"Ia indah karena ia mimpi. Ketika ia menjadi kenyataan, mewujud dalam kehidupan, ada kemungkinan getir di dalamnya," ujar Zlatan memberi penjelasan.
Entah David Moyes mendengarkan atau tidak potongan wawancara yang disiarkan oleh Radio BBC Five Live, salah satu stasiun radio paling populer di Inggris itu. Moyes yang selalu menyebut menjadi manajer Manchester United sebagai dream job (pekerjaan impian para manajer di Inggris) saat itu sudah sekitar empat bulan di posisinya dan mulai memasuki masa-masa sulit.
Man United mulai menunai kekalahan dari klub-klub yang sebelumnya merupakan ladang panen nilai di bawah Sir Alex Ferguson. Permainan Man United dianggap membosankan, mudah ditebak dan takut berpetualang.
Orang menilai, di tangan Ferguson pemain medioker seperti menjadi pemain kelas dunia, sementara di tangan Moyes pemain kelas dunia malah menjadi pemain medioker. Orang mulai menyebut Moyes miskin ide, gegar budaya berada di klub besar, dan gugup di bawah tekanan.
Orang mulai menduga menjadi manajer Man United satu tingkat (atau beberapa tingkat malah) terlalu tinggi untuk Moyes. Seperti nahkoda kapal kapasitas 9 ton harus memegang tanker, kata rekan baik saya yang menjadi penggemar Jose Mourinho mengibaratkan.
Anda tahu, menjadi manajer Man United sesungguhnya bukanlah sekadar menjadi nahkoda kapal bernama Man United semata. Man United adalah kapal induk dari armada bernama Liga Primer. Atau kalau mau menggunakan analogi bangunan, maka Man United adalah pasak dari gedung raksasa Liga Primer.
Mengapa demikian?
Simak mundurlah bagaimana sebenarnya narasi cerita Liga Primer adalah tentang kebangkitan Man United untuk mendominasi persepakbolaan Inggris. (Pada awalnya) tentu saja bukan berdasar rancangan, tetapi sebuah proses kebetulan.
Liga Primer membutuhkan "sesuatu" yang bisa menangkap imajinasi khalayak dan layak jual. Di sinilah peran Alex Ferguson menjadi sentral. Upayanya yang pelan tapi pasti dengan didorong oleh ambisi, tenaga dan pikiran yang nyaris tak kenal surut untuk membangun sebuah imperium menjadi cerita yang menawan. Pergulatan dalam proporsi yang epik.
Keberuntungan menghampiri mereka yang mempunyai tekad dan berani mengambil risiko, demikian kata orang. Ferguson tergolong kelompok ini. Seorang control freak (gila kontrol) yang mendedikasikan hidupnya untuk membangunkan raksasa (Man United) yang tidur terlalu nyenyak.
Ia beruntung menemukan sekelompok remaja di tahun 1992 yang perjalanan hidup mereka menjadi imajinasi romantis penggemar bola: dari sebuah keantahberantahan menjadi ketermasyhuran, sekelompok supporter bola yang berhasil mewujudkan khayalan untuk menjadi pemain ternama dan sukses di klub yang mereka dukung.
Layaknya sebuah film kemudian muncullah tokoh utama, figuran, antagonis, protagonist, cerita sampingan dan lainnya, semua bersinergi untuk menghadirkan sebuah produk yang bisa dijual. Liga Primer mengeksploitir Alex Ferguson dan Man United ini habis-habisan. Liga Primer menemukan partner suka rela (a willing partner) untuk membangun sebuah produk yang layak jual.
Liga Primer karenanya berkepentingan agar cerita tentang Ferguson dan Man United berlangsung selama mungkin, formulasi produk yang terbukti sukses untuk dijual. Sampai-sampai sekian tahun silam Sky B yang menjadi pendukung dana Liga Primer sempat berkeinginan membeli Man United walau gagal karena ditentang habis-habisan pendukung Man United sendiri.
Ada yang membenci situasi ini, ada yang larut, ada yang mengintai kesempatan untuk mengubah keadaan, ada yang cukup senang untuk berbagi kue kemakmuran dan lain sebagainya. Tetapi semuanya hanya menambah narasi yang semakin menarik untuk dibungkus dan dijual oleh Liga Primer. Cerita sentralnya tetap Alex Ferguson dan Man United. Hanya kalau di awal narasi adalah upaya Ferguson mebangunkan Man United maka kelanjutannya adalah bagaimana ia mempertahankan dominasi di Liga Primer.
Orang sering menuduh Ferguson atau Man United diuntungkan oleh oleh wasit, FA, manajemen Liga Primer atau bahkan klub-klub lain yang sudah sepertinya sudah kalah sebelum bertanding bila bertemu Man United demi menjaga narasi Liga Primer yang menguntungkan.
Saya bisa mengerti munculnya tuduhan itu tetapi regulasi bisnis yang sangat ketat di Inggris sangat meyakinkan saya bahwa bukan itu yang terjadi. Kalaupun itu terjadi, maka kepada siapa kesalahan harus dialamatkan. Dalam dunia meritokrasi, privilese itu diraih bukan diberikan/warisan dan cair sifatnya. Artinya mereka di luar Ferguson dan Man United lah yang tidak mampu dan bukan sebaliknya. Jangan menyalahkan Ferguson dan Man Unitednya.
Sebagai ilustrasi saja, ada kewajiban bahwa seusai pertandingan setiap manajer harus meluangkan waktu untuk diwawancarai BBC. Ferguson pernah bertahun-tahun menolak melakukannya karena beberapa alasan. Tetapi ia nyaris tak mendapat hukuman.
Ia juga terkenal sering menolak menjawab pertanyaan wartawan yang ia tidak suka dalam konferensi pers. Bahkan konon juga melarang mereka untuk masuk ke ruang konferensi pers.
Mengapa wartawan menjadi begitu lemah berhadapan dengan dirinya? Salah Ferguson atau salah wartawannya?
Karenanya ketika Ferguson mundur, yang "goyah" bukan hanya Man United tetapi Liga Primer secara keseluruhan. Harus ada narasi baru untuk ditulis dan dijual. Apakah itu tetap terkait dengan Man United atau ada klub lain yang bisa mengambil alih?
Itu sebab pengganti Ferguson menjadi sangat penting bukan hanya untuk Man United tetapi juga Liga Primer. Itu sebab pengganti Ferguson memanggul beban yang sangat berat. Ia bukan hanya dipantau oleh Man United tetapi juga Liga Primer maupun klub-klub lain yang ingin menggantikan posisi privilese Man United selama dipegang Ferguson.
Berbicara atau berkomentar sesudah peristiwa terjadi tentu saja lebih mudah. Namun besarnya tugas yang harus dipanggul oleh Moyes sebenarnya sudah terisyaratkan ketika Ferguson dalam sebuah liburan ke Amerika Serikat meluangkan waktu untuk diwawancarai sebuah stasiun televisi di sana.
"Kalaulah bukan seorang gagah berani, ia pastilah seorang penjudi kelas berat," ujar sang pewancara kepada Sir Alex Ferguson mengenai David Moyes yang menggantikannya.
Wawancara dilakukan sekitar dua bulan setelah Ferguson mengundurkan diri. Dan dunia sepakbola masih meraba-raba dan belum benar-benar bisa menilai akan kemungkinan sukses tidaknya Moyes di Man United.
"Akan lebih mudah menggantikan orang yang mengganti Alex Ferguson ketimbang menggantikan Alex Ferguson," lanjut si pewancara seolah menebar ramalan apa yang akan terjadi di akhir cerita petualangan Moyes itu.
Ferguson yang tampak lebih riang dan segar wajahnya setelah mundur dari 26 tahun menjadi orang nomor satu di klub itu tersenyum membenarkan. Lalu ia menjawab, "Gagah berani saya setuju. Penjudi berat....? Saya kira orang pada titik tertentu dalam hidupnya harus berani mengambil langkah dengan menimbang risiko kalau ingin menemukan jati dirinya."
Kini kita semua sudah tahu akhir cerita dari "petualangan" Moyes di Man United. Mimpi indah untuk memegang salah satu klub terbesar di Inggris itu berakhir "bencana" bagi Moyes. Ia gagal. Reputasinya tercoreng. Dan proses untuk menemukan jati diri yang sesungguhnya sedang berjalan. Bukan ketika ia mulai memegang Man United tetapi justru sesudahnya. Good luck.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar