\

Senin, 03 Maret 2014

Mengintip Masa Depan The Chosen One


Sudah bukan rahasia lagi jika selama ini saya dikenal selalu mendukung David Moyes. Beberapa teman sampai berseloroh bahwa saya sudah seperti pengacara Moyes yang akan selalu vokal dalam membela kliennya, meski sebenarnya yang saya lakukan hanyalah coba untuk bersikap proporsional sambil menjalankan pesan Fergie untuk "stand by our new manager."

Ketika Moyes resmi didaulat menjadi bos baru di Old Trafford, kita tahu jika masa transisi yang sulit akan segera menghampiri klub dan juga fans. Menggantikan peran manajer yang sebelumnya cukup sukses bukanlah pekerjaan yang mudah, apalagi menggantikan salah satu manajer terhebat sepanjang masa.

Dalam artikel terdahulu saya sudah menyatakan dukungan terhadap Moyes jauh sebelum Fergie pensiun karena saya merasa sosok Moyes mirip dengan Fergie serta sesuai dengan etos dan karakter klub, satu hal yang diluar dugaan juga diamini fan City. Meskipun begitu saya sadar betul jika Moyes mempunyai satu kekurangan yang di mata sebagian besar fans tidak terampuni: nihil prestasi.

Cacat terbesar Moyes tersebut sepertinya tidak menjadi halangan bagi klub dan khususnya Fergie untuk menunjuk --bukan lagi menawarkan-- Moyes sebagai suksesornya. Kontrak jangka panjang berdurasi 6 tahun yang diberikan mengindikasikan kepercayaan penuh klub pada pria asal Bearsden Skotlandia itu untuk meneruskan kejayaan United.

Moyes pun mengawali tugasnya dengan baik, memberi gelar Community Shield ke-20 United serta memulai kompetisi di puncak klasemen setelah menghajar tuan rumah Swansea City 4-1. Nama David Moyes makin lantang dinyanyikan dan banner The Chosen One pun dibentangkan, fans mulai berpikir bahwa sepertinya masa transisi akan berjalan dengan mulus.


Sampai kemudian datanglah apa yang selama ini dikhawatirkan. Pekan demi pekan, pertandingan demi pertandingan, hasil buruk mulai terus ditorehkan. Tercecer dalam persaingan di Premier League, gugur di dua piala domestik, sampai yang terakhir kalah dari Olympiakos di Champions League. Semua itu diperburuk dengan gaya permainan monoton yang ditampilkan pria-pria linglung tanpa semangat juang serta diselingi pula oleh beberapa komentar konyol dan basi dari Moyes sendiri di depan media.


Lantas siapa yang salah? tak ada yang paling mudah jika terjadi masalah selain mencari kambing hitam, dan mayoritas fans pasti akan langsung menunjuk Moyes. Well, saya sepakat. Manajer adalah orang yang paling bertanggung jawab terhadap kinerja tim dan Moyes jelas punya peranan atas hasil negatif sejauh ini, entah lewat kesalahan strateginya atau dalam hal pemilihan pemain. Tapi tentu saja kesalahan tidak layak dibebankan sepenuhnya pada Moyes, para pemain jelas juga punya andil dan itu diakui sendiri oleh mereka.

Mengenai hal ini, saya ingin mengajak anda sejenak untuk melihat apa yang terjadi pada Liverpool 23 tahun yang lalu --tepatnya di musim 1990/91. Saat itu Liverpool yang dilatih Kenny Dalglish merupakan juara bertahan dan sampai awal paruh kedua musim masih memimpin klasemen dengan keunggulan 3 poin atas Arsenal. Bencana mulai datang saat Dalglish tiba-tiba memutuskan untuk mundur di bulan Februari karena alasan kesehatan. Liverpool kemudian menunjuk Graeme Souness untuk menggantikan Dalglish dan pada akhirnya mereka harus puas mengakhiri musim di posisi runner-up setelah tertinggal 7 poin dari sang juara Arsenal. Souness kemudian memimpin Liverpool selama 3 musim berikutnya dan hanya berhasil mempersembahkan 1 gelar FA Cup dengan tanpa sekalipun menyentuh posisi 4 besar di liga. Masa-masa dipegang Souness merupakan awal runtuhnya dominasi Liverpool di Inggris dan mereka belum bisa bangkit lagi sampai saat ini. (itulah kenapa fans Liverpool sekarang kerap mengejek fans United dengan berkata: "Moyes is your Souness, so welcome to your Souness era!")


Yang perlu kita cermati disini adalah sebelum ditunjuk Liverpool, Souness sudah sangat sukses sebagai player-manager di Celtic dengan 3 kali menjuarai liga Skotlandia dan 4 Scottish League Cup, tambahkan lagi bahwa dia adalah seorang legenda Liverpool yang pastinya sudah sangat paham dengan karakteristik klub, tapi toh dia tetap gagal mempertahankan kejayaan Liverpool.

Mengapa Souness gagal? bukankah dia diwarisi skuat juara oleh Dalglish dan dia sendiri juga telah berpengalaman menjadi juara? jawabannya sederhana, karena Souness diwarisi skuat juara yang sudah menua dan melewati puncak permainannya serta yang paling utama adalah karena para pemain terlihat seperti tidak ingin bermain untuk Souness.

Salah satu pemain Liverpool saat itu, John Barnes mengungkapkan pendapatnya, "Ketika Graeme Souness datang suasana menjadi berbeda, mental pemain seperti berubah dan mereka tidak lagi tampil all out. Para pemain tahu betul jika tim mendapat hasil buruk maka yang akan disalahkan adalah manajer sehingga mereka seperti merasa lepas dari tanggung jawab." Barnes kemudian mengaitkan kondisi Liverpool saat itu dengan kondisi United sekarang, "Apa yang terjadi di United saat ini mirip dengan kondisi kami dulu. Maka jika sekarang pemain United tidak tampil sebaik saat masih dipimpin Fergie, itu bukanlah cerminan total dari jeleknya manajer baru. Mereka seharusnya bertanya pada diri mereka sendiri: 'Jika dulu saya bisa tampil bagus mengapa sekarang harus berubah?' Ini adalah persoalan mental."

Saya tidak bisa lebih setuju lagi dengan Barnes. Dia telah merasakan sendiri berada dalam sebuah tim hebat yang kemudian hancur. Apa yang dikatakannya adalah benar. Bukankah sekarang kita melihat para pemain United terlihat begitu kikuk saat tampil di lapangan dan bermain nyaris tanpa semangat juang sehebat dulu? Semua terlihat jelas dari sikap dan gerak-gerik mereka.


Banyak fans begitu silau dengan pencapaian gelar juara yang diraih dengan keunggulan 11 angka di musim lalu sehingga mereka pikir seharusnya Moyes bisa dengan mudah menjalankan tugasnya. Mereka seperti lupa atau menutup mata bahwa skuat yang kita punya sebenarnya berisi kumpulan pemain yang masih jauh dari peak performance mereka atau malah sudah habis masanya, dengan sebagiannya lagi berkualitas biasa saja.

Dengan kejeniusannya, Fergie mungkin merasa cukup dengan skuat yang berisi pemain yang sudah habis seperti Evra atau Rio, pemain satu kaki seperti Valencia, pemain labil seperti Nani, pemain tambun seperti Anderson, pemain dengan skill standar seperti Cleverley, serta pemain dengan skill misterius seperti Young. Fergie bisa meracik semuanya menjadi sekumpulan juara. Tentu saja kita tidak bisa mengharapkan hal yang sama langsung bisa dilakukan Moyes di musim pertamanya, tambahkan lagi dengan faktor non-teknis seperti mental dan keengganan bermain optimal demi sang manajer baru seperti yang dialami Liverpool dulu.

Maka hal terbaik yang bisa dilakukan pihak klub dan juga fans adalah memberikan Moyes waktu untuk membuktikan kapasitasnya. Biarkan dia membangun kembali tim, membuang pemain yang sudah habis atau enggan bermain untuknya, membeli pemain yang dibutuhkan, dan mengembangkan skema permainan yang tepat.

Saya mengerti bahwa sepakbola modern tidak lagi menyediakan banyak waktu untuk membiarkan seorang manajer bekerja dengan tenang. Kita tidak bisa lagi berharap Moyes akan diberikan waktu selama yang Fergie rasakan dulu. Tapi tetap saja tidak adil jika kita memberikan waktu semusim atau bahkan kurang dari itu. We are not Chelsea and surely we don't want to be like them. Saya pikir setidaknya 2 musim adalah waktu yang cukup fair untuk diberikan pada Moyes meski tentu saja brigade Moyes out tidak akan setuju dan akan menentangnya habis-habisan.



Ada sebuah cerita dari seorang guru yang sedang mengajar, dia fans United dan dia bercerita kepada saya. Di sekolah tempat dia mengajar, dia mempunyai beberapa orang murid berprestasi yang juga menggemari United dan mereka termasuk ke dalam brigade Moyes out garis keras. Suatu hari dia memberi mereka 50 soal simulasi ujian masuk perguruan tinggi negeri yang sulit dan meminta mereka untuk menyelesaikannya dalam waktu 15 menit atau jika tidak dia akan menganggap mereka sebagai siswa yang payah dan tidak layak untuk kuliah di perguruan tinggi favorit. Spontan mereka langsung bereaksi dengan berkata, "Yang benar saja pak?! Masak kami harus menyelesaikan soal sebanyak dan sesulit itu dalam waktu 15 menit dan kalau gagal langsung dianggap payah? Gak fair itu namanya!" Sambil tergelak dia pun menanggapi mereka, "Hehe... See? Secerdas atau sehebat apapun kita, tetap saja kita membutuhkan waktu untuk mengerjakan dan menyelesaikan hal yang sulit... begitu juga Moyes, he definitely needs time." Menyadari sindiran dan arah pembicaraan dari guru tersebut, mereka pun hanya bisa cengar-cengir dan menggerutu.

Kita memang seringkali begitu, menuntut seseorang melakukan sesuatu seperti yang kita mau tanpa sadar bahwa kita pun belum tentu sanggup jika dituntut hal yang sama. Moyes tidak sejenius Mourinho atau segemilang Klopp, dia juga tidak sehebat Guardiola, tapi ini makin menunjukkan kalau Moyes harus diberikan waktu yang cukup untuk membuktikan kapasitasnya. Maka berhentilah berandai-andai dan tetaplah berdiri dibelakangnya. Tak ada yang salah dalam mendukung Moyes, jika dia sukses maka memang itulah yang kita inginkan, tapi jika dia gagal maka setidaknya kita sudah menjalankan tugas sebagai fans untuk selalu memberikan dukungan dalam suka maupun duka.

Ah, tapi sudahlah... menginginkan Moyes out saat ini adalah pilihan yang paling populer dan akan membuat anda terlihat cerdas ketimbang memberikan dukungan yang hanya akan membuat pelakunya terlihat bodoh meskipun itu dilakukan oleh Gary Neville, legenda klub yang juga menjadi seorang pundit paling brilian saat ini.

Bukankah dalam sepakbola fans memang selalu jadi yang paling pintar dan tahu segalanya?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar