro Group dengan ESS maupun dari perbandingan nilai pembelian hak siar
Liga Inggris untuk wilayah Malaysia dan wilayah Indonesia.
Selama
perkara itu bergulir di KPPU, Astro mengambil langkah mengejutkan dengan
memutuskan hubungan dengan PT Direct Vision, dan beralih kepada Aora TV.
Langkah itu memicu reaksi PT Direct Vision karena perusahaan yang sebagian
dimiliki oleh Grup Lippo itu terancam kehilangan pangsa pasar penikmat Liga
Inggris.
Kasus
dugaan monopoli siaran Liga Inggris oleh Astro Group kembali menjadi perhatian
publik, setelah M. Iqbal (salah satu anggota tim sidang Mejelis perkara Astro
Group) tertangkap tangan oleh KPK sedang menerima uang sebesar Rp.
500.000.000,- dari pengusaha yang bernama Billy Sundoro, seseorang yang diduga
terkait dan memiliki hubungan baik dengan Grup Lippo yang menjadi salah satu
sumber dana PT Direct Vision.
Berdasarkan
kronologi kasus praktek monopoli yang dilakukan oleh Astro Group, maka dapat
disimpulkan bahwa monopoli yang dilakukan oleh Astro Group adalah monopoli yang
sengaja dilakukan untuk memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya. Monopoli
Liga Inggris tersebut diperoleh dengan cara yang tidak etis, yaitu dengan
melakukan persaingan usaha tidak sehat. Monopoli siaran Liga Inggris yang
dilakukan Astro group bertentangan dengan UU No. 5 Tahun 1999 Tentang Larangan
Praktek Monopoli dan persaingan Usaha tidak Sehat. Astro Group dengan berbagai
cara mencari dan memanfaatkan kesempatan untuk memperoleh keuntungan yang
sebesar-besarnya dengan memiliki hak eksklusif siaran Liga Inggris.
Dari
sudut pandang ekonomi, bisnis Astro Group adalah baik, karena telah
mendatangkan laba yang sebesar-besarnya, namun dari sudut pandang hukum,
tindakan Astro Group tidak dapat dibenarkan karena tindakan tersebut merupakan
perbuatan melawan hukum. dilihat dari sudut pandang moral dan etika, perbuatan
Astro Group juga termasuk dalam perbuatan bisnis yang tidak etis.
Berdasarkan
penilaian umum, masyarakat sudah dapat menilai praktek monopoli yang dilakukan
oleh Astro Group merupakan perbuatan yang tidak baik dan merugikan banyak
orang. Menurut teori Ethical Altuirsm, tindakan Astro Group secara moral
merupakan tindakan yang tidak benar. Tindakan Astro group berdampak negatif
terhadap masyarakat sebagai konsumen karena mereka harus membayar harga yang
jauh lebih mahal untuk menonton siaran Liga Inggris, sedangkan dampak negatif
bagi lembaga penyiaran pesaing Astro TV adalah munculnya hambatan untuk masuk
pada pasar yang bersangkutan (bariers to entry), sehingga dapat disimpulkan
dalam hal ini Astro Group telah melakukan persaingan usaha yang tidak sehat.
Menurut
teori Utilitarisme, tindakan Astro Group juga dapat dikategorikan perbuatan
yang tidak benar, karena tindakan Astro Group tidak memberikan manfaat bagi
masyarakat banyak. Tindakan Astro Group justru telah menghilangkan kebahagian
banyak orang. Berdasarkan teori Deontologi, tindakan Astro group juga merupakan
perbuatan yang salah, karena Astro Group tidak melakukan kewajibannya untuk
berbinis dengan cara baik dan fair, sehingga dengan tindakan yang tidak fair
tersebut, Astro Group telah merugikan banyak pihak.
Menurut
teori Hak, tindakan Astro Group dapat dikategorikan sebagai perbuatan yang
salah karena, dalam mengambil keputusan untuk melakukan praktek monopoli, Astro
Group tidak mempertimbangkan hak-hak orang lain. Astro Group telah melanggar
hak konsumen untuk mendapatkan layanan terbaik dengan harga yang terjangkau,
selain itu Astro Group telah melanggar hak pesaing untuk ikut berkompetisi
dalam menyiarkan siaran Liga Inggris. Sedangkan menurut teori keutamaan, tindakan
Astro Group juga merupakan perbuatan yang salah karena Astro Group tidak
mengunakan akhlak dan sikap yang baik dalam menjalankan bisnisnya.
Berdasarkan
analisis dari berbagai teori etika diatas, dapat dilihat bahwa dari sudut
pandang hukum maupun dari sudut pandang etika, Astro Group telah melakukan
perbuatan yang tidak dapat dibenarkan. Astro Group dengan berbagai cara
memanfaatkan kesempatan untuk memperoleh market power untuk meraup keuntungan
yang sebesar-besarnya.
Kesimpulan
Berdasarkan
uraian diatas maka dapat disimpulkan bahwa, secara normatif, Astro Group telah
melakukan perbuatan yang melanggar hukum, dan dari sudut pandang etika, Astro
Group juga telah melakukan bisnis yang tidak etis. Dalam menjalankan bisnisnya,
Astro Group hanya mementingkan profit, sehingga Astro Group tidak menggunakan
etika dalam berbisis.
SUMBER :
- http://bola.kompas.com/read/2008/07/17/10242987/Ada.Monopoli.Astro.di.Siaran.Liga.Inggris
SUMBER :
- http://bola.kompas.com/read/2008/07/17/10242987/Ada.Monopoli.Astro.di.Siaran.Liga.Inggris
- http://www.merdeka.com/ekonomi-nasional/monopoli-siaran-liga-inggris-astro-kehilangan-7-000-pelanggan-7jhxdpi.html
- http://pii.or.id/etika-bisnis/
- http://pii.or.id/etika-bisnis/
Perkembangan Sukuk di Indonesia
Konsep
keuangan berbasis syariah Islam dewasa ini telah diterima secara luas di dunia
dan telah menjadi alternatif baik bagi pasar yang menghendaki kepatuhan syariah
(syariah compliance), maupun bagi pasar konvensional sebagai sumber keuntungan
(profit source). Diawali dengan perkembangan yang pesat di negara-negara Timur
Tengah dan Asia Tenggara, produk
keuangan dan investasi berbasis syariah Islam saat ini telah diaplikasikan di
pasar-pasar keuangan Eropa, Asia, bahkan Amerika Serikat. Selain itu,
lembaga-lembaga yang menjadi infrastruktur pendukung keuangan Islam global juga telah didirikan,
seperti Accounting and Auditing Organization for Islamic Institution (AAOIFI),
International Financial Service Board (IFSB), International Islamic Financial
Market (IIFM), dan Islamic Research and Training Institute (IRTI).
Salah
satu instrumen keuangan syariah yang telah diterbitkan baik oleh negara maupun
korporasi adalah sukuk atau obligasi syariah. Pada saat ini, beberapa negara
telah menjadi regular issuer dari sukuk, misalnya Malaysia, Bahrain, Brunei
Darussalam, Uni Emirate Arab, Qatar, Pakistan, dan State of Saxony
Anhalt-Jerman. Penerbitan sukuk negara (sovereign sukuk) tersebut biasanya ditujukan untuk
keperluan pembiayaan negara secara umum (general funding) atau untuk pembiayaan
proyek-proyek tertentu, seperti pembangunan bendungan, unit pembangkit listrik,
pelabuhan, bandar udara, rumah sakit, dan jalan tol. Selain itu, sukuk juga
dapat digunakan untuk keperluan pembiayaan cash-mismatch, yaitu dengan
menggunakan sukuk dengan
jangka waktu pendek (Islamic Treasury Bills) yang juga dapat digunakan
sebagai instrumen pasar uang.
Di
Indonesia, sukuk korporasi lebih dikenal dengan istilah obligasi syariah. Pada
tahun 2002, Dewan Syari’ah Nasional mengeluarkan fatwa No: 32/DSN-MUI/IX/2002,
tentang Obligasi Syariah. Sebagai tindak lanjut atas fatwa di atas, pada
Oktober 2002 PT. Indosat Tbk mengeluarkan obligasi syariah yang pertama kali di
pasar modal Indonesia dengan tingkat imbal hasil 16,75%, imbal hasil ini cukup
tinggi dibanding rata-rata return obligasi konvensional.
Instrumen
investasi sukuk (obligasi syariah) diprediksi bakal marak pada masa mendatang
lantaran potensi pertumbuhan masih besar. Oleh karena itu, pada masa mendatang
akan semakin banyak pihak yang mempertimbangkan sukuk.
Sejak
pertama kali diterbitkan tahun 2002, sampai saat ini secara kumulatif terdapat
64 penerbitan sukuk korporasi oleh emiten dengan total emisi Rp11,9 triliun.
Dari jumlah tersebut, per 3 Maret 2013 ada 35 sukuk yang masih outstanding,
dengan Rp7,26 triliun sukuk korporasi.
Sukuk
negara juga mencatat perkembangan yang sangat pesat. Hingga periode 3 Maret
2014, sudah diterbitkan 43 sukuk negara dengan total nilai Rp139,97 triliun.
Bahkan sejak kali pertama sukuk diterbitkan tahun 2002, sampai saat ini secara
kumulatif terdapat 64 penerbitan sukuk korporasi oleh emiten dengan total emisi
Rp11,9 triliun. Dari jumlah tersebut, per 3 Maret 2013 ada 35 sukuk yang masih
outstanding, dengan Rp7,26 triliun sukuk korporasi.
Diungkapkan
Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Nurhaida,
sukuk negara mencatat perkembangan yang sangat pesat. Pada tahun 2013 dan 2014,
prospek perkembangan sukuk masih sangat besar. Bahkan ke depan, akan semakin
banyak perusahaan yang mengenal dan memahami sukuk dan dapat mempertimbangkan
sukuk sebagai alternatif pendanaan perusahaan. Apalagi 2014 merupakan tahun
yang cukup menggembirakan bagi pasar sukuk Indonesia, baik korporasi maupun
negara.
Selama
tahun 2013, terdapat 10 penerbitan sukuk korporasi dan 16 sukuk negara dengan
total nilai mencapai Rp51,4 triliun. Total penerbitan sukuk di Indonesia
tersebut menyumbang lima persen penerbitan sukuk di seluruh dunia. Minat
investasi sukuk setidaknya tergambar ketika pemerintah menerbitkan sukuk negara
ritel dengan seri SR006 senilai Rp19,32 triliun pada 5 Maret 2014. Minat pelaku
investasi sangat tinggi jumlah investor sukuk SR006 mencapai 34.692 investor.
Sukuk negara tersebut dipasarkan oleh 28 agen penjual dengan masa jatuh tempo 5
Maret 2017. Melalui penerbitan sukuk negara tersebut diharapkan dapat memenuhi
sebagian dari target pembiayaan dalam APBN 2014. Adapun tingkat imbalan yang
diberikan sukuk tersebut sebesar 8,75 persen per tahun dan yang pembayaran
imbalan dilakukan tiap tanggal 5.
Dengan
semakin berkembangnya model-model sukuk, maka kemungkinan untuk dapat
mengembangkan sukuk di Indonesia juga semakin besar. Akan tetapi semua ini juga
tergantung kepada kemauan dan sikap politik ekonomi pimpinan negara untuk
menjalankannya. Apalagi program sukuk ini akan lebih bagus bila didukung aset
yang dijamin pemerintah. kalau dalam awal perkembangan sukuk di Timur Tengah
dan Malaysia diawali dengan penerbitan sukuk dari perusahaan-perusahaan milik
pemerintah. Oleh karena itu, Indonesia juga dapat mendorong BUMN yang bergerak
dalam sektor riil untuk menerbitkan sukuk di Bursa Efek Indonesia (BEI).
“Namun
demikian, sebelum dapat menerbitkan sukuk, harus pula diperhatikan ketatnya
persyaratan dalam ekonomi syariah, antara lain, saat ini sukuk masih terbatas
pada pembiayaan perdagangan atau produksi dan aset yang tangible dan yang
langsung berkaitan dengan sektor riil.
Di
samping itu, investor sukuk berhak sepenuhnya untuk mendapatkan semua informasi
berkenaan dengan penggunaan dana sukuk tersebut. Termasuk, aset yang menjadi
dasar penerbitan sukuk maupun hal-hal lain khususnya yang berkenaan dengan
perbedaan yang jelas dengan investasi konvensional. Sebetulnya, hal ini
tidaklah sulit untuk ditaati, oleh karena persyaratan ini juga mendorong
penerbit sukuk untuk lebih disiplin dan transparan dalam mengelola keuangannya.
Saya
menilai bahwa prospek dan pasar sukuk di Indonesia masih menarik, mengingat
mayoritas penduduk adalah pemeluk agama Islam. Sukuk pun dapat menjadi satu
pilihan bagi pemodal untuk diversifikasi investasi. “Indonesia yang berpredikat
investment grade bisa ikut menekan imbal hasil sukuk. Beban emiten pun tidak
terlalu tinggi. Semakin banyak sukuk yang beredar, semakin likuid dan risk
premium bisa ditekan,” ungkap Ronald.
Maraknya
investasi sukuk juga tak lepas dari surat edaran beromor SE-13/BL/2012 pada 19
September 2012. Ini merupakan turunan dari Peraturan Bapepam-LK Nomor IX. A.1
tentang Ketentuan Umum Pengajuan Pernyataan Pendaftaran. Kehadiaran surat
edaran tersebut telah memberi penegasan dan kepastian hukum diperbolehkannya
emiten yang mengajukan pendaftaran obligasi dan sukuk dalam waktu bersamaan
untuk menyampaikan informasi penawaran tertulis dalam satu prospektus.
Jenis-Jenis Sukuk
Merujuk pada fatwa Dewan Syariah Nasional tentang Obligasi
Syariah, akad yang dapat
digunakan dalam penerbitan
Obligasi Syariah antara
lain: mudharabah
(muqaradah)/qiradh,
musyarakah, murabahah, salam,
istisna, dan ijarah .
1. 1. Akad Mudharabah atau Muqaradah (Trust
Financing, Trust Investment)
Mudharabah adalah
perjanjian kerja sama
usaha antara dua
pihak dengan pihak pertama
menyediakan modal, sedangkan
pihak lainnya menjadi
pengelola. Dalam fatwa Dewan
Syariah Nasional tentang Obligasi
Syariah Mudharabah disebutkan bahwa
Obligasi Syariah Mudharabah adalah
Obligasi Syariah yang berdasarkan akad
mudharabah dengan memperhatikan
substansi Fatwa Dewan Syariah Nasional MUI No.7/DSN-MUI/IV/2000
tentang pembiayaan Mudharabah.
2. 2. Akad Ijarah (Operational Lease)
Ijarah adalah
sebuah kontrak yang
didasarkan pada adanya
pihak yang membeli dan menyewa
peralatan yang dibutuhkan klien dengan uang sewa tertentu. Pemegang Surat
Berharga Ijarah sebagai
pemilik yang bertanggung
jawab penuh untuk segala sesuatu yang terjadi pada milik mereka. Dalam
Fatwa Dewan Syariah Nasional No.
41/DSN-MUI/III/2004 tentang Obligasi Syariah Ijarah disebutkan bahwa Obligasi Syariah Ijarahadalah
Obligasi Syariah berdasarkan akad ijarah yaitu akad pemindahan
hak guna (manfaat)
atas suatu barang
dalam waktu tertentu dengan pembayaran
sewa (ujrah), tanpa
diikuti dengan pemindahan
kepemilikan barang itu sendiri. Ditambah dengan memperhatikan
substansi Fatwa Dewan Syariah Nasional MUI No.
09/DSN-MUI/IV/2000 tentang pembiayaanijarah.
3. 3. Akad
Musyarakah (Partnership, Project Financing Participation)
Surat Berharga
Musyarakah dibuat berdasarkan
kontrak musyarakah yang hampir
menyerupai Surat Berharga Mudharabah. Perbedaan utamanya adalah pihak perantara
akan menjadi pasangan dari grup pemilik yang menjadi pemegang obligasi
Musyarakah di dalam suatu perusahaan gabungan, yang pada mudharabah, sumber
modal hanya berasal
dari satu pihak.
Dalam Fatwa Dewan
Syariah Nasional No. 08/DSN-MUI/IV/2000 tentang pembiayaan
musyarakah disebutkan bahwa pembiayaanmusyarakah yaitu
pembiayaan berdasarkan akad
kerjasama antara dua pihak atau lebih
untuk suatu usaha tertentu, yang masing-masing pihak memberikan kontribusi
dana dengan ketentuan
bahwa keuntungan dan
resiko akan ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan.
4. 4. Akad
Salam (In-Front Payment Sale)
Salam
adalah penjualan suatu komoditi, yang telah ditentukan kualitas dan kuantitasnya yang akan diberikan kepada
pembeli pada waktu yang telah ditentukan di masa depan pada
harga sekarang. Dalam
Fatwa Dewan Syariah
Nasional No.05/DSN-MUI/IV/2000 tentang jual beli salam disebutkan
bahwa jual beli barang dengan cara
pemesanan dan pembayaran
harga lebih dahulu
dengan syarat-syarat tertentu
disebut dengan salam.
5. 5. Akad
Istisna (Purchase by order or
manufacture)
Istisna adalah
suatu kontrak yang
digunakan untuk menjual
barang manufaktur dengan
usaha yang dilakukan
penjual dalam menyediakan
barang tersebut dari material,
deskripsi dan harga
tertentu. Dalam Fatwa Dewan
Syariah Nasional No.
06/DSN-MUI/IV/2000 tentang jual
beli istisna disebutkan
bahwa jual beli istisna
yaitu akad jual
beli dalam bentuk
pemesanan pembuatan barang tertentu dengan
kriteria dan persyaratan
tertentu yang disepakati
antara pemesan (pembeli,
mustashni) dan penjual (pembuat, shani).
6. 6. Akad
Murabahah (Deferred Payment Sale)
Murabahah adalah
jual beli barang
pada harga asal
dengan tambahan keuntungan yang
disepakati. Dalam Fatwa Dewan Syariah Nasional No. 04/DSN- MUI/IV/2000 tentang
murabahah disebutkan bahwa pihak
pertama membeli barang yang
diperlukan nasabah atas nama pihak pertama sendiri, dan pembelian ini
harus sah dan
bebas riba. Kemudian nasabah
membayar harga barang yang telah disepakati tersebut pada
jangka waktu tertentu yang telah disepakati.
Langganan:
Postingan (Atom)