Alex Ferguson tak pernah tahu di musim itu ia akan menemukan salah satu rival berat dalam karier manajerialnya. Kala itu ia seperti diberitahu sebuah ramalan bahwa kelak Arsene Wenger akan banyak menyulitkannya.
Waktu itu musim 1996/1997 baru saja usai. Ferguson baru saja membawa Manchester United menjadi juara, baru saja memberikan dirinya sendiri titel Premiership keempat dalam kariernya, dan tentunya baru saja kehilangan keping puzzle terakhir yang membuatnya meraih gelar juara Premiership pada 1993, Eric Cantona. "Si Raja Old Trafford" memutuskan gantung sepatu di akhir musim itu, meski usianya baru 31 tahun.
Namun, seperti yang sering kita lihat sampai saat ini, Ferguson yang dikenal keras kepala dan sedikit bertangan besi enggan untuk merombak tim atau mengganti Cantona dengan bintang yang sama hebatnya. Menurutnya, ia punya stok pemain yang sama bagusnya untuk dibawa sampai akhir musim. Alhasil, hanya Teddy Sheringham dan seorang pemain muda bernama Erik Nevland yang masuk dalam kantong belanjaannya.
Sementara itu, ratusan mil dari Manchester, seorang Prancis bernama Arsene Wenger tengah membangun dinasti pada sebuah stadion yang besarnya tidak melebihi Old Trafford, Highbury. Wenger adalah sosok yang unik. Ia punya aura berbeda dengan manajer-manajer tradisional Premier League saat itu. Ia tahu banyak bahasa selain Prancis dan segala hal berbau "akademis" lainnya sehingga saking jenialnya dijuluki The Professor.
Wenger dengan cermat membeli pemain yang dipikirnya cukup untuk menjadi amunisi "Gudang Peluru", cukup untuk menyokong Ian Wright dan Dennis Bergkamp di lini depan. Maka dibelilah nama-nama seperti Emmanuel Petit, Marc Overmars hingga Giles Grimandi. Pada musim yang sama, Wenger juga mencuatkan anak muda yang punya potensi menjanjikan, namanya Nicolas Anelka.
Para penonton Liga Inggris kemudian menyaksikan "Setan Merah" kemudian keteteran ketika pemain-pemain utama seperti Roy Keane, Ryan Giggs, dan Peter Schmeichel bergantian masuk ruang perawatan. Performa bagus hingga Natal bak sirna tak berbekas. Sebaliknya, Arsenal yang sempat tertinggal jauh mengendap-endap perlahan dan akhirnya menjegal MU dari posisi teratas.
Musim itu, The Gunners adalah momok menakutkan untuk The Red Devils. Ferguson mungkin dibuat keheranan, bagaimana wajah-wajah segar seperti Giggs, Paul Scholes, David Beckham, dan Nicky Butt kesulitan menembus pertahanan Arsenal yang diisi kaki-kaki yang lebih tua seperti Tony Adams, Lee Dixon, Steve Bould, hingga Nigel Winterburn dan Martin Keown. Musim itu, Arsenal tampil sebagai juara Premier League.
Ferguson yang hanya pernah diselingi oleh Kenny Dalglish dan Blackburn Rovers untuk urusan menjuarai Premier League akhirnya punya musuh baru. Jauh sebelum Jose Mourinho datang ke liga paling bergengsi di Inggris itu, Ferguson dan Wenger adalah rival akut. Panasnya hubungan mereka sama seperti bentrokan-bentrokan antarpemain kedua tim di lapangan atau mirip seperti adu keras kepala antara Keane dan Patrick Vieira.
Ferguson kemudian pernah mengritik FA dan menyebut federasi sepakbola Inggris itu kelewat memihak Arsenal. Sebabnya? Pria asal Skotlandia itu menilai bahwa Wenger dan anak buahnya selalu mendapatkan jadwal yang relatif lebih entang. Asumsi yang kemudian, tentunya, dibantah oleh Wenger dan pada akhirnya hanya menambah panas tensi kedua tim.
Dengan Ferguson dan Wenger di pinggir lapangan, pertemuan-pertemuan antara MU dan Arsenal pada musim berikutnya selalu menarik untuk diikuti. Ferguson membalas kekalahan di musim 1997/98 dengan meraih label treble winner semusim berikutnya dan merajai Premier League hingga dua musim berikutnya. Wenger tidak mau kalah. Sampai saat ini ia mungkin bisa membusung bangga, siapa yang pernah tidak kalah sampai puluhan pertandingan -- meski pada akhirnya rekor itu runtuh oleh MU juga.
Dalam era di bawah keduanya jugalah pertandingan-pertandingan menarik acapkali muncul. Ferguson boleh tersenyum jika mengingat bagaimana Dwight Yorke memimpin tim membekuk tim asal London Utara itu 6-1 atau seperti yang terjadi pada awal musim ini di mana skuad tambal-sulam Arsenal dihabisi 8-2 oleh mereka. Atau, ia juga bisa tersenyum ketika mengingat Giggs meliuk-liuk melewati beberapa pemain Arsenal sebelum akhirnya membobol gawang David Seaman.
Pertarungan antara Ferguson dan Wenger, sesungguhnya, memang menghadirkan tak sedikit momen-momen yang tak bisa disebut biasa-biasa saja. Jauh sebelum Premier League menjadi liga yang jauh lebih komersil seperti saat ini, keduanya sudah menghadirkan cerita tersendiri. Manajer-manajer seperti Mourinho dan Rafa Benitez boleh numpang hadir dalam persaingan, namun akhirnya mereka toh pergi juga.
Tapi, benarkah Ferguson dan Wenger saling membenci satu sama lain di luar lapangan. Konon, hubungan itu melunak ketika Mourinho, dengan Chelsea-nya, muncul sebagai saingan baru. The Special One kemudian membocorkan apa yang kerap ia lihat di pertemuan-pertemuan antarmanajer yang didatanginya. "Mereka duduk satu meja, membicarakan sepakbola. Ferguson respek pada Wenger dan begitu juga sebaliknya," ucap Mourinho.
Ferguson sendiri kemudian mengakui bahwa dirinya memang punya respek besar terhadap Wenger. Dalam sebuah acara resmi, ia dan Wenger duduk bersama di panggung dengan ditemani seorang pewawancara. Keduanya menjawab berbagai hal terkait pandangan-pandangan mereka dalam dunia manajer sepakbola dan tak jarang melontarkan candaan.
Bahkan, ketika ditanya apakah dirinya apakah di balik segala psy war-nya terhadap Wenger dia masih memiliki rasa hormat, Ferguson menjawab sembari setengah bercanda dan terkekeh, "Tentu saja.... Sampai pertandingan berikutnya."
Glory - Glory Man United